06 April 2009

Jihad Melawan Penguasa Murtad

JIHAD MELAWAN PEMERINTAH YANG MURTAD
Oleh Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz

Jika pemerintah melakukan kekafiran dan ia mempertahankan diri dengan kekuatan, maka wajib memeranginya, dan peperangan ini adalah fardlu ‘ain yang lebih diutamakan dari pada yang lainnya.


A.Hal ini sebagaimana yang terjadi pada para penguasa yang menjalankan pemerintahannya dengan selain syari’at Islam di berbagai nageri kaum muslimin.

Mereka itu kafir berdasarkan firman Alloh:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)

Dan juga firman Alloh:
“Kemudian orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. (QS. 6:1)

Dan berdasarkan ayat-ayat yang lain. Sedangkan kebanyakan mereka mangaku Islam, maka dengan demikian mereka murtad lantaran kekafiran mereka.

Dan pada hakekatnya para penguasa itu, selain mereka menjalankan hukum selain hukum yang diturunkan Alloh, mereka juga membuat syari’at bagi manusia sesuai dengan kemauan mereka. Dengan demikian mereka mengangkat diri mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) bagi manusia selain Alloh. Sebagaimana firman Alloh:
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah,. (QS. 9:31)

Dengan demikian maka kekafiran mereka bertumpuk-tumpuk, selain mereka juga menghalang-halangi manusia dari jalan Alloh.

Dan permasalahan ini telah saya jabarkan dalam risalah yang lain yang berjudul “Risalah Da’watut Tauhid”. Di buku itu saya jawab sanggahan-sanggahan yang terdapat pada seputar ayat dalam surat Al-Maidah, yang berbunyi:
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan oleh Alloh, maka mereka itu orang-orang kafir.”

Di sana saya terangkan bahwasanya ayat ini merupakan nash secara umum dipandang dari berbagai segi. Dan sesungguhnya kafir yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kufur akbar. Dan apabila perkataan para sahabat jika saling berselisih dalam menafsirkan sebuah ayat, maka kita pilih yang dikuatkan oleh dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai mana hal itu ditetapkan dalam ushul fikih. Dan saya jelaskan pula, bahwa apa yang terjadi di kebanyakan negeri kaum muslimin sekarang ini sama dengan kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut, yaitu menghapus hukum syari’at serta membuat hukum baru yang dijadikan syari’at baru yang harus diikuti oleh manusia. Sebagai mana orang yahudi menghapus hukum taurot yang berupa merajam orang yang berzina, lalu mereka membuat hukum sebagai pengganti. Dan saya sebutkan dalam risalah tersebut bahwa kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat itu secara qoth’ii masuk ke dalam pengertian ayat, sebagaimana yang ditetapkan dalam ushul fikih.

Dan inilah yang disinggung oleh Isma’il Al-Qodli sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar: “Isma’il Al-Qodli mengatakan dalam kitab Ahkamul Qur’an, setelah ia menceritakan perselisihan pendapat tentang dzohinya ayat, ia menunjukkan bahwa barangsiapa melakukan sebagaimana yang mereka lakukan, dan membuat sebuah hukum yang menyelisihi hukum Alloh, lalu hukum yang ia buat itu dia jadikan ajaran yang diamalkan, maka dia juga mendapatkan ancaman yang tersebut dalam ayat tersebut sebagaimana yang mereka dapatkan. Baik orang itu hakim atau yang lainnya.” (Fathul Bari XIII/120)

Maka semua orang yang ikut serta dalam membuat undang-undang positif itu atau memutuskan perkara dengan menggunakan hukum tersebut, maka ia kafir, kufur akbar, ia keluar dari agama Islam, meskipun dia melakukan rukun Islam yang lima dan amalan yang lainnya. Dan inilah yang ditetapkan oleh kebanyakan ulama’ mu’ashirin (masa sekarang), sebagaimana yang saya nukil dalam kitab ini (Al-Jami’) pada bab III dari Ahmad Syakir, Muhammad Hamid Al-Faqi dan Muhammad bin Ibrohim Alusy Syaikh.

Dan telah saya sebutkan dalam risalah tersebut di atas, siapa saja yang masuk dalam pengertian “Hakim” secara syar’ii.


B.Penguasa murtad ini jika tidak mempunyai kekuatan, maka wajib untuk dipecat dengan segera, lalu dihadapkan ke qodli (hakim syar’iy).

Jika dia tidak mau bertaubat, maka dia dibunuh. Dan jika dia bertaubat ia tidak memegang kekuasaannya kembali, sebagaimana sunnah Abu Bakar dan Umar ra.

Sedangkan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda:
“Hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para kholifah risyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham.” Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi, dan beliau menshohihkan hadits ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Umar, bahkan begitu juga Abu Bakar tidak pernah mengangkat pegawai yang mengurusi urusan kaum muslimin, seorang munafik, atau dari kerabat beliau berdua, dan beliau berdua tidak terpengaruh oleh celaan orang. Bahkan ketika keduanya memerang irang-orang murtad dan mengembalikan mereka ke dalam Islam, mereka dilarang untuk mengendarai kuda dan membawa senjata, sampai nampak ketulusan taubat mereka. Dan Umar pernah mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqosh yang menjabat sebagai gubernur Irak; Jangan kau angkat seorangpun dari sebagai pegawai , dan jangan kau mintai pendapat dalam urusan perang. Sesungguhnya mereka itu adalah para pemuka seperti Thulaihah Al-Asadi, Al-Aqro’ bin Habis, Uyainah bin Hish-n dan Al-Asy’ats bin Qois Al-Kindi. Orang-orang semacam mereka ini ketika dikhawatirkan oleh Abu Bakar dan Umar ada sifat kemunafikan pada mereka, maka mereka tidak diberi jabatan untuk memegang urusan kaum muslimin.” (Majmu’ Fatawa XXXV/65).


C.Jika penguasa yang murtad itu mempertahankan diri dengan sebuah kelompok yang berperang membelanya, maka mereka wajib diperangi.

Dan setiap orang yang berperang membelanya ia kafir sebagaimana penguasa itu.

Berdasarkan firman Alloh;
“Dan barangsiapa yang berwala’ kepada mereka, maka dia termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah: 51)

Sedangkan kata “barangsiapa” dalam ayat ini adalah bentuk kata yang bersifat umum mencakup siapa saja yang berwala’ kepada orang kafir dan menolongnya baik dengan perkataan atau perbuatan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan yang lainnya mengatakan tentang hal-hal yang membatalkan Islam, (diantaranya adalah): “Menolong dan membantu orang-orang musyrik dalam menghadapi kaum muslimin, dan dalilnya adalah:
“Dan barangsiapa yang berwala’ kepada mereka, maka dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.” (Al-Maidah: 51)
(Majmu’atut Tauhid tulisan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 38)

Maka orang-orang murtad itu diperangi meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menampakkan beberapa syi’ar Islam, karena mereka melakukan perbuatan yang membatalkan pokok agama Islam. Alloh berfirman:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut.” (QS. 4:76)

Maka setiap orang yang menolong orang kafir, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan dalam rangka membela kekafirannya, maka ia kafir juga. Dan ini merupakan hukum secara dzohir di dunia bagi orang yang mempertahankan diri dari kekuatan orang-orang beriman dan berjihad (mukminin mujahidin). Dan bisa jadi ia dalam hatinya masih muslim, karena mungkin masih terdapat penghalang kekafiran padanya, atau terdapat syubhat atau yang lainnya. Namun hal ini tidak menghalangi untuk menvonis kafir karena pada orang tersebut terdapat penyebab yang menuntut untuk dikafirkan. Dan inilah sunnah yang berlaku dalam menvonis orang-orang yang mumtani’ (mempertahankan diri). Permasalahan ini telah saya jabarkan dalam risalah yang lain. Dan ilmu tentang ini harus disebar luaskan dikalangan manusia, supaya orang yang celaka ia celakan dengan jelas dan orang yang selamat ia selamat dengan jelas.


D.Adapun dalil yang menjadi landasan untuk memberontak kepada pemerintah jika ia kafir adalah hadits Ubadah Ibnush Shomit Radliyallahu ‘anhu,:

“Rosululloh memanggil kami, lalu kami berbai’at kepadanya untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan senang atau tidak senang, baik dalam keadaan susah atau mudah, dan baik pemimpin itu lebih mengutamakan dirinya. Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata mempunyai alasan dari Alloh.” (Hadits ini Muttafaq ‘Alaih sedangkan lafadznya menggunakan lafadz Muslim).

An-Nawawi berkata: “Berkata Al-Qodli ‘Iyadl; para ulama’ berijma’ bahwasanya kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan jika seorang pemimpin itu kafir, ia dipecat – sampai perkataannya – jika pemimpin itu kafir, atau mengganti syari’at atau dia berbuat bid’ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pula kewajiban taat kepadanya. Dan kaum muslimin wajib untuk mencopot kekuasaannya lalu menggantinya dengan imam yang ‘adil jika hal itu memungkinkan. Dan jika hal itu hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang, maka wajib kelompok itu untuk menggulingkan penguasa yang kafir. Sedangkan pemimpin yang melakukan bid’ah tidak wajib digulingkan kecuali jika mereka memperkirakan mampu untuk menggulingkannya. Namun jika mereka benar-benar tidak mampu, maka mereka tidak wajib melaksanakannya, dan orang Islam harus berhijroh dari negerinya itu ke negeri lainnya untuk menyelamatkan agamanya.” (Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi XII/229).

Saya katakan; Ijma’ yang disebutkan oleh Al-Qodli ‘Iyadl ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol (Fathul Bari XIII/7), dan dari Ibnut Tin dan Ad-Dawudi (Fathul Bari XIII/8) dan dari Ibnut Tin (Fathul Bari XIII/116) dan Ibnu Hajar sendiri menyatakannya (Fathul Bari XIII/123).


E.Jika kaum muslimin tidak mampu melaksanakannya, maka wajib untuk melakukan persiapan (I’dad).

Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagaimana mengadakan persiapan untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan itu wajib ketika jihad tidak mampu dilaksanakan karena lemah. Karena sesungguhnya kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sebuah sarana, maka sarana itupun hukumnya juga wajib.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/259).

Dan Alloh berfirman:
“Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah). Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (QS. 8:59-60)

Dan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda:
“Ingatlah bahwa kekuatan itu adalah melempar.” Beliau mengatakan tiga kali. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Uqbah bin Amir.

Saya katakan; dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwasanya kewajiban kaum muslimin terhadap para thogut itu telah ditetapkan berlandaskan nas syar’ii, sehingga tidak boleh seorang muslimpun keluar dari ketetapan itu.

Nash itu adalah:
“Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Alloh.”
Dan telah terjadi ijma’ atas wajibnya memberontak mereka, sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Dengan demikian maka tidak diperbolehkan untuk berijtihad dalam masalah cara untuk menghadapi para thoghut itu, karena ada nas dan ijma’ dalam masalah itu. Dan sesungguhnya orang yang berijtihad dalam permasalahan ini yang mana masalah ini telah ada nas dan ijma’, maka orang tersebut telah benar-benar sesat.

Sebagaimana orang yang berusaha untuk merealisasikan syari’at Islam melalui kesyirikan parlemen dan cara yang semacam itu. Jika ada orang yang mengatakan bahwa ketidak mampuan menghalangi kita untuk memberontak, maka kami katakan kepadanya, sesungguhnya kewajiban kita ketika tidak mampu adalah melakukan persiapan, bukan mengikuti mereka dalam kesyirikan parlemen mereka. Dan jika benar-benar tidak mampu maka wajib untuk hijroh.

Dan jika tidak mampu untuk hijroh maka tinggallah dia sebagaimana orang yang lemah yang tunduk berdo’a kepada Alloh,:

“Orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a:"Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". (QS. 4:75)

Dan seorang muslim tidak akan ikut dalam parlemen perundang-undangan mereka. Karena ikut serta didalamnya berarti rela dengan sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan ditangan rakyat. Artinya pendapat mayoritas rakyat itulah yang menjadi syari’at yang harus diikuti oleh umat.

Ini adalah kekafiran yang disebutkan dalam firman Alloh:
“Dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Robb selain Allah. (QS. 3:64)

Anggota-anggota parlemen ini adalah Robb-robb (tuhan-tuhan) yang disebutkan dalam ayat ini, dan ini adalah kekafiran. Dan barang siapa yang tidak mengetahui hal ini wajib untuk diberi tahu.

Alloh berfirman:
"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. 4:140)

Jadi, barang siapa yang duduk bersama mereka dan menyaksikan kekufuran mereka, maka ia kafir seperti mereka.

F. Jihad melawan pemerintah murtad dan para pembelanya tersebut hukumnya adalah fardlu ‘ain, wajib setiap muslim untuk melaksanakannya kecuali orang yang mempunyai udzur syar’ii.

Dan telah saya jelaskan sebelumnya bahwa jihad itu fardlu ‘ain dalam tiga keadaan. Di antaranya adalah jika musuh menduduki negeri kaum muslimin. Dan begitulah keadaan orang-orang murtad yang berkuasa atas kaum muslimin. Mereka adalah musuh yang kafir yang menduduki negeri kaum muslimin. Dengan demikian maka memerangi mereka hukumnya adalah fardlu ‘ain.

Oleh karena itu Al-Qodli ‘Iyadl mengatakan: “Wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakannya.”

Sedangkan perkataan Ibnu Hajar lebih jelas dalam menjelaskan keumuman kewajiban itu, ia berkata: “Ringkasnya bahwa penguasa itu dipecat jika melakukan kekafiran menurut ijma’, maka wajib kepada setiap muslim untuk melaksanakan hal itu.” (Fathul Bari XIII/123)

Dan inilah pengertian hadits Ubadah bin Shomit ra.

Saya katakan; Kewajiban setiap muslim untuk berjihad melawan para thoghut itu merupakan ilmu yang harus disebar luaskan di kalangan kaum muslimin secara umum. Supaya setiap orang Islam mengetahui bahwa mereka secara pribadi diperintahkan Robbnya untuk memerangi pemerintah tersebut. Sesungguhnya para thoghut itu telah membuat pemisah yang mematikan antara orang Islam yang awam dan antara orang-orang Islam yang multazimin (berpegang teguh dengan agamanya), supaya para thoghut itu dapat menekan orang-orang multazimin (yang berpegang teguh dengan agamanya) ditengah-tengah kebodohan dan sikap diam orang awam. Pada saat semua orang awam tersebut mendapatkan perintah yang sama, selama dia sebagai orang Islam meskipun dia orang fasik dan melakukan dosa-dosa besar. Karena kefasikan itu tidak dapat menggugurkan kewajiban syar’iy jihad (lihat lampiran ke 4).

Maka orang-orang yang berpegang teguh dengan agamanya harus menghancurkan pembatas yang mengasingkan mereka dari orang awam, dengan cara mengajarkan jihad ini kepada mereka secara dakwah individu dan dakwah umum. Supaya jihad itu menjadi permasalah seluruh kaum muslimin dan bukan hanya menjadi permasalahan jama’ah-jama’ah tertentu yang bisa dimusnahkan dalam waktu sehari semalam. Dan agar jihad ini berubah menjadi permasalahan orang awam, yang sebelumnya hanya menjadi permasalahan orang tertentu. Dengan demikian bencana itu akan berbalik kepada para thoghut dan para pembelanya, sehingga mereka akan terpisahkan setelah tersingkap kekafiran dan kejahatannya.

Alloh berfirman:
“Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.” (QS. 2:191)

Dan Alloh mengatakan kepada NabiNya:
“Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Irbadl bin Himar.

Sebagaimana para thoghut itu mengusir orang-orang yang komitmen dengan agama mereka dari kalangan orang-orang umum, dengan propaganda dan mengatakan mereka sebagai orang yang bodoh terhadap agama mereka, maka orang-orang komitmen dengan agama mereka haruslah juga mengasingkan para thoghut itu dari kalangan orang umum, dengan cara menyebarluaskan ilmu syar’ii dan kewajiban untuk berjihad melawan mereka.

Sebagaimana para thoghut itu memboikot harta dan mempersempit sumber penghidupan mereka, sebagaimana firman Alloh:
“(Juga) bagi orang-orang faqir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka, “ (QS. 59:8)

Maka wajib juga terhadap orang-orang yang komitmen terhadap agama mereka untuk mengusir para thoghut itu dari harta yang digunakan untuk memperkuat tentara mereka yang mereka gunakan untuk memerangi Alloh dan RosulNya.

Oleh karena itu Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., mendo’akan bencana atas orang-orang Quraisy yang berada di Al-Muja’ah. Dalam hal ini Abdulloh bin Mas’ud mengatakan:
“Sesungguhnya orang-orang Quraisy ketika mereka mengalahkan nabi, beliau berdo’a; Ya Alloh bantulah aku menghadapi mereka dengan menimpakan paceklik sebagaimana yang Engkau timpakan pada masa Yusuf. Maka orang quraisy pun tertimpa paceklik sampai-sampai mereka maka tulang dan bangkai pada masa itu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhori no. 4822.

Dan haram bagi orang Islam untuk membayarkan harta mereka kepada para thoghut itu dalam bentuk apapun seperti pajak dan lain-lain, kecuali darurat atau mukroh (dipaksa).

Alloh berfirman:
“Dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2)

Dan Alloh berfirman:
“Dan janganlah kau berikan harta kalian kepada sufaha’ (orang-orang bodoh).” (An-Nisa’: 5)

Dan harus diketahui, bahwa pemerintahan thoghut dan undang-undangnya itu tidak syah secara syar’ii.

Sungguh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., telah bersabda:
“Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan ajaran kami maka amalan itu tertolak.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim).

Hal ini telah saya sebutkan dalam pembahasan dasar-dasar berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam dasar yang keenam. Dan wajib pula bagi kaum muslimin untuk menguasai harta orang-orang kafir dengan paksaan (sebagai ghonimah) atau dengan tipu daya dan yang lainnya (sebagai fai’). Dan Rosululloh telah keluar untuk menguasai harta orang-orang Quraisy untuk dipergunakan kaum muslimin, maka terjadilah perang Badar.

Kesimpulannya secara umum adalah hendaknya permasalahan jihad itu dirubah dari permasalahan orang-rang tertentu menjadi permasalahan umum. Karena membatasi jihad dalam permasalahan orang-orang tertentu tidak akan mendatangkan perubahan yang diharapkan karena hal ini bertentangan dengan kaidah yang tidak akan berubah:
“Sesungguhnya Alloh tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.” (Ar-Ro’d: 11)

Hal ini bukan berarti semua rakyat harus ikut serta dalam permasalahan ini, karena hal ini tidak mungkin. Akan tetapi yang diharapan adalah hendaknya dilaksanakan oleh sejumlah orang yang membangun kekuatan yang mampu untuk melaksanakan pemerintahan Islam kemudian menjaganya dari musuh-musuh yang berada di dalam dan di luar. Adapun yang lainnya cukup untuk menjadi pendukung atau minimal menjadi orang yang netral, sampai kebenaran itu jelas bagi mereka.

Dan wajib pula untuk menyadarkan orang awam, jika mereka tidak bisa memberikan peran positif maka jangan sampai mereka memberikan peran negatif. Hal ini dapat dilakukan dengan tidak memberikan bantuan kepada para thoghut, dan meningkatkan pertentangan terhadap thoghut. Lalu akan meningkat pula keganasan dan gangguan mereka terhadap orang-orang yang beriman. Dengan demikian permasalahan jihad ini setiap hari akan memasuki rumah baru dari rumah-rumah kaum muslimin, yang akan mendapatkan para pembela baru sampai datang janji Alloh, sesungguhnya Alloh tidak akan mengingkari janjiNya.

Alloh berfirman:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan. (QS. 28: 5-6)

G.Memerangi para penguasa murtad itu lebih diutamakan dari pada memerangi orang-orang kafir asli (yang kekafirannya bukan karena disebabkan murtad-pent.) seperti yahudi, nasrani dan penyembah berhala.

Hal ini ditinjau dari tiga sisi:

Pertama;
jihad semacam ini merupakan jihadu daf’i (defensif) yang hukumnya adalah fardlu ‘ain, sehingga jihad semacam ini lebih diutamakan daripada jihaduth tholab (ofensif). Jihad ini adalah jihadu daf’i karena para penguasa tersebut adalah orang-orang kafir yang menguasai negeri kaum muslimin. Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun qitalu daf’i, perang ini merupakan yang paling besar dalam rangka melawan penyerang yang merusak agama dan dunia. Tidak ada yang lebih wajib setelah beriman selain melawannya. Tidak disyaratkan lagi dengan syarat apapun, akan tetapi mereka dilawan sesuai dengan kemampuan.” (Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyah, hal 309).

Dan disebutkan pada faqroh ke 7 bahwa jihad menjadi fardlu ‘ain ketika musuh menduduki negeri kaum muslimin.(1)

Kedua:
Mereka adalah orang-orang murtad, dan telah berlalu penjelasannya dalam Faqroh ke 14(2)bahwa memerangi orang murtad itu lebih diutamakan dari pada memerangi orang kafir asli.

Ketiga:
"Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, “(QS. 9:123)

Penjelasan masalah ini telah berlalu dalam faqroh ke 13(3)


Makalah ini diterjemahkan dari kitab Al-‘Umdah Fii I’daadil ‘Uddah Lil Jihaadi Fii Sabiilillaah, Bab IV, Lampiran ke 2, Faqroh ke 15, karangan Abdul Qodir bin Abdul Aziz, diambil dari situs Mimbarut Tauhid Wal Jihad www. almaqdese.com



----------------------------------------------------------------------
FootNote:


1 - (Pada faqroh ketujuh beliau menukil perkataan Ibnu Qudamah sebagai berikut-.pent.)

Ibnu qudamah berkata: “Dan jihad itu fardlu ‘ain pada tiga keadaan;

Pertama;
Jika dua pasukan telah bertemu, maka haram bagi orang yang ada di situ untuk meninggalkan tempat, dan dia harus tetap teguh dan bertahan.

Berdasarkan firman Alloh;
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka tetap teguhlah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmt dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal: 45-46)

Kedua;
Apabila orang-orang kafir menduduki sebuah negeri (umat Islam-pent.), maka wajib bagi penduduk negeri tersebut untuk memerangi dan melawan mereka.

Ketiga;
Jika imam memerintahan suatu kaum untuk berangkat berperang, maka wajib bagi kaum tersebut untuk berperang bersama imam tersebut.
Berdasarkan firman Alloh;
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu :"Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu meresa berat dan ingin tinggal ditempatmu. (QS. 9:38)

Dan ayat setelahnya. Dan rosululloh bersabda;
“Dan jika kalian diperintahkan untuk berangkat berperang, maka berangkatlah.” (Al-Mugh-ni Wasy Syarhil Kabir X/365-366)

Saya katakan (Abdul Qodir bin Abdul Aziz-pent.); Dan dalil yang menjadi landasan untuk keadaan yang kedua adalah sama dengan dalil yang digunakan untuk dalil pada keadaan yang pertama.

"apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka tetap teguhlah kamu"

"apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)"

Karena jika orang-orang kafir menduduki sebuah negeri itu sama dengan telah bertemunya dua pasukan.



2 - (Yang beliau maksud adalah berikut ini- pent.) :

Faqroh ke 14

Memerangi orang-orang murtad yang mumtani’in (mempertahankan diri) lebih diutamakan dari pada memerangi orang-orang kafir asli (yang kekafirannya bukan karena murtad).
Karena murtad adalah kejahatan yang besar dan yang paling membahayakan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Telah ditetapkan dalan As-Sunnah bahwa hukuman orang murtad itu lebih besar dari pada hukuman orang kafir asli dari berbagai sisi. Di antaranya orang murtad itu dibunuh bagaimanapun keadaanya, ia tidak dikenakan untuk membayar jizyah, dan tidak dijadikan ahludz dzimmah. Lain halnya dengan orang kafir asli (mereka boleh menjadi ahludz dzimmah dengan membayar jizyah-pent.).

Di antaranya adalah orang murtad itu harus dibunuh meskupun ia tidak mampu berperang, lain halnya dengan orang kafir asli yang tidak mempunyai kelayakan berperang, sesungguhnya orang kafir asli yang tidak mempunyai kelayakan untuk berperang tidak boleh dibunuh menurut kebanyakan ulama’ seperti Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Oleh karena itu menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama’) orang murtad itu harus dibunuh. Hal ini sebagaimana madzhab Malik, Asy-Syafi’ii dan Ahmad. Di antaranya adalah orang murtad itu tidak mewarisi, tidak boleh dinikahi dan tidak boleh dimakan sembelihannya, lain halnya dengan orang kafir asli. Dan juga hukum-hukum yang lainnya.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/534).

Ibnu Taimiyah juga mengatakan: “Kufru ar-riddah (kekafiran karena murtad) itu lebih berat dari pada kekafiran orang kafir asli berdasarkan ijma’.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/478).

Beliau mengatakan di tempat lain: “Abu Bakar Ash-Shiddiq dan seluruh sahabat berjihad melawan orang-orang murtad terlebih dahulu sebelum jihad melawan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab. Karena sesungguhnya jihad melawan orang murtad itu fungsinya adalah menjaga negeri kaum muslimin yang telah ditaklukkan, dan memasukkan orang yang ingin keluar darinya. Sedangkan memerangi orang-orang musyrik dan ahli kitab yang tidak memerangi kita adalah merupakan tambahan idz-harud din. Dan menjaga modal itu lebih diutamakan dari pada mencari laba.” (Majmu’ Fatawa XXV/158-159)

Saya katakan: Para sahabat bersepakat (ijma’) untuk memulai perang dengan memerangi orang murtad. Dan pemberangkatan pasukan Usamah bin Zaid ke Romawi pada permulaan kekhilafahan Abu Bakar tidaklah merancaukan permasalahan ini. Karena hal itu dilakukan karena perintah Rosululloh saw., selain itu peperangan itu mempunyai dampak yang besar dalam menggentarkan orang yang ingin murtad. (Al-Bidayah Wan Nihayah karangan Ibnu Katsir VI/304-305)



3 - (Yang beliau maksud adalah berikut ini- pent.) :

Faqroh ke 13 Wajib memulai peperangan melawan musuh yang paling dekat.
Berdasarkan firman Alloh:
“Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu,” (QS. 9:123)

Ibnu Qudamah berkata:” Masalah; Setiap kaum memerangi musuh yang berada di sekitarnya. Hal ini dasarnya adalah firman Alloh:
“Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu,” (QS. 9:123)

Dan juga karena yang terdekat itu adalah yang paling berbahaya, dan memerangi musuh yang terdekat itu berarti menolak bahaya yang berada dihadapan dan juga bahaya rang yang dibelakang nereka. Sedangkan menyibukkan diri dengan musuh yang jauh akan menyebabkan musuh yang terdekat memanfaatkan kesempatan untuk menyerang kaum muslimin karena kaum muslimin melalaikannya. – sampai beliau berkata – jika hal ini telah ditetapkan namun apabila dia mempunyai alasan untuk memulai perang terhadap musuh yang jauh karena hal itu lebih mengkhawatirkan atau memulai memeranginya itu terdapat kemaslahatan karena jarak dan kesempatan yang mereka miliki, atau karena ada perjanjian damai dengan musuh yang paling dekat atau ada penghalang yang menghalangi untuk memerangi musuh yang paling dekat, maka jika keadaannya seperti ini tidak mengapa untuk memulai perang terhadap musuh yang lebih jauh, karena hal itu dibutuhkan.” (Al-Mughni Ma’asy Syarhil Kabir X/372-373)


Hukum-Hukum yang Berkaitan Dengan Negara

Al Jaami-u Fi Thalabil Ilmi Asy Syarif 2 hal 638-655
Hukum-Hukum Yang Berkaitan
Dengan Negara
Oleh Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz

Pembahasan ini memuat lima permasalahan :
1.Dasar pembagian dunia menjadi dua negara.
2.Dalil-dalil pembagian tersebut.
3.Definisi Daarul Islam (negara Islam) dan Daarul Kufri (negara kafir)
4.Perubahan status negara.
5.Hukum-hukum yang ditimbulkan akibat perbedaan status negara.

Di bawah ini kami terangkan secara ringkas kelima masalah tersebut di atas.


A. Dasar pembagian dunia menjadi dua negara

Ketahuilah bahwa yang mendasari pembagian dunia menjadi dua negara, yaitu Daarul Islam dan Daarul Kufri adalah keumuman diutusnya nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam kepada seluruh umat manusia. Keumuman tempat yang meliputi seluruh penduduk bumi, dan keumuman waktu sejak masa diutusnya nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam sampai hari kiamat nanti.

Dengan umumnya dakwah beliau dan terang-terangannya beliau menyuarakan dakwah, maka manusia terpecah menjadi dua kelompok ; orang yang beriman kepada beliau dan orang yang kafir kepada beliau. Allah Ta’ala kemudian memerintahkan kaum beriman untuk berhijrah, berpindah dari tengah-tengah orang-orang kafir. Allah Ta’ala menyiapkan untuk mereka kaum anshar (penolong) di Madinah. Maka jadilah Madinah sebagai Daaru al hijrah (negara tempat hijrah) dan mujtama’ muhajirin (masyarakat muhajirin). Di sanalah Rasulullah membina negara Islam, dan kewajiban hijrah ke Madinah terus berlanjut sampai terjadinya Fathu Makkah, kemudian kewajiban hijrah tetap berlaku atas setiap individu muslim yang tinggal di tengah orang-orang kafir. Dengan itulah, negara terpecah menjadi Daarul Islam, yaitu masyarakat Islam, tempat kaum muslimin berkuasa dan memerintah, dan Daarul kufri, yaitu masyarakat kafir, tempat kaum kafir berkuasa dan memerintah. Allah Ta’ala kemudian memerintahkan kaum muslimin untuk memerangi orang-orang kafir sampai hari kiamat nanti. Maka, negara mereka kemudian disebut juga dengan nama Daarul Harbi (negara yang statusnya syah diperangi secara syar’i).

Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :

[a]-Dalil-dalil yang menunjukkan keumuman bi’tsah nabi shallallahu ‘alaii wa salam, adalah firman Allah Ta’ala :
“ Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (yaitu al-Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” [QS. Al Anbiya’ :1].

“Katakanlah:"Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua …”[QS. Al A’raaf :158].

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan “ [QS. As Saba’ :28].

Dan katakanlah kepada ahlu kitab (Yahudi dan nasrani) dan orang-orang yang ummi:"Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah).” [QS. Ali Imran :20].

“ Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi “ [QS. Ali Imran : 85].
Dan ayat-ayat lain yang semakna. Rasulullah bersabda :
"Saya dikarunia lima hal yang belum pernah dikaruniakan kepada para nabi sebelumku ; {1} Aku diberi kemenangan oleh Allah dengan rasa takut sebelum bertemu musuh sejarak satu bulan perjalanan, {2} Seluruh permukaan bumi dijadikan untukku suci dan tempat sholat, maka di manapun seorang umatku mendapati waktu sholat telah tiba hendaklah ia sholat di situ {3} ghanimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku, {4} seorang nabi itu diutus kepada kaumnya saja, namun aku diutus kepada seluruh manusia, dan {5} aku dikaruniai syafa’at.” (HR. Bukhari dari shahabat Jabir rhadiyallahu ‘anhu.)

Keumuman risalah beliau sudah menjadi hal yang ma’lum minad dien bi dharurah (setiap individu muslim mengetahuinya).

Adapun terpecahnya umat manusia setelah adanya dakwah beliau menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang beriman dan kelompok yang kafir, maka sudah menjadi sunatullah (ketetapan taqdir Allah) sejak para rasul terdahulu. Hal ini merupakan taqdir Allah, bahwa manusia sampai hari kiamat---sampai bertiupnya angin lembut yang mencabut nyawa setiap orang beriman--- nanti pasti terpecah menjadi dua kelompok ; orang yang beriman dan orang yang kafir. Dengan adanya dua kelompok inilah, ujian yang juga telah ditakdirkan Allah Ta’ala akan terealisasi.

Sebagaimana firman Allah :
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [QS. An Nahl :36]

"Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari (kalangan) orang-orang yang berdosa.” [QS. Al Furqan :31].

"Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat,kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan; sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” [QS. Huud :118-119].

Dalam hadits :
"Dan Muhammad itu memecah belah manusia.” (HR. Bukhari dari shahabat Jabir, no. 7281)

Dalam hadits qudsi ;
“ Dan bersama orang yang mentaatimu, perangilah orang yang menyelisihimu.” (HR. Muslim dari Iyadh bin Himar)

Maka, pasti ada orang mukmin dan ada orang kafir sehingga ujian akan terealisasikan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
” yang demikian itu sekiranya Allah berkehendak niscaya Allah membinasakan mereka akan tetapi supaya Allah menguji sebagian kalian denga nsebagian yang lain.[QS. Muhammad :4].

“ dan kami jadikan sebagian kalian untuk sebagian lain sebagai fitnah, apakah kalian sabar dam Rabbmu adalah Maha melihat.[QS. Al Furqan :20].

Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman :
"Sesungguhnya Aku mengutusmu untuk mengujimu dan menguji (manusia) denganmu.” (HR Muslim dari Iyadh bin Himar)

Tentang kewajiban hijrah bagi setiap muslim yang tinggal di tengah orang-orang kafir, Allah Ta’ala berfirman ;
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:"Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka menjawab:"Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata:"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali,” [QS. An Nisa’ :97].

Ancaman dalam ayat ini bagi orang-orang yang tidak berhijrah, menunjukkan bahwa berhijrah itu hukumnya wajib. Karena sesuatu yang bila ditinggalkan akan diancam dengan siksaan, adalah sesuatu yang wajib, kecuali orang-orang yang mempunyai udzur sebagaimana disebutkan dalam ayat selanjutnya. Hal ini juga ditunjukkan oleh ancaman yang disebutkan dalam hadits-hadits yang memerintahkan berhijrah, sebagaimana sabda Rasulullah :
“ Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrik, supaya api keduanya tidak bertemu.” (HR. Abu Daud dengan sanad mursal shahih)

“ Hijrah tidak akan pernah berhenti selama masih ada musuh yang diperangi.” (HR. Ahmad. Imam Al Haitsami mengatkan ; perawinya para perawi ash shahih)

Adapun kewajiban memerangi orang-orang kafir, maka dalil-dalilnya sudah sangat diketahui, antara lain firman Allah Ta’ala :
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu jumpai mereka.” [QS. At taubah :5].

“dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya.” [QS. At Taubah :36].

Juga sabda Rasulullah ;

“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah.” [HR. Muttafaq ‘alaihi].

"Saya diutus sebelum hari kiamat dengan pedang sampai hanya Allah semata yang diibadahi.” (HR. Ahmad)

Catatan Penting :
Ketika kami mengatakan bahwa keumuman risalah adalah dasar pembagian dunia menjadi dua negara, maka sesungguhnya tidak disyaratkan adanya kedua negara tersebut secara bersamaan di dunia ini. Juga bukan menjadi syarat sahnya penamaan sebuah negara sebagai Daarul kufri, adanya sebuah Daarul Islam di dunia ini. Ini bukanlah faktor penentuan status sebuah negara, sebagaimana akan kami jelaskan insya Allah. Terkadang di dunia ini dalam satu masa tertentu tidak terdapat Daarul Islam, dan yang ada hanyalah Daarul kufri, sebagaimana hal ini pernah terjadi pada masa awal dakwah Islam sebelum kaum muslimin berhijrah ke Madinah, sebagaimana hal ini juga terjadi pada masa sekarang.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits Hudzaifah bin Yaman tentang berbagai fitnah yang akan terjadi, di mana dalam hadits tersebut disebutkan :
“Apa yang anda perintahkan kepadaku jika aku mendapati kondisi seperti itu ? Rasulullah menjawab,” Kamu tetap setia kepada jama’ah kaum muslimin dan Imamnya.” Aku bertanya,” Jika kaum muslimin tidak mempunyai jama’ah dan Imam ? Beliau menjawab,” Jauhilah seluruh kelompok tersebut. Sekalipun engkau harus menggigit akar pohon, sampai kematian menjemputmu dalam kondisi seperti itu.” (HR. Muttafaq ‘alaihi.)

Demikian pembahasan dasar pembagian dunia menjadi dua negara.


B. Dalil-Dalil Pembagian Ini

Sebagian ulama kontemporer seperti Dr. Wahbah Zuhaili dalam bukunya “ Atsarul Harbi Fi Al-Fiqahi Al Islami” menyatakan bahwa pembagian dunia menjadi dua negara seperti ini tidak berdasar dalil baik dalil Al Qur’an maupun as sunah, pembagian ini hanyalah sekedar ijtihad para ulama setelah masa kenabian dan masa shahabat.

Harus diketahui bahwa pembagian ini adalah pembagian yang sudah menjadi ijma’ para ulama, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, sedang ijma’ pasti berdasar dalil Al Qur’an atau as sunah, sebagaimana dikatakan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 7/39. Di sini kami akan menyebutkan sebagian dalil pembagian dunia menjadi dua negara ini.


[a]-Dari ayat Al Qur’an, antara lain firman Allah Ta’ala :

“Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka:"Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami".[QS. Ibrahim :13].

“Pemuka-pemuka dari kaum Syu'aib yang menyombongkan diri berkata:"Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami" [QS. Al A’raaf :88].

Kata gabung dalam dua kalimat “negeri kami” dan “kota kami”, yaitu penggabungan kata negeri dan kota kepada kata ganti pembicara “kami”, merupakan kata gabung yang menunjukkan kepemilikan (idzafatu tamaluk). Negeri kami dan kota kami artinya adalah negeri orang-orang kafir dan kota orang-orang kafir, yang dimiliki dan dikuasai oleh orang-orang kafir, dengan segenap perintah, larangan dan kekuasaan di tangan mereka. Karena itulah, mereka mengancam para rasul, dan inilah sifat Daarul kufri.

Juga firman Allah Ta’ala :

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:"Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka menjawab:"Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata:"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu". [QS. An Nisa’ :97].

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka)”.[QS. Al Mumtahanah ;10].

“Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” [QS. Al Anfal :72].

Nash-nash yang secara khusus berkaitan dngan hijrah ini dengan jelas sekali menunjukkan adanya dua negara ; Daarul Islam dan Daarul kufri. Karena setiap kali disebutkan kata hijrah dalam syariat, maka maknanya adalah berpindah dari Daarul kufri kepada Daarul Islam.

Dalil lain yang juga menunjukkan hal ini antara lain adalah firman Allah Ta’ala :
“nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik”. [QS. Al A’raaf :145].


[b]- Dalil dari As-Sunnah.

Hadits-hadits yang mewajibkan hijrah telah menunjukkan pembagian dunia menjadi dua negara, di antaranya adalah hadits-hadits dalam pembahasan (A) di atas. Juga sabda Rasulullah :

“Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram (menggangu harta dan nyawanya). (Setiap muslim atas muslim lainnya adalah) Dua saudara yang saling menolong. Allah tidak menerima amalan seorang musyrik yang masuk Islam sampai ia mau bergabung dengan kaum muslimin dan meninggalkan orang-orang musyrik.” (HR. An Nasa-i dengan sanad hasan dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya)

Selain hadits-hadits tentang wajibnya hijrah, dalil lainnya antara lain :
“Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah melarang bepergian dengan membawa Al Qur’an ke negeri (daerah) musuh.” (HR Muttafaq ‘alaihi)

Hadits Ibnu Abbas yang panjang tentang hukum rajam, di mana di dalamnya abdurahman bin Auf berkata kepada Umar bin Khatab saat masih di Mina :
”Undurkanlah sampai engkau pulang ke Madinah karena sesungguhnya Madinah itu adalah negara hijrah dan sunah.” (HR. Bukhari no. 6830)

Juga hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa-i dengan sanad shahih dari Ibnu Abbas ia berkata :
“ Sesungguhnya Rasulullah, Abu Bakar dan Umar adalah kaum muhajirin karena mereka berhijrah (meninggalkan) orang-orang musyrik. Dan di kalangan ansharpun ada yang tergolong muhajirin karena Madinah dahulunya adalah daaru syirki (negara syirik), kemudian mereka datang kepada Rasulullah pada malam (bai’ah)Aqabah.”

Juga hadits Abu Hurairah tentang kisah hijrahnya, ia mengatakan :
” Ketika saya datang kepada nabi, di jalan saya mengatakan : Duhai alangkah panjang dan beratnya malam hari Karena meninggalkan daaratul kufri. Seorang budakku yang menemaniku melarikan diri di tengah jalan. Ketika aku mendatangi nabi, aku membaiatnya, tiba-tiba datanglah budakku yang lari itu. Rasulullah bersabda,” wahai Abu Hurairah, ini lho budakmu ! Aku menjawab,”Ia untuk wajah Allah. Aku memerdekakannya.” [HR. Bukhari no. 4393].

Ibnu mandhur mengatakan,” Secara bahasa, daaratun artinya daar (negara).”Lisaanul Arab 4/298, Daaru Shadir, Beirut.

Juga hadits Aisyah tentang kisah budak perempuan yang berhijrah yang dituduh mencuri sebilah pedang. Dalam hadits itu disebutkan :
“Dٍari Aisyah bahwasanya ada seorang budak perempuan hitam di sebuah kampung arab. Mereka memerdekakan budak perempuan hitam itu dan ia lalu tingggal bersama mereka. Pada suatu hari seorang anak perempuan yang memakai gelang kulit bertabur mutiara mendatangi budak perempuan itu. Anak perempuan itu meletakkan gelangnya –atau gelang itu terjatuh---, tiba-tiba lewatlah seekor burung Hud-Hud kecil yang lantas mematuk gelang itu karena mengiranya sekerat daging. Penduduk kampung itu mencari-cari gelang itu, namun mereka tidak menemukannya, maka mereka menuduh sayalah pencurinya. Mereka menggeledahku, bahkan sampai memeriksa kemaluanku. Demi Allah, saat aku berdiri di tengah mereka itulah, tiba-tiba burung Hud-ud kecil tadi melemparkan kembali gelang itu kepada mereka. Aku katakan,” Ini, lho, yang kalian tuduhkan kepadaku tadi. Kalian mengira aku pencurinya, padahal aku tidak melakukannya. Ini dia gelang tersebut.” Budak perempuan itu kemudian mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dan masuk Islam. Aisyah rhadiyallahu ‘anha berkata,” Budak perempuan itu mempunyai gubuk kecil di masjid. Ia biasa datang kepadaku dan bercerita. Tidaklah ia berada di sisiku kecuali ia selalu mengatakan :
Hari gelang mutiara merupakan keajaiban dari Rabb kita Allah lah yang telah menyelamatkanku dari baldatul kufri . Aku (Aisyah) bertanya kepadanya,” Kenapa kamu selalu mengatakan hal itu setiap kali bertemu denganku ?” Budak perempuan itu kemudian menceritakan kisahnya kepadaku (Aisyah).” [HR. Bukhari no. 439].

Baldatul kufri dalam hadits ini adalah Daarul kufri, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar ketika menerangkan hadits ini,” hadits ini menunjukkan keutamaan berhijrah dari Daarul kufri.” [Fathul Baari 1/535].

Nash-nash ini menunjukkan bahwa pembagian dunia menjadi dua negara ; Daarul Islam dan Daarul kufri adalah suatu pembagian yang berdasar kepada Al Qur’an, As Sunnah dan diriwayatkan dari generasi shahabat. Nash-nash ini juga menunjukkan bahwa hijrah dari negara kedua (Daarul kufri) menuju negara pertama (Daarul Islam) adalah wajib. Lebih dari itu, dalam Al Qur’an dan as sunah ---dalam nash-nash di atas--- ada beberapa istilah khusus untuk menyebut kedua negara tersebut, seperti Daarul hijrah wa sunah, Daarul syirki, daaratul kufri dan baldatul kufri. Ini semua membantah orang yang menganggap pembagian dunia menjadi dua bagian sebagai sekedar ijtihad ulama semata.


C. Definisi Daarul Islam dan Daarul Kufri

Dari dalil-dalil yang telah disebutkan dalam dua pembahasan di atas nampak jelaslah bahwa Daarul Islam adalah negeri-negeri yang tunduk kepada pemerintahan Islam dan hukum Islam, sedang Daarul kufri adalah negeri-negeri yang tunduk kepada pemerintahan kafir dan negeri kafir.

Dibawah ini disebutkan beberapa pendapat para ulama dalam masalah ini :

Imam Ibnul Qayyim berkata,” Mayoritas ulama mengatakan bahwa Daarul Islam adalah negara yang dikuasai oleh umat Islam dan hukum-hukum Islam diberlakukan di negeri tersebut. Bila hukum-hukum Islam tidak diberlakukan, negara tersebut bukanlah Daarul Islam, sekalipun negara tersebut berdampingan dengan sebuah Daarul Islam. Contohnya adalah Thaif, sekalipun letaknya sangat dekat dengan Makkah, namun dengan terjadinya fathu Makkah ; Thaif tidak berubah menjadi Daarul Islam.” [Ahkamu Ahli Dzimmah 1/366, Ibnu Qayyim, cet. Daarul Ilmi lil malayiin, 1983 M].

Imam As Sarkhasi Al hanafi rahimahullah mengatakan,” Menurut Abu Hanifah rahimahullah, sebuah negara berubah menjadi Daarul harbi dengan terpenuhinya tiga syarat, yaitu Pertama. Negara tersebut berbatasan langsung dengan Daarul kufri. Antara negara tersebut dengan Daarul harbi tidak diselingi oleh sebuah negara kaum muslimin. Kedua. Di negara tersebut tidak ada lagi orang Islam yang hidup aman dengan jaminan keimanan atau orang kafir dzimmi yang hidup aman dengan jaminan dzimmah. Ketiga. Penduduknya memberlakukan hukum-hukum syirik di negara tersebut.

Menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad (bin Hasan) rahimahumallah, jika penduduknya memberlakukan hukum-hukum syirik di negara tersebut, negara tersebut telah berubah menjadi Daarul harbi. Karena sebuah wilayah itu dinisbahkan kepada kita (umat Islam) atau kepada mereka (kaum kafir) berdasar faktor kekuatan dan dominasi. Setiap wilayah dimana hukum syirik mendominasi, maka kekuatan di wilayah tersebut berada di tangan orang-orang musyrik, sehingga otomatis negara tersebut merupakan Daarul harbi. Sebaliknya, setiap wilayah di mana yang berlaku adalah hukum-hukum Islam, kekuatan akan berada di tangan kaum muslimin.” [Al Mabsuth, 10/114, As Sarkhasi, cet. Daarul ma’rifah].

Kedua murid senior Imam Abu Hanifah menjadikan faktor dominasi (kekuatan) dan hukum-hukum yang berlaku, sebagai standar penetapan sebuah negara.

Para ulama tidak menjadikan syarat-syarat yang disebutkan oleh Imam Abu Hanifah sebagai standar penamaan sebuah Daarul Islam, bahkan kedua murid senior beliaupun, Qadhi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani, turut menyelisihi pendapat beliau, sebagaimana disebutkan oleh Imam As Sarkhasi. Hal ini juga disebutkan oleh Imam ‘Alau-din Al Kasani, di mana beliau menyebutkan alasan kedua murid senior Imam Abu Hanifah dengan mengatakan,”
Sesungguhnya setiap negara itu dinisbahkan kepada Islam atau kekafiran. Sebuah negara hanya dinisbahkan kepada Islam jika hukum-hukum yang diberlakukan di negara tersebut adalah hukum-hukum Islam. Sebaliknya, sebuah negara dinisbahkan kepada kekafiran manakala hukum-hukum yang diberlakukan di negara tersebut adalah hukum-hukum kafir. Sebagaimana anda menyebut surga dengan istilah daarus salam, dan neraka dengan istilah Daarul Bawar, karena di surga ada salam (keselamatan) dan di neraka ada bawar (kesengsaraan). (Alasan lainnya adalah) juga karena Islam atau kekafiran itu mendominasi manakala hukum-hukum Islam atau hukum-hukum kekafiran mendominasi.” [Bada-i’u Shanai’ 9/4375, cet Zakaria Ali Yusuf].

Imam Al Kasani menyebutkan bahwa standar penilaian status sebuah negara adalah hukum-hukum yang berlaku di dalamnya.

Imam Ibnu Qudamah Al Hambali juga mengkritik syarat-syarat Imam Abu Hanifah. Beliau mengatakan,” Kapan saja penduduk sebuah negeri murtad dan di negeri itu berlaku hukum-hukum mereka, negeri tersebut berubah menjadi Daarul harbi, (maka hukum-hukum atas Daarul harbi juga berlaku, seperti;) harta mereka dijadikan ghanimah dan keluarga mereka ditawan. Menjadi kewajiban Imam (khalifah) untuk memerangi mereka, karena Abu Bakar ash shidiq radiyallahu ‘anhu bersama generasi shahabat telah memerangi orang-orang murtad. Juga karena Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir dalam banyak ayat Al Qur’an, sementara orang-orang murtad merupakan orang kafir yang paling berhak diperangi karena tidak memerangi mereka boleh jadi akan menghasung orang-orang kafir semisal mereka untuk melakukan tindakan serupa dan ikut murtad. Dengan demikian, bahayanya semakin bertambah. Dalam memerangi mereka ; orang yang tertangkap dibunuh, orang yang melarikan diri dikejar, orang yang terluka dibiarkan dengan lukanya dan harta mereka dijadikan ghanimah.

Demikianlah pendapat Imam Syafi’i. Imam Abu Hanifah berpendapat negara tersebut tidak menjadi Daarul harbi, sampai terpenuhi tiga syarat, yaitu Pertama ; negara tersebut berbatasan langsung dengan Daarul harbi dan tidak diselingi dengan Daarul Islam. Kedua ; di negara tersebut tidak ada lagi seorang muslim atau kafir dzimmi yang bisa hidup dengan aman, dan Ketiga ; Di negara tersebut berlaku hukum-hukum mereka (kafir). ----Ibnu Qudamah berkata---Dasar pendapat kami adalah karena negara tersebut dikuasai orang-orang kafir, dan hukum-hukum kafir diberlakukan. Maka negara tersebut menjadi Daarul harbi.” [Al Mughni Ma’a Syarhu Al Kabir 10/95].

Di sini, Imam Ibnu Qudamah menjadikan jenis hukum yang berlaku di sebuah negara sebagai standar penilaian status sebuah negara.

Imam Asy Syarkhasi mengatakan dalam syarah (penjelasan) beliau atas kitab as siyaru al kabiru,”Sebuah negara berubah menjadi negara kaum muslimin dengan dipraktekkannya hukum-hukum Islam.” [As Siyaru al Kabir 5/2197].

Al qadhi Abu Ya’la Al Hanbali mengatakan,” Setiap negara di mana hukum yang dominan (superioritas hukum) adalah hukum-hukum kafir dan bukannya hukum-hukum Islam, adalah Daarul kufri.” [Al Mu’tamadu Fi Ushuli Dien hal. 276, Daarul Masyriq, Beirut, 1974].

Demikian juga yang dikatakan oleh Abdul Qahir Al baghdadi dalam bukunya, Ushulu Dien hal. 270, cetakan 2, Daarul Kutub Al Ilmiyah, Beirut. Syaikh Manshur Al Bahuti mengatakan,” Wajib hijrah bagi orang yang tidak mampu idzharu dien di sebuah Daarul harbi, yaitu negara di mana superioritas hukum adalah hukum-hukum kafir.” [Kasyful Qana’ 3/43].


Manaathul Hukmi (Standar penilaian) status negara

Manaathul Hukmi adalah ‘ilah (alasan). Alasan hukum disebut manaath karena menjadi tempat menggantungkan hukum. Dinamakan juga ‘ilah (alasan hukum) karena berpengaruh dalam tempat tersebut, sebagaimana pengaruh sakit. Jadi, ‘Ilah adalah sifat yang sebuah hukum dikaitkan dengan keberadaan sifat tersebut. Jika sifat tersebut ada, maka hukum pun ada. Bila sifat tersebut tidak ada, maka hukumpun tidak ada. Inilah yang dimaksud dengan perkataan para ulama (al hukmu yaduudru ma’a ‘ilatihi wujudan wa ‘adaman) {ada tidaknya sebuah hukum bergantung kepada ada tidaknya ‘ilah).

Perkataan para ulama di atas telah menyebutkan dua sebab dalam menghukumi sebuah negara :
Rata Tengah
Pertama.
Kekuatan dan dominasi. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan,” Karena sebuah tempat {wilayah) dinisbahkan kepada kita atau kepada mereka berdasar kekuatan dan dominasi.”

Kedua.
Jenis hukum yang diberlakukan di tempat tersebut, sebagaimana terdapat dalam semua pendapat ulama yang kami nukil di atas. Setelah diteliti, dua sebab ini ternyata kembalinya kepada satu sebab, yaitu alasan hukum yang berlaku di negara tersebut. Antara dua pendapat ini sebenarnya tidak ada kontradiksi, karena dominasi dan hukum itu dua hal yang berkaitan erat. Orang yang berkuasa (mendominasi) tidak disebut mendominasi kecuali jika ia yang memegang kekuasaan memerintah dan melarang. Perintah dan larangan merupakan bentuk paling penting dari adanya dominasi dan kekuasaan. Penguasa muslim akan menerapkan hukum-hukum Islam, sebab kalau tidak ia bukanlah seorang muslim. Sementara penguasa kafir akan menerapkan hukum kafir. Dengan ini jelaslah, bahwa alasan penamaan sebuah negara adalah jenis hukum yang diberlakukan di negara tersebut, yang menunjukkan siapa yang berkuasa dan mendominasi di negara tersebut.

Sebagaimana dikatakan oleh Abu Yusuf dan Muhammad bi Hasan –dinukil oleh Imam Syarkhasi---:
“ Setiap tempat di mana hukum syirik mendominasi, maka kekuatan di negara tersebut berada di tangan orang-orang musyrik, maka negara tersebut adalah Daarul harbi. Sedang negara manapun di mana yang mendominasi adalah hukum-hukum Islam, maka kekuatan di negara tersebut berada di tangan umat Islam.”

Dalam pembahasan jika orang-orang kafir menguasai Daarul Islam, akan diterangkan bahwa manakala orang-orang kafir menguasai Daarul Islam, sementara hukum-hukum Islam masih tetap diberlakukan di negara tersebut (diistilahkan dengan al istila’ an naqish), negara tersebut tetap menjadi Daarul Islam. Hal ini menunjukkan bahwa alasan penamaan sebuah negara terletak pada faktor hukum-hukum yang diterapkan.

Dengan demikian bisa dipahami bahwa alasan penamaan terletak pada faktor hukum-hukum yang diterapkan di sebuah negara, merupakan sebuah sifat yang sudah tepat untuk menarik kesimpulan, dikarenakan faktor hukumlah ---dan bukan penguasa---yang akan menbentuk sebuah negara. Hukum-hukum Islam, dengan berbagai perintah dan larangannya, akan membentuk (mencetak) sebuah negara menjadi negara yang Islami. Demikian juga, hukum-hukum kafir dengan segala perintah, larangan dan permisifismenya akan membentuk (mencetak) sebuah negara menjadi negara kafir yang memperbolehkan murtad, atheisme, menghujat agama tanpa adanya sedikitpun larangan dan hukuman, diperbolehkannya riba, perzinaan, minuman keras, tabaruj (pamer aurat). Ikhtilat (campur baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram), tidak dihukumnya orang yang tidak sholat, zakat dan shiyam, sebaliknya orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar), apalagi bila dengan tangan (kekuatan), akan mendapat hukuman. Meraja lelanya kondisi seperti ini, dan kondisi-kondisi semisal menunjukkan sifat sebuah Daarul kufri. Maka hukum-hukumlah yang mencetak sebuah negara, bukan penguasanya. Jika seorang penguasa ingin mencetak karakter sebuah negara, ia tidak akan mampu kecuali melalui seperangkat perintah dan larangan. Itulah faktor hukum, yang terdiri dari perintah, larangan dan pembolehan, sementara penguasa adalah orang yang menjalankannya dengan menggunakan kekuasaan di tangannya.

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa alasan penamaan sebuah negara adalah faktor hukum, yang mencerminkan pihak yang berkuasa di negara tersebut, adalah :

·firman Allah Ta’ala :
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:"Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka menjawab:"Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata:"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu". [QS. An Nisa’ :97].

Kondisi orang mukmin sebagai orang yang tertindas di sebuah negara, menunjukkan bahwa dominasi di negara tersebut berada di tangan orang-orang kafir.

Ayat yang semisal adalah firman Allah Ta’ala :
“Pemuka-pemuka dari kaum Syu'aib yang menyombongkan diri berkata:"Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami". Berkata Syu'aib:"Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya". (QS. 7:88)

Penisbahan dalam kata”qaryatina” menunjukkan kepemilikan, artinya kota orang-orang kafir yang menyombongkan diri. Kepemilikan dan penguasaan mereka terhadap kota itu ditunjukkan oleh ancaman mereka kepada orang-orang mukmin dengan pengusiran dari kota tersebut. Ini menunjukkan bahwa merekalah pemegang perintah dan larangan. Ini menunjukkan bahwa Daarul kufri adalah negara di mana kekuasaan berada di tangan orang-orang kafir, serta perintah dan larangan berada di tangan orang-orang kafir. Perintah dan larangan adalah hukum-hukum, dan pertanda kekuasaan serta dominasi.

Ayat yang senada dengan ayat ini adalah firman Allah Ta’ala :
"Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka:"Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami".Maka Rabb mewahyukan kepada mereka:"Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu, (QS. 14:13)

Makna ayat ini seperti makna ayat sebelumnya. Semua ayat ini menunjukkan bahwa Daarul kufri adalah negara di mana kekuasaan dan hukum-hukum berada di tangan orang-orang kafir.

Rasulullah bersabda setelah fathu Makkah :
“Tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah.” (Muttafaq ‘alaihi)

Sebelumnya hijrah dari Makkah hukumnya wajib karena saat itu Makkah masih Daarul kufri, namun dengan terjadinya penaklukan Makkah, statusnya berubah menjadi Daarul Islam sehingga kewajiban hijrah dari Makkah gugur. Perubahan yang terjadi dengan adanya penaklukan Makkah yang diikuti dengan perubahan hukum yang berlaku di Makkah, adalah perubahan tangan yang berkuasa di Makkah, dari tangan orang-orang kafir ke tangan orang-orang Islam. Perubahan ini diikuti dengan perubahan hukum yang berlaku di Makkah. Hal ini menunjukkan bahwa sebab penamaan sebuah negara tergantung kepada penguasa dan hukum-hukum yang diberlakukan. Karena sesungguhnya seorang kafir akan memerintah dengan hukum-hukum kafir, orang-orang Islam akan memerintah dengan hukum Islam. Kalau seorang muslim tidak memerintah dengan hukum Islam, maka ia telah kafir.

Dalam menerangkan alasan status sebuah negara ini, Imam Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan,” Karena sebuah negara dinisbahkan kepada pihak yang mendominasi, menguasai dan memiliki negara tersebut.” [Al Muhalla 11/200].

Inilah alasan penamaan sebuah negara.


Tanqihul Manaath atas sebuah negara

Syaikh Muhammad Amin Assy Syanqithi mengatakan ; Secara tinjauan bahasa, tanqih berarti menapis dan memurnikan. Tanqihul manaath berarti menyeleksi ‘ilah (alasan hukum) dan membersihkannya dengan cara membuang apa yang tidak bisa dijadikan ‘ilah sebuah hukum, dan menerima ‘ilah yang benar-benar bisa dijadikan ‘ilah sebuah hukum.” [Mudzakiratu Ushulil Fiqhi hal. 292].

Dalam hal ini, sebagian pihak telah salah ketika mereka mengira bahwa menetapnya banyak umat Islam di beberapa negara dengan aman dan mampu melaksanakan beberapa syiar agama mereka, seperti adzan, sholat, shaum dan lain-lain, sudah cukup untuk menganggap negara tersebut sebagai negara Islam. Bahkan sebagian pihak menyatakan , bagaimana kalian mengatakan negara fulan adalah negara kafir, padahal di ibukotanya ada lebih dari seribu masjid ? Ini semua jelas bukan standar dalam menilai status sebuah negara, sebagaimana telah kami jelaskan di atas bahwa standar untuk menilai sebuah negara terletak pada faktor pihak yang berkuasa dan hukum-hukum yang diberlakukan. Sifat-sifat lain bukanlah sebagai standar dalam menilai status sebuah negara.

Di antara sifat-sifat lain yang harus dibuang dalam kasus ini sebagai bentuk dari tanqihul manaath , adalah sebagai berikut :

1-Agama mayoritas warga negara tidak berpengaruh terhadap status sebuah negara

Dasarnya adalah Khaibar yang ditinggali oleh kaum Yahudi. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menaklukkannya pada tahun 7 H, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menyetujui kaum Yahudi tetap tinggal di Khaibar dan menggarap lahan pertaniannya (hadits Bukhari no. 4248), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam lalu mengutus seorang shahabat Anshar sebagai amir (penguasa) Khaibar {hadits Bukhari no. 4246). Jadi, sebagian besar warga negara Khaibar adalah kaum Yahudi --- sampai ketika Umar bin Khathab mengusir mereka pada masa kekhilafahannya ---, meski demikian hal ini tidak menghalangi status Khaibar sebagai sebuah negara Islam, karena Khaibar berada di bawah kekuasaan kaum muslimin dan hukum-hukum Islam diberlakukan di Khaibar.

Dalam hal ini, Imam Ibnu Hazm menyatakan ; Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam
“Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah orang-orang musyrik”

Menjelaskan pendapat kami ini. Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dari hadits ini adalah Daarul harbi. Karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam telah mengangkat para pejabat beliau (anshar) untuk daerah Khaibar, padahal seluruh warga negaranya adalah kaum Yahudi. Jika sebuah negara ditinggali oleh ahlu dzimah semata, tidak ada selain mereka (kaum muslimin) yang hidup bersama mereka, maka apabila ada orang Islam yang tinggal di tengah mereka untuk menjalankan pemerintahan atau berdagang, ia tidak disebut sebagai orang kafir atau orang Islam yang berbuat kesalahan, melainkan ia adalah seorang muslim yang berbuat baik. Negara tersebut adalah negara Islam, bukan negara syirik, karena sebuah negara itu hanya dinisbahkan kepada pihak yang berkuasa dan memerintahnya.” [Al Muhalla 11/200].

Abul Qasim Ar Rafi’i Asy Syafi’i mengatakan,” Bukanlah syarat sebuah negara sebagai negara Islam itu hendaknya di dalamnya ada kaum muslimin, melainkan cukup dengan keberadaan negara tersebut berada di bawah pemerintahan penguasa muslim.” [Fathul Aziz Syarhu Al Wajiz 8/14].


2-Pelaksanaan sebagian syiar-syiar Islam atau kafir tidak berpengaruh terhadap status sebuah negara

Ketika masih di Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sudah melaksanakan Dien secara terang-terangan. Beliau mendakwahkan Islam, menampakkan secara terang-terangan permusuhan dan berlepas dirinya beliau dari orang-orang musyrik dan apa yang mereka ibadahi.

Sebagian shahabat juga melaksanakan sholat dan membaca Al Qur’an secara terang-terangan. Meski demikian, Makkah tidak berubah statusnya menjadi sebuah negara Islam. Kaum muslimin bahkan berhijrah dari Makkah karena kekuasaan di Makkah berada di tangan orag-orang kafir. Dari sini, jelaslah kesalahan pendapat Imam Al-Mawardi yang mengatakan ; (Jika mampu melaksanakan secara terang-terangan ajaran dien di sebuah negara orang-orang kafir, maka negara tersebut berubah statusnya menjadi negara Islam. Menetap di negara tersebut lebih utama dari berpindah darinya, karena diharapkan penduduk lain akan ikut masuk Islam) [Fathul Baari 7/229].

Imam Asy Syaukani menukil pendapat ini lantas mengkritiknya (Pendapat ini jelas bertentangan dengan hadits-hadits yang mengharamkan menetap di sebuah negara kafir) [Nailul Authar 8/178].

Demikian juga sebaliknya. Adanya beberapa orang kafir –seperti ahlu dzimah—di sebuah negara Islam dan mereka melaksanakan ajaran-ajaran agama mereka secara terang-terangan, tidaklah mengubah status negara menjadi negara kafir, karena pelaksanaan ajaran-ajaran agama kafir mereka secara terang-terangan bukan berasal dari kekuasaan mereka, melainkan dari izin kaum muslimin.

Dengan demikian, pelaksanaan syiar-syiar agama secara terang-terangan tidak berpengaruh atas status sebuah negara. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syaukani ; (Standarnya adalah kebijakan pemerintahan. Jika perintah dan larangan di negara tersebut berada di tangan umat Islam, di mana orang-orang kafir tidak bisa menampakkan ajaran-ajaran kekafiran mereka kecuali setelah mendapat izin dari kaum muslimin, maka negara tersebut adalah negara Islam. Adanya pelaksanaan ajaran-ajaran kekafiran secara terang-terangan di negara tersebut sama sekali tidak berpengaruh, karena hal itu dilaksanakan bukan berawal dari kekuatan orang-orang kafir, juga bukan dari berkuasanya mereka, sebagaimana hal ini bisa disaksikan pada Ahlu dzimmah Yahudi dan Nasrani, serta ahlu ‘ahdi yang tinggal di kota-kota kaum muslimin. Hukum ini juga berlaku sebaliknya]. [As Sailu Al-Jarrar 4/575].


3-Keamanan yang dirasakan oleh sebagian warga negara tidak berpengaruh atas status sebuah negara

Orang-orang kafir ahlu dzimmah bisa hidup dengan aman di negara Islam, namun hal ini tidak merubah status negara Islam tersebut. Kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah bisa menetap dengan aman, namun hal ini tidak merubah status negara kafir Habasyah menjadi negara Islam. Pada rentang waktu perjanjian damai Rasulullah dengan orang-orang kafir Makkah (perjanjian Hudaibiyah sampai penaklukan Makkah), kaum muslimin juga menetap dengan aman di Makkah, sehingga mereka bisa melaksanakan umrah qadha’. Keamanan ini tidak merubah status negara Makkah dari negara kafir menjadi negara Islam. Sampai akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam menaklukkannya. Beliau bersabda : (Tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah). Beliau tidak bersabda (Tidak ada hijrah setelah perjanjian Hudaibiyah).

Hadits ini menerangkan bahwa standar penilaian status sebuah negara adalah kekuasaan, bukan sekedar keamanan.

Demikianlah pembahasan tentang tanqihul manaath dan pengetahuan tentang standar penilaian status sebuah negara. Dari sini anda mengetahui bahwa pada hari ini, negara-negara dengan mayoritas penduduk kaum muslimin namun diperintah oleh pemerintahan murtad yang menerapkan undang-undang positif kafir, adalah negara-negara kafir sekalipun mayoritas warga negaranya adalah kaum muslimin yang bisa melaksanakan syiar-syiar Islam seperti sholat Jum’at, sholat berjama’ah dan lainnya dengan aman. Negara-negara tersebut adalah negara kafir karena kekuasaan berada di tangan orang-orang kafir dan undang-undang yang berlaku adalah undang-undang kafir. Kaum muslimin bisa melaksanakan sebagian syiar-syiar mereka, bukan karena mereka berkuasa, melainkan karena diizinkan oleh penguasa kafir. Jika penguasa kafir tersebut ingin merubah keamanan menjadi ketakutan dan fitnah lewat kekuasaan dan tentaranya, tentulah penguasa kafir tersebut (dengan mudah) bisa melakukannya, seperti realita yang hari ini di banyak negara dengan mengatasnamakan perang melawan terorisme dan kaum fundamentalis.


Cabang-cabang Pembagian negara kafir

Negara kafir dibagi dalam beberapa bagian, menurut berbagai tinjauan.

Nama yang disepakati adalah negara kafir atau negara syirik.

Pembagiannya sebagai berikut :

1-Dilihat dari sudut pandang apakah kekafiran terjadi sejak awal atau belakangan, menjadi;

·Negara kafir asli ;
yaitu negara yang sebelumnya bekun pernah dikuasai oleh Islam, seperti Jepang, China Timur, Inggris, Amerika Utara, Amerika Selatan dan Australia.

·Negara kafir insidental ;
yaitu negara yang dalam suatu masa pernah menjadi negara Islam, namun kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir. Seperti Andalusia (spanyol dan Portugal hari ini), Palestina, negara-negara Eropa Timur yang dahulu berada di bawah kekuasaan daulah Utsmaniyah, seperti Rumania, Bulgaria, Yugoslavia (Bosnia, Serbia, Kroasia hari ini), Yunani dan Albania.
·Negara murtad ; bagian dari negara kafir insidental, yaitu negara yang dalam suatu masa pernah menjadi negara Islam lalu dikuasai oleh orang-orang murtad dan mereka memberlakukan hukum-hukum kafir. Seperti negara-negara yang hari ini disebut sebagai negara-negara Islam, termasuk di dalamnya negara-negara arab. Dalam rentang waktu yang lama, mayoritas negara-negara ini adalah negara kafir insidental karena diperintah oleh negara-negara kolonialis salibis yang menerapkan undang-undang kafir, mereka kemudian meninggalkan negara-negara ini dan pemerintahan diteruskan oleh orang-orang murtad dari penduduk pribumi. Ada beberapa perbedaan hukum fiqih antara negara kafir dan negara murtad, disebutkan oleh Al Mawardi dalam (Al Ahkam As Sulthaniyah hal. 57, cetakan Al Halabi).

Saya perlu mengingatkan di sini bahwa dalam beberapa buku karangan saya, saya sering menyebut negara-negara seperti ini dengan istilah negara-negara kaum muslimin, dengan melihat kepada mayoritas penduduknya yang merupakan umat Islam. Namun istilah (negara-negara kaum muslimin) ini tidak sama dengan istilah (negara Islam).

Negara-negara kaum muslimin tetap adalah negara kafir dan murtad, jihad melawan pemerintahan yang menguasainya adalah fardhu ‘ain bagi kaum muslimin yang menjadi warga negaranya, sebagaimana sering saya sebutkan dalam banyak tempat dalam buku-buku saya.

2. Dari sisi hubungannya dengan Negara Islam, Darul Kufr (negara kafir) terbagi menjadi :

A. Daarul Harb (negara kafir syah secara syar’i diperangi)
yaitu negara yang tidak ada antara ia dengan negara Islam suatu ikatan perjanjian damai maupun perjanjian gencatan senjata dan tidak mesti disyaratkan negara tersebut melancarkan peperangan (terhadap Islam dan kaum Muslimin) untuk definisi ini. Bahkan sudah cukup dengan tidak adanya ikatan perjanjian damai dengan nagara Islam sebagaimana yang telah kami sebutkan. Dalam artian, syah bagi kaum muslimin memerangi penduduk negara ini kapan saja mereke mau. Dari sinilah negeri itu dinamakan Daarul Harb (Negeri yang syah secara Syar’I untuk diperangi)

B. Daarul 'Ahdi
yaitu negeri yang antara ia dengan negara Islam ada ikatan perjanjian (dengan syarat kompensasi yang diserahkan kepada negara Islam), penjanjian damai atau perjanjian gencatan senjata sebagaimana Mekkah pada tempo antara masa Perjanjian Hudaybiyah sampai Fathu Makkah (6-8H).

Dan tidak boleh melakukan perjanjian kepada kuffar untuk damai dan tidak melakukan peperangan melainkan atas dasar melihat kemaslahatan kaum muslimin seperti misalnya kaum muslimin lemah berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“janganlah kalian merasa lemah dan mengajak damai padahal kalianlah yang paling tinggi (QS Muhammad : 35)

Hal itu disebabkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kita memerangi Kuffar hingga seluruh Diin hanyalah milik Allah dan Dia tidak mewajibkan kita untuk memberikan perdamaian atau perjanjian kepada mereka kecuali saat kita memerlukannya.

Allah Ta’ala berfirman
“maka bunuhlah orang -orang musyrik di mana saja kalian jumpai mereka (QS At-taubah :5)

Dan Allah Ta’ala berfirman :
“Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah dan Diin seluruhnya milik Allah (QS Al-anfal 39)

Lihat Al Mughni dengan syarh Kabir juz 10/517 dan Sair Kabir oleh Muhammad bin Hasan 5/1689.

Tidak boleh melakukan akad hudnah (perjanjian genjatan senjata) kecuali Imam kaum muslimin atau yang mewakilinya. Melihat tidak adanya Imam pada zaman kita ini maka tidak diakui perjanjian perjanjian antar negara maupun internasional apapun yang di teken oleh penguasa -penguasa kafir dikarenakan perjanjian tersebut dikeluarkan oleh pihak yang tidak punya legalitas kekuasaan secara syar'ie atas kaum muslimin. Maka adaanya perjanjian tersebut sama dengan tidak adanya. Sebab apa yang secara hukum tidak ada itu sebagaimana tidak adanya secara substansi.

3. Dari sisi keamanan diri seorang muslim di negara kafir maka Negara kafir terbagi menjadi :

A. Daarul Amni ( negara Aman)
yaitu negara yang seorang muslim merasa aman akan dirinya di negara tersebut seperti Habasyah pada awal masa Islam tatkala para shahabat hijrah ke sana demi menghindari kebengisan orang kafir mekkah.

B. Daarul Fitnah
yaitu negara yang seorang muslim tidak merasa aman di sana seperti Mekkah pada masa awal Islam dan seperti sebagian besar negara-negara murtad pada hari ini.


Pelajaran Lain : Cabang – Pembagian Negara Islam

Terkadang muncul istilah istilah khusus tentang pembagian negara Islam secara parsial pada kitab-kitab Ulama seperti :

1. Daarul Baghyi
yakni negeri yang mana sebuah kelompok bughat (pemberontak) atau khawarij menyendiri pada suatu wilayah di dalam negara Islam dan mereka independen menjalankan hukum-hukum di sana. kebalikan dari darul baghyi ini adalah Daarul Adl suatu negeri yang berada dibawah kekuasaan Imam kaum muslimin.

2. Daarul Fusqy
yakni manakala kefasikan merata di suatu wilayah dalam negara Islam. Berkata Syaukani: "Ja'far bin Mubasy-syir serta sebagian kalangan Hadawiyah berpendapat akan wajibnya hijrah dari Daarul Fusqy (negeri penuh kefasikan) dengan menqiyaskan kepada negara kafir. Padahal ini merupakan qiyas dengan sesuatu yang berbeda. Maka yang benar adalah tidak wajibnya hijrah dari Daarul fusqy sebab ia tetap sebagai Negara Islam (Naiul Author 8/179)

Saya katakan: akan tetapi dianjurkan meninggalkan negeri yang banyak tersebar di dalamnya kemaksiatan sebagaimana pada hadits tentang pembunuh seratus orang. Dalam hadits tersebut, orang itu diberi tahu oleh orang alim tentang upaya yang membantunya untuk taubat adalah berpindah dari negerinya yang telah ia sifatkan sebagai negeri yang buruk dan supaya ia pergi ke negeri yang terdapat di sana orang-orang saleh yang bersama mereka ia dapat beribadah kepada Allah.

3. Daar Ahli Dzimmah
yaitu negeri yang bukan Daarul 'Ahdi atau Daarul Sulhi (negara yang mengikat perjanjian damai dengan Daulah Islamiyah) yang keduanya termasuk bagian dari negara kafir. Adapun Daar Ahli Dzimmah maka ia adalah negara Islam sebagaimana Khaibar setelah ditaklukkan kaum Muslimin pada masa Nabi Shalallahu 'alaihi wa Sallam. Sifat Daar Ahli Dzimmah adalah sebagaimana yang dikatakan Muhammad bin Hasan Rahimahullah ;"Jika amir pasukan mengepung penduduk salah satu kota musuh lalu sebagian mereka menyatakan kami menyerah dan yang lain menyatakan kami menjadi ahli Dzimmah dan tetap berada ditempat tinggal kami. Jika kaum muslimin mampu menjadikan bersama mereka orang yang mampu memerangi Ahlul Harb yang ada pada mereka dan memberlakukan pada mereka hukum Islam maka amir tersebut harus melakukannya". Berkata pensyarah Sarkhasyi : "Sebab memberlakukan hukum-hukum kaum muslimin di negeri mereka (Kafir) masih bisa dan negeri tersebut menjadi negeri kaum muslimin lewat pemberlakuan hukum-hukum kaum muslimin. Maka Imam menjadikannya sebagai negara Islam dan penduduknya sebagai ahlu Dzimmah, (Sair Kabiir 5/2196-2197).

Demikian penjelasannya. Maksud penyebutan bagian - bagian ini adalah dalam rangka mengenalkan pada pelajar jika mereka mau membacanya pada kitab-kitab.


D. Permasalahan Keempat : Perubahan Status Negera dan Hukumnya

Sifat negeri bukanlah sifat yang lazim selamanya namun ia sifat ada yang dapat berubah berdasarkan kekuasaan yang mendominasi atasnya dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Adakalanya sebuah negeri sebagai negara kafir pada suatu waktu kemudian berubah menjadi negara Islam. Dan adakalanya sebuah negeri itu sebagai negara Islam kemudian berubah menjadi negara kafir sebagaimana Andalus dan Palestina.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah :"keberadaan wilayah sebagai Daarul Kufri atau Daarul Islam dan Iman, Daar Silmy atau Harb , Daar Tho'ah atau Maksiah, Daarul Mukiminin atau Fasiqin merupakan sifat-sifat yang temporal bukan paten. Bisa jadi negeri tersebut berpindah dari satu status ke status yang lain sebagaimana seseorang berpindah dari kafir kepada Iman dan Ilmu. Demikian pula sebaliknya. (Majmu' Fatawa 27/45 dan beliau ulang masalah ini pada juz 18/282-284, juz 27/143-144)

Ibnu Hajar Al Haytamy berpendapat dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj li Syarhil Minhaj dalam fiqh Syafi'iyah berpendapat bahwa negara Islam tidak dapat berubah menjadi negara kafir sekalipun dikuasai oleh orang Kuffar dan diberlakukan di dalamnya hukum-hukum mereka.

Beliau berdalil dengan hadist ;
Islam itu unggul dan tidak ada yang mengunggulinya (diriwayatkan oleh Daarul Quthni dengan sanad hasan dari 'Aid bin 'Amru secara marfu' dan oleh Bukhori secara ta'lik dalam kitab janaiz, Fathul Bari 3/218-220)

Sebagian orang mu'asyirin (kini) berpegangan dengan pendapat Ibnu Hajar Al-Haytamy ini. Padahal rusaknya pendapat ini sangat jelas sebab dalil - dalil khusus yang menunjukkan bahwasanya Manaathul Hukmi (Standar Penilaian) atas sebuah negeri adalah dominasi kekuasan dan hukum dan telah kami sebutkan dalam penjelasan tentang Manaathul Hukmi.

Dalil dalil khusus ini mengalahkan dalil-dalil umum sebagaimana yang dijadikan sebagai dalil oleh Ibnu Hajar. Para Ulama telah berijma' akan keharusan mendahulukan dalil khusus atas dalil umum, seperti mendahulukan firman Allah subhanahu wa Ta’ala: "dan wanita - wanita yang hamil tempo iddah mereka adalah hingga melahirkan kandungannya (At Talaq: 4) didahulukan atas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala "dan wanita-wanita yang ditalaq menunggu masa Iddahnya 3 kali quru'/suci" (Al Baqarah :228)

Para Ulamapun tidak berselisih pendapat dalam hal ini. Seandainya perkataan Ibnu Hajar itu benar niscaya bolehlah menyatakan "Bahwa seorang muslim tidak akan kafir selamanya sekalipun telah ada kekufuran padanya, sebab " Islam itu unggul dan tidak ada yang mengunggulinya" ini jelas menyelesihi Nash dan Ijma'. Nabi Shalallahu 'alahi wa Sallam bersabda "Barangsiapa yang mengganti Diinnya maka bunuhlah ia".

Nash umum yang dijadikan dalil oleh Ibnu Hajar ini tidak sepatutnya berbenturan dengan nash-nash khusus pada tiap masalah dan tidak selayaknya pula berkonsekwensi munculnya hukum -hukum seperti ini. Perkataan beliau bahwa negara Islam tidak dapat berubah menjadi negara kafir yang jelas berbenturan dengan dalil-dalil, perkataannya ini menyelisihi pendapat jumhur Fuqoha.

Jika kita misalkan pendapat ini benar niscaya Spanyol yang Nasrani itu haruslah sebagai negara Islam pada hari ini sebab dahulunya ia adalah negara Islam dari kalangan Andalusia. Ini maknanya wajib atas setiap muslim hijrah ke negara Islam di Spanyol dan menerima dengan kerelaan hati berlakunya hukum hukum kuffar di sana atas dirinya. Dan haram atas kaum muslimin hijrah meninggalkan Spanyol sebab tidak ada hijrah dari negara Islam dan haram pula bagi kaum muslimin menyerbu Spanyol yang Nasrani itu sebab ia sebagai negara Islam. Seandainya orang orang kuffar menyerang Spanyol niscaya wajib atas seorang muslim untuk berangkat mempertahankan negara Islam di Spanyol dan seterusnya dan seterusnya sebagai konsekwensi perkataan Ibnu Hajar tadi yang mana itu sebagai konsekwensi yang tidak dapat dihindari. Kerusakan pendapat ini berikut konsekwensinya tidak perlu lagi dikupas karena telah jelas rusaknya.


Efek Berkuasanya Orang Kuffar Atas Negara Islam

Efek tersebut ada dua macam yaitu :

1. Kekuasaan secara total;
yaitu apabila orang kuffar menguasai negara Islam dan memberlakukan di dalamnya hukum hukum kafir. Maka negeri ini menjadi negara kafir karena terwujudnya Manaath (standar penilaian) di dalamnya sebagaimana yang telah kami sebutkan pada definisi ulama tentang negara kafir. Termasuk dalam hal ini negeri-negeri kaum Muslimin yang dihukumi dengan undang-undang positif, dinyatakan sebagai negara kafir.

Pembagian ini disebutkan oleh Sulaiman bin Sahman An Najdi 1349 H dalam syairnya
‘jika orang kafir menguasai negara Islam dan ketakutan menghinggapinya
Ia berlakukan didalamnya hukum hukum kafir secara terang-terangan dan ia tampakkan tanpa keraguan
Dengannya ia babat hukum hukum Muhammad, Islam tidak lagi tampak dan dianut di sana
Maka itulah negara kafir
menurut semua ulama peneliti sebagaimana yang dikatakan orang yang paham agama
dan tidaklah setiap orang yang di sana dinyatakan kafir, berapa banyak diantara mereka seseorang beramal sholeh (Islam)”

Dinukil dari al muwalah wal mu'adah oleh Mahmas Jal'uud 2/522

Syaikh Muhammad bin Ibrohim Ali Syaikh ditanya : "Wajibkah hijrah dari negeri-negeri kaum muslimin yang dihukumi dengan undang- undang positif ?

Beliau menjawab : "Negeri yang dihukumi dengan Undang undang positif bukanlah negeri Islam dan wajib hijrah darinya. Demikian pula jika berhala-berhala nampak tanpa diingkari dan dirubah maka wajiblah hijrah. Kekufuran itu adalah dengan tersebarnya kekufuran, maka negeri ini sebagai negeri kafir". Dari fatawa dan risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh, dihimpun oleh Muhammad bin Abdurrahman bin Qasim cetakan 1399H Makkah Mukaramah juz 6/188

2. Penguasaan secara tidak total;
yaitu jika orang-orang kafir mengusai negara Islam akan tetapi hukum-hukum Islam masih tetap berlaku di negeri tersebut. Contohnya, berkuasanya orang orang Tartar atas negeri Syam pada akhir abad 7 H. Bukti sejarah menyatakan; mereka itu menyetujui adanya para qodhi yang memutuskan hukum dengan syari’at antara kaum muslimin. Kendati demikian para ulama mengkafirkan orang Tartar karena menjalankan hukum antara mereka dengan undang undang sesepuh mereka, Jengish Khan (Ilyasic). Lihat buku al 'Ibroh oleh Shiddiq Hasan Khon hal 232 dan buku Watsaiqul Hurub Sholibiyah wal Ghazwy al Magholy oleh Muhammad Mahir Hamadah. Riwayat yang dinukil dari para fuqoha masa itu menyatakan bahwa negeri tersebut tidaklah berubah menjadi negeri kafir selama hukum hukum syari’at tegak. lihat al 'Ibroh oleh Shiddiq Hasan Khon hal 232 dan seterusnya.

Namun yang benar adalah jika orang orang kafir menguasai negara Islam dan hukum hukum Islam tetap tegak maka harus dibedakan antara tegaknya hukum itu lantaran sebab kekuatan kaum muslimin ataukah lantaran sebab izin yang diberikan oleh pihak kuffar. Jika hukum hukum Islam tetap berlaku disebabkan sebelumnya oleh kekuatan kaum muslimin maka ia sebagai negara Islam. Inilah gambaran lalu yang terjadi di negeri Syam dengan berkuasanya orang-orang Tartar. Hal ini tidaklah mungkin terjadi melainkan sekedar basa basi orang kafir yang berkuasa supaya tidak membangkitkan kemarahan kaum muslimin jika ia membabat hukum-hukum Islam sekaligus dan tidaklah orang orang kafir melakukan basa basi melainkan saat ia sudah tidak mampu lagi menguasai negeri secara mutlaq.

Inilah kondisi Syam pada waktu itu. Sebelumnya, peperangan sengit terjadi antara Tartar dengan penduduk Syam dan Mesir sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir pada awal Juz 14 dalam Bidayah wa Nihayah. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah turut serta dalam sebagian peperangan ini. Maka dengan tidak dikuasainya secara total negeri tersebut dan tetap berlakunya hukum-hukum Islam, negeri tersebut tetaplah sebagai negeri Islam. Sebagaimana negara Islam tetap seperti halnya jika penguasanya yang muslim murtad dan ia tidak merubah sedikitpun dari hukum-hukum Islam. Pada dua kondisi tersebut, wajib bagi kaum Muslimin memerangi penguasa yang kafir ( yang menguasai negara dengan kekuatan ataupun yang murtad) dalam rangka melengserkannya dan menegakkan Imam Muslim. Memerangi penguasa tersebut adalah Fardhu 'ain sebab ia sebagai Jihad Difa' (defensif,yakni merebut kembali negeri yang dikuasai oleh orang kafir)

Adapun jika hukum-hukum Islam tetap berlaku di sebuah negeri bersamaan dengan berkuasanya orang kafir dan berlakunya hukum tersebut lantaran kebolehan yang diberikan dari pihak kafir yang berkuasa bukan disebabakan kaum muslimin maka ia sebagai negara kafir. Sebab jika ia mau membabatnya, ia pasti membabatnya. Gambaran ini terjadi di Andalus pada awal berkuasanya orang Spanyol sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad bin Ja'far al Katani dalam kitabnya Nasihatu ahlil Islam, Ia berkata "Syarat syarat perjanjian adalah menyerahnya penduduk Andalusia kepada orang Spanyol. Lihatlah, tatkala mereka telah membuat penduduk Andalusia terdesak dan mereka lemah dalam menghadapi orang Spanyol setelah perang berkepanjangan dan pengepungan yang dahsyat, akhirnya penduduk Andalusia mau masuk di bawah kekuasaan dan hukum mereka dengan syarat syarat yang mereka minta sekitar 55 dan katanya 67 syarat. Diantaranya; anak kecil dan orang tua diberi jaminan keamanan pada hal jiwa, keluarga dan harta, membiarkan masyarakat di tempat, tanah dan rumahnya masing masing, ditegakkannya syari’at mereka sebagaimana awalnya dan tidak boleh ada seorangpun yang menghikumi mereka kecuali dengan syari’at tersebut, Masjid masjid tetap sebagaimana semula demikian pula wakaf wakaf .... sampai perkataanya; maka ketika mereka (orang orang Spanyol) telah melihat seluruh persoalan telah mereka kuasai dan kaum muslimin telah terikat perjanjian perlindungan mereka dan mereka merasa telah mampu untuk menguasai kaum muslimin, mulailah mereka melakukan pengkhianatan. Mereka mulai melanggar syarat syarat yang diminta kaum muslimin satu demi satu pasal demi pasal hingga mereka melanggar seluruhnya dan hilanglah kehormatan kaum muslimin secara total. Merekapun dikuasai kehinaan yang dahsyat sampai perkataannya, kemudian mereka memaksa seluruh kaum muslimin untuk masuk nasrani dan meninggalkan syiar syiar Islam sekaligus "(Nasihatu Ahlil Islam cetakan maktabah Badr, Ribath 1409 H hal 102-103).


Di situ hukum syari’at pada awalnya tegak berkat izin yang diberikan oleh orang kafir dan ini tidak menghalangi dari menyebut negeri tersebut sebagai negeri kafir. Sebagaimana halnya ijin yang diberikan oleh penguasa muslim kepada Ahli Dzimmah untuk melakukan syiar-syiar mereka atau meminta keputusan hukum kepada pendeta pendeta mereka pada beberapa persoalan, tidaklah menghalangi negeri tersebut sebagai negara Islam. Berkata Shidiq Hasan Khon "Maka ketika kita mengetahui secara yakin dan pasti dengan menyaksikan atau mendengar secara mutawatir bahwa orang kuffar menguasai salah satu negeri Islam yang berdekatan dengan mereka dan dapat mengalahkannya, mereka menindas penduduknya dimana mereka tidak dapat menampakkan kalimat Islam melainkan dengan kebolehan dari pihak kuffar jadilah negeri tersebut sebagai Daarul Harb (negeri yang syah diperangi), sekalipun di sana ditegakkan Shalat" (al-'Ibroh Fii maa Jaa-a fil Ghazwy wa Syahadati wal Hijrah hal 236)

Maksud perkataanya adalah jika orang - orang kafir menguasai dan mengalahkan suatu negeri maka jika penduduknya tidak dapat menampakkan syari’at-syari’at Islam kecuali dengan ijin dari pihak Kuffar maka negeri tersebut sebagai Daarul Harb. Beliau ulangi persoalan ini dalam perkataannya " Berdasarkan yang telah kami terangkan jelaslah bagi anda bahwa 'Adn dan sekitarnya jika nampak disana dua kalimah Syahadah dan sholat sholat -sekalipun nampak pula disana hal hal kekufuran - bukan lantaran adanya ijin yang diberikan maka ia sebagai negara Islam dan jika tidak maka sebagai Daarul harb " hal 237. Perkataan beliau ini tentang kota Adn di Yaman ketika dikuasai oleh orang Inggris pada pertengahan abad 19 M.


Masalah Daar Murakkabah (Negara Berstatus Ganda)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memegang pendapat adanya bagian ketiga dari macam macam negara; yaitu Daar Murakabah (negara berstatus ganda). Beliau ditanya tentang negera Maridin apakah ia Daarul harbi atau negara Islam? Apakah wajib bagi orang Islam yang menetap di sana untuk hijrah ke negeri Islam ataukah tidak? Jika wajib atasnya hijrah namun ia tidak Hijrah dan membantu musuh-musuh kaum muslimin dengan jiwa atau hartanya, dosakah ia dengan hal itu? Dan dosakah orang yang mencela dan menyebutnya dengan munafiq ataukah tidak?

Beliau menjawab : " Alhamdulillah, darah dan harta kaum muslimin haram entah mereka di Maridin atau ditempat lain dan menolong orang yang keluar dari syari’at Islam itu haram entah dilakukan oleh penduduk Maridin atau yang lain. Orang yang tinggal di sana jika tidak dapat menegakkan Diinnya maka wajib hijrah dan jika tidak, maka hijrah mustahab dan tidak wajib. Sokongan mereka terhadap musuh-musuh kaum muslimin dengan jiwa dan harta adalah haram dan mereka wajib untuk menolak hal itu dengan cara apapun baik sembunyi atau siyasat atau tipu daya. Jika tidak mungkin hal itu kecuali dengan hjirah maka wajib hijrah. Tidak halal mencela mereka secara umum dan menuduhnya dengan munafik. Akan tetapi celaan dan tuduhan munafik terjadi menurut sifat-sifat yang disebutkan dalam kitab dan sunnah. Masuk ke dalamnya penduduk Maridin dan yang lain. Adapun posisinya sebagai Daarul Harb ataukah sebagai Daarul Silmy, maka ia adalah negeri berstatus ganda. Di dalamnya terdapat dua makna, ia tidaklah sebagaimana Daarul Silmi yang berlaku padanya hukum-hukum Islam lantaran tentaranya dari kalangan kaum muslimin tidak pula sebagaimana Daarul Harb yang penduduknya kuffar. Akan tetapi ia macam ketiga dimana yang muslim diperlakukan sebagaimana semestinya dan orang yang keluar dari syari’at Islam diperangi sebagaimana mestinya"( Majmu' Fatawa juz 28/240-241) Demikian penjelasan beliau. Hari ini Maridin terletak di Tenggara Turki dekat perbatasannya dengan Suriah.

Hal yang dapat disimpulkan dari tanya jawab tersebut bahwa Maridin itu dikuasai oleh orang Kuffar (musuh kaum muslimin), hukum-hukum Islam tidak berlaku padanya dan tentara tentaranya pun bukan kaum muslimin, penduduknya campur aduk antara muslim dan kuffar mak tak ragu lagi ini adalah Daarul Harb. Dan tidak disyaratkan pada Daarul Harb penduduknya mestilah orang kafir sebagaimana perkataan syaikhul Islam. Telah berlalu penjelasan Manaathul Hukmi (standar penilaian) atas sebuah negeri dan dalam hal ini tidak perlu dianggap Diin penduduknya. Syaikhul Islam dalam pengadaannya macam ketiga dengan sebutan ini terbantahkan oleh ijma' ulama sebelumnya bahwa negeri itu hanya terbagi menjadi dua tidak ada ketiganya.

Oleh karena ini para Ulama Da'wah Najd menentang perkataan beliau ini yang menyatakan negeri tersebut sebagai negeri macam ketiga. Maka mereka menyatakan " Adapun negeri yang diperlakukan atasnya maka dia adalah negeri Kafir. Ibnu Muflih berkata setiap negara yang hukum-hukum kaum muslimin mendominasi atasnya maka ia negara Islam dan jika didominasi oleh hukum kafir maka ia negara kafir dan tidak ada istilah negara yang ketiga.

Berkata Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah saat ditanya tentang Maridin, apakah ia Daarul Harb ataukah Daarul Islam? Beliau berkata; didalamnya terdapat dua makna, ia tidak sebagaimana Daarul Silmi yang berlaku padanya hukum hukum Islam lantaran tentaranya dari kalangan kaum muslimin tidak pula sebagaimana Daarul Harb yang penduduknya kuffar. Akan tetapi ia macam ketiga dimana yang muslim diperlakukan sebagaimana semestinya dan orang yang keluar dari syari’at Islam diperangi sebagaimana mestinya" Dan yang lebih benar adalah apa yang disebutkan oleh al Qodhi dan yang lain " Ad Durarus Saniyah fil Ajwibati najdiyah dihimpun oleh Ibnu Qosim juz 7 kitab Jihad hal 353. Jadi mereka tidak sepakat dengan Syaikhul Islam pada pengadaannya macam ketiga tentang pembagian negeri. Sebab ulama telah bersepakat sebelumnya bahwa negeri itu hanya ada dua tidak ada yang lain.

Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata "Sesungguhnya Maridin yang dikeluarkan fatwa tentangnya oleh Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, tidak berlaku padanya hukum hukum kuffar akan tetapi dikuasai oleh orang kafir dengan penguasaan secara tidak total. Sekiranya hal ini benar dan hukum hukum Islam berlaku disana maka ia kalau tidak sebagai negara Islam atau negara kafir disebabkan berlakunya hukum hukum Islam sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya. Akan tetapi fatwa Ibnu Taimiyah menerangkan bahwa hukum hukum Islam tidaklah berlaku di Maridin".

Yang perlu kami ingatkan disini adalah negeri itu hanya ada dua macam tidak ada yang ketiga, dan bahwa Daarul Murakabah (negeri berstatus ganda) bisa jadi hanya merupakan pemberian sifat terhadap keadaan penduduknya bukan menerangkan statusnya dan perlakuan setiap orang sesuai dengan haknya itu tidak ada perbedaan ulama tentangnya. Telah lewat penjelasan bahwa seorang muslim itu terjaga darah dan hartanya di mana saja dia berada namun perlakuan macam ini tidaklah lantas menjadikan negeri tersebut macam ketiga.

Ibnu Taimiyah menukil bahwa Mesir sebagai Daarul Riddah (negeri Murtad) pada saat berkuasanya golongan 'abidiyyin (yang disebut dengan Fathimiyah) disana, disebabkan mereka sebagai orang orang zindiq lagi murtad (Majmu' Fatawa 13/178) padahal hukum hukum syari’at berlaku di Mesir selama kekuasaan mereka sepanjang 280an tahun (Bidayah wa Nihayah 12/267) padahal mayoritas penduduk Mesir adalah muslimin akan tetapi negeri tersebut berubah menjadi Daarul Riddah/negara murtad lantaran berkuasanya secara total golongan 'abidiyyin atas negeri Mesir. Status ini tidak terpengaruhi oleh kebolehan yang mereka berikan untuk menjalankan hukum Syari’at. Berkata Ibnu Taimiyah Rahimahullah " berkali kali pasukan bersama Shalahuddin memasuki Mesir, ia hilangkan darinya da'wah golongan 'abidiyyin dari kalangan Qoromithoh Bathiniyah dan ia munculkan disana syariat syariaat Islam hingga sejak hari itu didiami oleh orang yang menampakkan Diinul Islam -hingga perkataan beliau- dan disebabkan oleh kezindiqan dan bid'ah yang ada pada mereka jadilah negeri Mesir sepanjang kekuasaan mereka selama 200 th cahaya Islam dan Iman telah padam sehingga para Ulama menyatakan bahwa negeri Mesir adaalah Daar Riddah dan Nifaq sebagaimana negerinya Musailamah Al kadzdzaab"(Majmu' Fatawa 35/138-139).

Berkata Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah "Sekiranya kita menghitung orang -orang yang dikafirkan oleh para ulama padahal mengaku Islam dan mereka fatwakan bahwa ia telah murtad dan boleh dibunuh akan panjanglah pembahasannya. Akan tetapi diantara peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini adalah kisah bani Ubaid, raja raja mesir dengan kelompoknya. Mereka mengaku sebagai ahlu Bait, mereka menjalankan shalat Jum'ah dan berjamaah dan menempatkan para qadhi dan mufti. dan para Ulama sepakaat tentang kekufuran dan kemurtadan mereka, keharusan memerangi mereka dan negeri mereka sebagai Daarul Harb yang waajib diperangi sekalipun mereka membencinya) (muallafaat Syaikhul Islam Muhammad bin Aabdul Wahab, bagian ke 5 surat surat pribadi hal 220 cetakan Universitas Muhammad bin Su'ud.

Perkataan beliau sekalipun mereka membencinya maksudnya adalah sekalipun penduduk mesir membenci penguasa mereka, kaum 'abidiyyin. Maka ini tidak mencegah penyebutan negeri mereka sebagai Daarul harb.

Jika mana Mesir saja sebagai Daarul Riddah zamannya 'abidiyyin padahal mereka menetapkan Qodhi qodhi Syariat maka gambaran Maridin yang disebutkan tadi lebih buruk dari ini. Sebab tidak berlaku padanya hukum hukum Islam maka ia sebagai Daarul Harb sebagaimana yang telah lalu jika sifatnya memang sebagaimana yang tersebutkan dalam fatwa. Tidak didapati dalam pembagian negara apa yang disebut dengan Daar Murakabah(negara berstatus ganda) melainkan sekedar dari sisi sifat bukan status hukumnya. Dan negara itu hanya ada dua macam tidak ada yang ketiga sebagaimana penjelasan yang lalu dan apa yang dinukil oleh ulama Najd dari Ibnu Muflih -beliau termasuk murid Ibnu Taimiyah- bahwa negara itu kalau tidak negara Islam atau negara kafir, tidak ada negara selainnya. Demikian Wallahu a'lam.
Inilah yang terkait dengan perubahan status sebuah negara, berikut efek berkuasanya kuffar atas negeri negeri Islam wabillahi Ta’ala taufiq


E.Konswekensi Hukum Syar'i yang Timbul Berdasarkan Perbedaan Status Negara

Konsekwensi hukum Syar'i berdasarkan perbedaan status negara merupakan buah dari pembahasan tema ini.

Berkata Imam As syaukani rahimahullah "Ketahuilah pembahasan negara Islam dan negara kafir sedikit sekali faedahnya karena telah kami jelaskan pada penjelasan lalu tentang Daarul Harb. Bahwa kafir Harbi itu halal ditumpahkan darah dan hartanya dalam kondisi apapun selama ia tidak mendapatkan jaminan keamanan dari kaum muslimin dan bahwa harta dan darah muslim itu terjaga dengan perlindungan Islam, di Daarul Harb maupun yang lain". (Sailul Jarar 4/576). Kendati Imam As Syaukani mengatakan demikian namun di sana ada konswekensi hukum berdasarkan perbedaan status negara, yang paling urgen diantaranya, hukum hukum Hijrah dan jihad.

Diantara hukum hukum tersebut adalah :

1. Wajib hijrah dari negara kafir menuju negara Islam saat ada kemampuan, ataupun menuju Daarul Amni (Negara Kafir yang lebih sedikit fitnahnya). Ketika Daarul Islam tiada di dunia sebagaimana masa hijrah ke Habasyah pada awal Islam dan sebagaimana kondisi yang ada pada hari ini, telah kami sebutkan sebelumnya beberapa nash yang menunjukkan atas wajibnya hijrah. Silakan rujuk hukum hijrah lainnya pada kitab Al-mughni Ma'asyarhl Kabiir 10/513-515 dan Nailul authar 8/176-179.

Dari wajibnya Hijrah ini, tercabang beberapa hukum sebagai berikut:

a. Gugurnya kewajiban adanya mahram bagi safarnya perempuan yang hijrah dari negara kafir sama saja apakah perempuan tersebut sebelumnya kafir lalu masuk Islam atau tawanan muslimah yang melarikan diri. Maka ia boleh safar dari negara kafir tanpa mahram jika memang udzur sebab mafsadat tinggalnya dia di tengah orang orang kafir lebih besar dari mafsadat safarnya tanpa mahram, maka ia menanggung mafsadat yang lebih ringan untuk menolak yang lebih besar. Lihat al-Mughni ma'a Syarhil Kabir 3/192, 10/527 dan Fathul Bari 2/568, 4/76

b. Masa Iddah perempuan yang hijrah, jika sebelumnya ia kafir lalu masuk Islam sedang suaminya kafir di Daarul harby masa Iddahnya 1 kali haid. Dan ia boleh menikah dengan seorang muslim setelah itu jika mau. Dalilnya adalah Hadits Ibnu Abbas "Jika seorang wanita hijrah dari Kafir Harbi, tidak boleh dipinang hingga ia haidh dan suci. Jika telah suci maka halal baginya untuk menikah. Jika suaminya hijrah sebelum wanita itu dinikahi maka ia dikembalikan kepada suaminya" HR bukhori 5286. Hal ini sebagai tafsir firman Allah Ta’ala " wahai orang beriman jika datang kepada kalian wanita wanita mukmin yang hijrah maka ujilah (keimanan) mereka. Allah Maha Tahu tentang keimanan mereka. Jika kalian mengetahui mereka sebagai wanita wanita mukmin maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang Kuffar(suami-suami mereka). Wanita wanita tersebut tidaklah halal bagi mereka dan mereka tidaklah halal bagi wanita tersebut.Berikanlah kepada orang orang kafir itu apa yang telah mereka belanjakan.Tidak ada dosa bagi kalian untuk menikahi wanita tersebut jika kalian telah berikan maharnya.(QS. Mumtahanah :10, lihat ahkamu ahli dzimmah oleh ibnnul Qayyim 1/339dan 365)

c. Jika sebagian budak-budaknya orang kafir masuk Islam lalu hijrah maka mereka menjadi merdeka. Dan mereka memiliki harta kafir harbi yang mereka bawa lari. Hal ini tersebut dalam hadits ibnu Abbas yang lalu "jika salah seorang budak laki laki atau perempuan dari mereka hijrah maka keduanya merdeka dan mendapatkan hak sebagaimana kaum muhajirin". misalnya adalah larinya sahabat Abi Bakrah Nafi' bin Harits dari benteng Thoif saat pengepungan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam selepas perang Hunain. Kisah tersebut terdapat pada shahih Bukhari pada perang thoif. Masalah ini disebutkan dalam Naiul Authar 8/157 dan Sair Kabier oleh Muhammad bin Hasan 5/2286 dan setelahnya.

d. Haram seorang muslim melakukan safar ke Darul harby dan menetap di sana tanpa darurat. Sebab hijrah wajib atas orang yang masuk Islam di sana maka orang Islam tidak boleh melakukan safar ke sana melainkan karena darurat untuk perniagaan, pengobatan dan semisalnya. Allah Ta’ala berfirman tentang orang yang tinggal menetap di tengah orang-orang kafir: "Bukankah bumi Allah itu luas lalu kalian dapat hijrah ke sana. maka mereka itu tempat tinggalnya di jahanam dan ia seburuk-buruk tempat kembali" (An Nisa':97.)

Menetap di tengah orang-orang kafir termasuk faktor terbesar dalam fitnah dien. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidhaa' shirothil mustaqim berbicara pancang lebar dalam menjelaskan madharat hidup berkumpul dengan orang-orang kafir. Hal ini akan mengarah pada sikap tasyabuh (menyerupai) orang kafir dan berperilaku seperti perilaku mereka baik secara lahir maupun batin. Sebagian ulama telah menyatakan kafirnya orang yang bertekad kuat untuk menetap di negara kafir karena dengan kerelaan, ia menerima berlakunya hukum-hukum kafir pada dirinya. Ini merupakan sikap bertahakum (berhukum) secara kerelaan sendiri kepada thaghut. Oleh karena itu siapa yang terpaksa harus safar ke negara-negara kafir selayaknya ia tidak bertekad kuat untuk menetap di sana dan senantiasa menghadirkan niat meninggalkan negeri tersebut saat ada kesempatan baginya. Telah banyak bala' dalam bersafar ke negeri-negeri kuffar tulen seperti Eropa dan Amerika pada era ini tanpa ada dharurat melainkan hanya sekedar memperbanyak materi dunia. Menetap di tengah-tengah kaum muslimin di negara-negara murtad seperti negara-negara arab dan negara-negara yang menamakan Islam itu lebih baik dari pada negara-negara kafir tulen sekalipun semuanya adalah negara kafir. Akan tetapi sebagian keburukan lebih ringan dari yang lain. Diantara faktor penting berlangsungnya konsep sekuler di negara-negara kaum muslimin adalah berkuasanya mereka yang telah belajar di negeri-negeri Barat dan bertabiat dengan tabiat mereka, memangku jabatan-jabatan penting di negeri kaum muslimin di bidang politik, ekonomi, pendidikan dan media.

Salah seorang kaum muslimin bertanya pada saya tentang persoalan mengambil kewarganegaraan di negara kafir tulen.

Inti persoalannya, bahwa seorang muslim yang mukim di negara mereka jika telah memenuhi syarat-syarat tertentu boleh baginya meminta kewarganegaraan, ia tidak mendapatkannya hingga ia mau bersumpah setia kepada negara bahwa ia komitmen dengan undang undangnya, komitmen untuk tidak mengadakan bahaya kepada negara, mempertahankannya, dan semisalnya? Saya katakan bahwa sumpah ini merupakan kekufuran yang terang dan siapa yang mengucapkannya tanpa dipaksa maka ia kafir. Jika ia komitmen dengan itu untuk berhukum secara kerelaan diri kepada thogut (maksud disini adalah peraturan Kuffar) jika dia komitmen dengan hal ini maka dia kafir. Persoalan ini berbeda dengan undang-undang kafir yang dipaksakan diterapkan padanya yang dibarengi rasa kebencian di negara-negara murtad. Sebagaimana halnya, setelah mengambil kewarganegaraan ia harus komitmen entah dirinya atau anak-anaknya untuk khidmat di ketentaraan Kuffar dan turut serta dalam peperangan mereka. Ini merupakan tindakan yang membuat pelakunya kafir sebab ia berarti perang di jalan thogut. Allah Taala berfirman "dan orang-orang kafir berperang di jalan thogut " Annisa’ 76.

Ringkasnya bahwa sumpah ini merupakan loyalitas yang membuat pelakunya kafir. Akan ada penjelasan makna loyalitas dalam mengkritisi kitab Risalah Limaniah fil Muwalah. Si penanya berkata kepada saya; Misalkan seseorang tahu hukum ini dan menyatakan bahwa ia akan kafir selama 5 menit saat melakukan sumpah kemudian tobat? Saya jawab; “Sesungguhnya orang tersebut jika mengatakan bahwa ia akan kafir saat bersumpah maka ia telah kafir dengan perkataannya tersebut sekalipun ia belum bersumpah, sebab para ulama tidak berselisih pendapat tentang orang yang meniatkan kekufuran pada masa yang akan datang maka ia kafir saat itu juga. Pendapat ini saya nukil dalam menjelaskan kaidah mengkafirkan dari pengarang kitab Kifaayatul Akhyar 2/123. Perkataannya "seandainya ia mengatakan jika anakku meninggal aku akan masuk Yahudi atau Nasrani maka ia kafir saat itu juga".

Darimanakah ia tahu akan hidup sampai taubat. Bisa jadi ia meninggal atau jadi gila saat itu juga hingga ia luput dari taubat. Allah Taala berfirman:
"Mereka buat tipu daya dan Allah membuat tipu daya dan Allah lah sebaik-baik pembuat tipu daya" (QS.Ali Imran 54).

Allah Taala berfirman
"Apakah orang-orang yang membuat makar kejahatan merasa aman dari Allah akan membenamkan mereka dibumi atau adzab datang kepada mereka dari arah yang mereka tidak kira" (QS: An Nahl 45 )

Ringkasnya, mengambil kewarganegaraan yang terikat dengan pelaksanaan sumpah ini adalah tidak boleh. Berkata Syekh Hamd bin Atiq Najdi "ia menyetujui mereka-yakni orang Kuffar-pada lahirnya padahal ia menyelisihi mereka dalam batinnya dan ia tidak berada dalam kekuasaan mereka. Namun yang mendorongnya melakukan hal itu hanyalah obsesi terhadap jabatan atau harta atau bakhil terhadap tanah air atau keluarga atau takut dari sesuatu yang akan terjadi pada kemudian hari maka ia pada kondisi ini menjadi murtad dan kebenciannya terhadap mereka dibatin tidaklah memberinya manfaat. Ia termasuk orang yang Allah firmankan tentang mereka "yang demikian itu lantaran disebabkan mereka lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat dan Allah tidaklah menunjuki kaum yang kafir" An Nahl 107." Dari Risalahnya Bayaan Najat wal Fikak min Muwalatil Murtadin wa Ahli Isyrok bagian dari Majmu'atu Tauhid cetakan Daarul Fikri halaman 418.

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab berkata "jika loyalitas yang dibarengi tinggal bersama mereka - yakni Kuffar- di negara mereka dan turut berperang bersama mereka serta semisalnya maka divonis atas pelakunya dengan kafir sebagaimana firman Allah Ta’ala" dan barangsiapa diantara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin maka ia bagian dari mereka" Al Maidah 51. Dari Risalahnya Autsaqu 'Urol Iman bagian dari Majmu'atu Tauhid halaman 175. Demikian Wallohu 'alam.

e. Barangsiapa yang safar ke negara Kuffar karena sebab yang dibolehkan maka kebanyakan para ulama menyatakan makruh hukumnya ia menikah di negara mereka. Jika ia dikuasai syahwat dan mengkhawatirkan dirinya dari perbuatan zina, maka ia menikah dengan muslimah jika mungkin dan kalau tidak dengan wanita ahli kitab. Pokoknya dia harus berbuat 'azl terhadap istrinya lantaran dikhawatirkan anak akan tumbuh dalam agama kuffar dan berakhlaq dengan akhlaq mereka. lihat Al Mughni ma'a syarhil kabir 10/512 dan Sair Kabir oleh Muhammad bin Hasan 5/1838, Ahkam Ahli Dzimmah oleh Ibnul Qoyyim 2/431. Realita membuktikan apa yang diwanti-wanti oleh para fuqoha salaf; bahwa undang-undang kuffar memberikan kepada wanita dan anak-anak kebebasan yang membuat mereka terhalang dari mendapatkan pertumbuhan secara Islami. Wanita mereka mendapatkan hak untuk menjaga anak-anaknya jika suami yang muslim hendak meninggalkan negera mereka. Saya mengetahui kasus seorang muslim yang menikahi seorang wanita nasrani Amerika di negara Amerika dan mempunyai tiga orang anak. Lalu laki-laki tersebut meninggal maka istrinya mengkristenkan anak-anaknya. Keluarga pihak laki-laki -yang berada di luar Amerika gagal dalam menyelamatkan anak-anaknya.

f. Jika salah seorang kafir masuk ke negeri-negeri kaum muslimin dimana merupakan negara-negara kafir murtad pada hari ini. Ia tidak memasukinya melainkan setelah memperoleh visa masuk dari pihak penguasa yang memerintah negara ini. Maka hal ini tidak dianggap sebagai jaminan keamanan baginya yang akan melindungi darah dan hartanya di negara-negara tersebut. Disebabkan jaminan keamanan ini dikeluarkan dari pihak kafir lagi murtad yaitu penguasa pemerintah murtad yang tidak mempunyai legalitas kekuasaan secara syar'i atas kaum muslimin. Dan jaminan keamanan yang diberikan oleh orang kafir kepada kafir lain tidaklah berkonswekensi pada orang muslim.

2. Diantara konswekensi hukum berdasarkan perbedaan status negara-negara;

Wajibnya memerangi kuffar di negara-negara mereka, yaitu jihad tholab (invansi). Allah Ta’ala berfirman:
"Wahai orang-orang beriman perangilah orang-orang kafir di sekitar kalian" (QS:At- Taubah:123)

Ulama berkata: Minimal yang dilakukan oleh Imammul muslimin adalah melakukan serbuan (invansi) terhadap orang kuffar di negara mereka sekali dalam setahun. lihat Al Mughni ma'a Syarhil Kabir 10/367-368

3. Diantara konwekensi hukum;

Bolehnya membunuh kafir murtad yang mumtani' (mempertahankan diri karena terlindungi oleh sebuah kekuatan pasukan atau kekuatan hukum yang berlaku) dalam sebuah nagara kafir dan diambil harta yang ada padanya tanpa dimintai taubat lebih dahulu sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam menjabarkan kaidah takfir.


Demikian pembahasan ini, dan tema status negara memang diakui termasuk tema yang terancam dirubah jauh pada masa ini oleh pihak-pihak yang mendakwakan ijtihad dari kalangan orang-orang yang terpengaruh orientalis berikut melakukan jejak mereka dalam upaya mensejajarkan antara hukum-hukum Islam dengan hukum kafir khususnya yang disebut dengan undang-undang internasional dan perjanjian-perjanjian PBB serta yang lain. Hal itulah yang menyeru kepada apa yang disebut dengan hidup berdampingan seacara damai antar penduduk dunia dan mengahramkan perang invansi. Semua itu hanyalah lamunan belaka yang mereka gunakan untuk menipu rakyat lemah. Diantaranya rakyat muslim dalam rangka yang kuat supaya tetap kuat dan yang lemah tetaplah lemah. Maka jika kaum muslimin pada suatu hari berupaya melakukan jihad terhadap kuffar, mereka tuduh dengan pelanggaran undang-undang internasional dan berhak mendapatkan sangsi dunia. Diantara siasat yang ditempuh orang kafir dalam menyesatkan dan menipu kaum muslimin adalah merubah hukum-hukum Islam terkhusus yang terkait dengan jihad.

Melihat keterkaitan erat antara status-status negara dengan persoalan jihad, maka tema ini benar-benar telah mengalami perusakan yang benihnya ditebarkan oleh para orientalis selanjutnya dipelihara oleh sebagian pendakwa ijtihad. Dengan pernyataan mereka(yang sesat);”sesungguhnya pembagian dunia menjadi dua macam negara itu tidak ada sandarannya”. Dan juga “negara-negara kuffar itu tidak bisa disebut Darul Harby melainkan jika memang telah melakukan peperangan nyata dengan kaum muslimin. maka selama peperangan tidak terjadi dan ikatan perjanjian yang ada maka tidak ada darul harby”. Serta mereka menyatakan “berkuasanya orang-orang kuffar dan penampakaan mereka akan hukum-hukum kafir di negeri-negeri kaum muslimin tidaklah menjadikan negeri tersebut sebagai negeri kafir selama kaum muslimin dapat menampakkan syiar-syiar agama, maka ia sebagai negara Islam dan selama demikian berarti tidak ada jihad di dalam negara Islam?!?. Serta penyelewengan-penyelewengan lain yang dikehendaki untuk menyesatkan kaum muslimin dan memalingkan mereka dari diennya. Dan telah kami jelaskan sebelumnya kerusakan pandangan-pandangan ini.