JIHAD MELAWAN PEMERINTAH YANG MURTAD
Oleh Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz
Jika pemerintah melakukan kekafiran dan ia mempertahankan diri dengan kekuatan, maka wajib memeranginya, dan peperangan ini adalah fardlu ‘ain yang lebih diutamakan dari pada yang lainnya.
Mereka itu kafir berdasarkan firman Alloh:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)
Dan juga firman Alloh:
“Kemudian orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. (QS. 6:1)
Dan berdasarkan ayat-ayat yang lain. Sedangkan kebanyakan mereka mangaku Islam, maka dengan demikian mereka murtad lantaran kekafiran mereka.
Dan pada hakekatnya para penguasa itu, selain mereka menjalankan hukum selain hukum yang diturunkan Alloh, mereka juga membuat syari’at bagi manusia sesuai dengan kemauan mereka. Dengan demikian mereka mengangkat diri mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) bagi manusia selain Alloh. Sebagaimana firman Alloh:
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah,. (QS. 9:31)
Dengan demikian maka kekafiran mereka bertumpuk-tumpuk, selain mereka juga menghalang-halangi manusia dari jalan Alloh.
Dan permasalahan ini telah saya jabarkan dalam risalah yang lain yang berjudul “Risalah Da’watut Tauhid”. Di buku itu saya jawab sanggahan-sanggahan yang terdapat pada seputar ayat dalam surat Al-Maidah, yang berbunyi:
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan oleh Alloh, maka mereka itu orang-orang kafir.”
Di sana saya terangkan bahwasanya ayat ini merupakan nash secara umum dipandang dari berbagai segi. Dan sesungguhnya kafir yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kufur akbar. Dan apabila perkataan para sahabat jika saling berselisih dalam menafsirkan sebuah ayat, maka kita pilih yang dikuatkan oleh dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai mana hal itu ditetapkan dalam ushul fikih. Dan saya jelaskan pula, bahwa apa yang terjadi di kebanyakan negeri kaum muslimin sekarang ini sama dengan kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut, yaitu menghapus hukum syari’at serta membuat hukum baru yang dijadikan syari’at baru yang harus diikuti oleh manusia. Sebagai mana orang yahudi menghapus hukum taurot yang berupa merajam orang yang berzina, lalu mereka membuat hukum sebagai pengganti. Dan saya sebutkan dalam risalah tersebut bahwa kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat itu secara qoth’ii masuk ke dalam pengertian ayat, sebagaimana yang ditetapkan dalam ushul fikih.
Dan inilah yang disinggung oleh Isma’il Al-Qodli sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar: “Isma’il Al-Qodli mengatakan dalam kitab Ahkamul Qur’an, setelah ia menceritakan perselisihan pendapat tentang dzohinya ayat, ia menunjukkan bahwa barangsiapa melakukan sebagaimana yang mereka lakukan, dan membuat sebuah hukum yang menyelisihi hukum Alloh, lalu hukum yang ia buat itu dia jadikan ajaran yang diamalkan, maka dia juga mendapatkan ancaman yang tersebut dalam ayat tersebut sebagaimana yang mereka dapatkan. Baik orang itu hakim atau yang lainnya.” (Fathul Bari XIII/120)
Maka semua orang yang ikut serta dalam membuat undang-undang positif itu atau memutuskan perkara dengan menggunakan hukum tersebut, maka ia kafir, kufur akbar, ia keluar dari agama Islam, meskipun dia melakukan rukun Islam yang lima dan amalan yang lainnya. Dan inilah yang ditetapkan oleh kebanyakan ulama’ mu’ashirin (masa sekarang), sebagaimana yang saya nukil dalam kitab ini (Al-Jami’) pada bab III dari Ahmad Syakir, Muhammad Hamid Al-Faqi dan Muhammad bin Ibrohim Alusy Syaikh.
Dan telah saya sebutkan dalam risalah tersebut di atas, siapa saja yang masuk dalam pengertian “Hakim” secara syar’ii.
Jika dia tidak mau bertaubat, maka dia dibunuh. Dan jika dia bertaubat ia tidak memegang kekuasaannya kembali, sebagaimana sunnah Abu Bakar dan Umar ra.
Sedangkan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda:
“Hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para kholifah risyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham.” Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi, dan beliau menshohihkan hadits ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Umar, bahkan begitu juga Abu Bakar tidak pernah mengangkat pegawai yang mengurusi urusan kaum muslimin, seorang munafik, atau dari kerabat beliau berdua, dan beliau berdua tidak terpengaruh oleh celaan orang. Bahkan ketika keduanya memerang irang-orang murtad dan mengembalikan mereka ke dalam Islam, mereka dilarang untuk mengendarai kuda dan membawa senjata, sampai nampak ketulusan taubat mereka. Dan Umar pernah mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqosh yang menjabat sebagai gubernur Irak; Jangan kau angkat seorangpun dari sebagai pegawai , dan jangan kau mintai pendapat dalam urusan perang. Sesungguhnya mereka itu adalah para pemuka seperti Thulaihah Al-Asadi, Al-Aqro’ bin Habis, Uyainah bin Hish-n dan Al-Asy’ats bin Qois Al-Kindi. Orang-orang semacam mereka ini ketika dikhawatirkan oleh Abu Bakar dan Umar ada sifat kemunafikan pada mereka, maka mereka tidak diberi jabatan untuk memegang urusan kaum muslimin.” (Majmu’ Fatawa XXXV/65).
Dan setiap orang yang berperang membelanya ia kafir sebagaimana penguasa itu.
Berdasarkan firman Alloh;
“Dan barangsiapa yang berwala’ kepada mereka, maka dia termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah: 51)
Sedangkan kata “barangsiapa” dalam ayat ini adalah bentuk kata yang bersifat umum mencakup siapa saja yang berwala’ kepada orang kafir dan menolongnya baik dengan perkataan atau perbuatan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan yang lainnya mengatakan tentang hal-hal yang membatalkan Islam, (diantaranya adalah): “Menolong dan membantu orang-orang musyrik dalam menghadapi kaum muslimin, dan dalilnya adalah:
“Dan barangsiapa yang berwala’ kepada mereka, maka dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.” (Al-Maidah: 51)
(Majmu’atut Tauhid tulisan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 38)
Maka orang-orang murtad itu diperangi meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menampakkan beberapa syi’ar Islam, karena mereka melakukan perbuatan yang membatalkan pokok agama Islam. Alloh berfirman:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut.” (QS. 4:76)
Maka setiap orang yang menolong orang kafir, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan dalam rangka membela kekafirannya, maka ia kafir juga. Dan ini merupakan hukum secara dzohir di dunia bagi orang yang mempertahankan diri dari kekuatan orang-orang beriman dan berjihad (mukminin mujahidin). Dan bisa jadi ia dalam hatinya masih muslim, karena mungkin masih terdapat penghalang kekafiran padanya, atau terdapat syubhat atau yang lainnya. Namun hal ini tidak menghalangi untuk menvonis kafir karena pada orang tersebut terdapat penyebab yang menuntut untuk dikafirkan. Dan inilah sunnah yang berlaku dalam menvonis orang-orang yang mumtani’ (mempertahankan diri). Permasalahan ini telah saya jabarkan dalam risalah yang lain. Dan ilmu tentang ini harus disebar luaskan dikalangan manusia, supaya orang yang celaka ia celakan dengan jelas dan orang yang selamat ia selamat dengan jelas.
“Rosululloh memanggil kami, lalu kami berbai’at kepadanya untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan senang atau tidak senang, baik dalam keadaan susah atau mudah, dan baik pemimpin itu lebih mengutamakan dirinya. Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata mempunyai alasan dari Alloh.” (Hadits ini Muttafaq ‘Alaih sedangkan lafadznya menggunakan lafadz Muslim).
An-Nawawi berkata: “Berkata Al-Qodli ‘Iyadl; para ulama’ berijma’ bahwasanya kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan jika seorang pemimpin itu kafir, ia dipecat – sampai perkataannya – jika pemimpin itu kafir, atau mengganti syari’at atau dia berbuat bid’ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pula kewajiban taat kepadanya. Dan kaum muslimin wajib untuk mencopot kekuasaannya lalu menggantinya dengan imam yang ‘adil jika hal itu memungkinkan. Dan jika hal itu hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang, maka wajib kelompok itu untuk menggulingkan penguasa yang kafir. Sedangkan pemimpin yang melakukan bid’ah tidak wajib digulingkan kecuali jika mereka memperkirakan mampu untuk menggulingkannya. Namun jika mereka benar-benar tidak mampu, maka mereka tidak wajib melaksanakannya, dan orang Islam harus berhijroh dari negerinya itu ke negeri lainnya untuk menyelamatkan agamanya.” (Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi XII/229).
Saya katakan; Ijma’ yang disebutkan oleh Al-Qodli ‘Iyadl ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol (Fathul Bari XIII/7), dan dari Ibnut Tin dan Ad-Dawudi (Fathul Bari XIII/8) dan dari Ibnut Tin (Fathul Bari XIII/116) dan Ibnu Hajar sendiri menyatakannya (Fathul Bari XIII/123).
Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagaimana mengadakan persiapan untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan itu wajib ketika jihad tidak mampu dilaksanakan karena lemah. Karena sesungguhnya kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sebuah sarana, maka sarana itupun hukumnya juga wajib.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/259).
Dan Alloh berfirman:
“Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah). Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (QS. 8:59-60)
Dan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda:
“Ingatlah bahwa kekuatan itu adalah melempar.” Beliau mengatakan tiga kali. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Uqbah bin Amir.
Saya katakan; dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwasanya kewajiban kaum muslimin terhadap para thogut itu telah ditetapkan berlandaskan nas syar’ii, sehingga tidak boleh seorang muslimpun keluar dari ketetapan itu.
Nash itu adalah:
“Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Alloh.”
Dan telah terjadi ijma’ atas wajibnya memberontak mereka, sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Dengan demikian maka tidak diperbolehkan untuk berijtihad dalam masalah cara untuk menghadapi para thoghut itu, karena ada nas dan ijma’ dalam masalah itu. Dan sesungguhnya orang yang berijtihad dalam permasalahan ini yang mana masalah ini telah ada nas dan ijma’, maka orang tersebut telah benar-benar sesat.
Sebagaimana orang yang berusaha untuk merealisasikan syari’at Islam melalui kesyirikan parlemen dan cara yang semacam itu. Jika ada orang yang mengatakan bahwa ketidak mampuan menghalangi kita untuk memberontak, maka kami katakan kepadanya, sesungguhnya kewajiban kita ketika tidak mampu adalah melakukan persiapan, bukan mengikuti mereka dalam kesyirikan parlemen mereka. Dan jika benar-benar tidak mampu maka wajib untuk hijroh.
Dan jika tidak mampu untuk hijroh maka tinggallah dia sebagaimana orang yang lemah yang tunduk berdo’a kepada Alloh,:
“Orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a:"Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". (QS. 4:75)
Dan seorang muslim tidak akan ikut dalam parlemen perundang-undangan mereka. Karena ikut serta didalamnya berarti rela dengan sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan ditangan rakyat. Artinya pendapat mayoritas rakyat itulah yang menjadi syari’at yang harus diikuti oleh umat.
Ini adalah kekafiran yang disebutkan dalam firman Alloh:
“Dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Robb selain Allah. (QS. 3:64)
Anggota-anggota parlemen ini adalah Robb-robb (tuhan-tuhan) yang disebutkan dalam ayat ini, dan ini adalah kekafiran. Dan barang siapa yang tidak mengetahui hal ini wajib untuk diberi tahu.
Alloh berfirman:
"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. 4:140)
Jadi, barang siapa yang duduk bersama mereka dan menyaksikan kekufuran mereka, maka ia kafir seperti mereka.
Dan telah saya jelaskan sebelumnya bahwa jihad itu fardlu ‘ain dalam tiga keadaan. Di antaranya adalah jika musuh menduduki negeri kaum muslimin. Dan begitulah keadaan orang-orang murtad yang berkuasa atas kaum muslimin. Mereka adalah musuh yang kafir yang menduduki negeri kaum muslimin. Dengan demikian maka memerangi mereka hukumnya adalah fardlu ‘ain.
Oleh karena itu Al-Qodli ‘Iyadl mengatakan: “Wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakannya.”
Sedangkan perkataan Ibnu Hajar lebih jelas dalam menjelaskan keumuman kewajiban itu, ia berkata: “Ringkasnya bahwa penguasa itu dipecat jika melakukan kekafiran menurut ijma’, maka wajib kepada setiap muslim untuk melaksanakan hal itu.” (Fathul Bari XIII/123)
Dan inilah pengertian hadits Ubadah bin Shomit ra.
Saya katakan; Kewajiban setiap muslim untuk berjihad melawan para thoghut itu merupakan ilmu yang harus disebar luaskan di kalangan kaum muslimin secara umum. Supaya setiap orang Islam mengetahui bahwa mereka secara pribadi diperintahkan Robbnya untuk memerangi pemerintah tersebut. Sesungguhnya para thoghut itu telah membuat pemisah yang mematikan antara orang Islam yang awam dan antara orang-orang Islam yang multazimin (berpegang teguh dengan agamanya), supaya para thoghut itu dapat menekan orang-orang multazimin (yang berpegang teguh dengan agamanya) ditengah-tengah kebodohan dan sikap diam orang awam. Pada saat semua orang awam tersebut mendapatkan perintah yang sama, selama dia sebagai orang Islam meskipun dia orang fasik dan melakukan dosa-dosa besar. Karena kefasikan itu tidak dapat menggugurkan kewajiban syar’iy jihad (lihat lampiran ke 4).
Maka orang-orang yang berpegang teguh dengan agamanya harus menghancurkan pembatas yang mengasingkan mereka dari orang awam, dengan cara mengajarkan jihad ini kepada mereka secara dakwah individu dan dakwah umum. Supaya jihad itu menjadi permasalah seluruh kaum muslimin dan bukan hanya menjadi permasalahan jama’ah-jama’ah tertentu yang bisa dimusnahkan dalam waktu sehari semalam. Dan agar jihad ini berubah menjadi permasalahan orang awam, yang sebelumnya hanya menjadi permasalahan orang tertentu. Dengan demikian bencana itu akan berbalik kepada para thoghut dan para pembelanya, sehingga mereka akan terpisahkan setelah tersingkap kekafiran dan kejahatannya.
Alloh berfirman:
“Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.” (QS. 2:191)
Dan Alloh mengatakan kepada NabiNya:
“Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Irbadl bin Himar.
Sebagaimana para thoghut itu mengusir orang-orang yang komitmen dengan agama mereka dari kalangan orang-orang umum, dengan propaganda dan mengatakan mereka sebagai orang yang bodoh terhadap agama mereka, maka orang-orang komitmen dengan agama mereka haruslah juga mengasingkan para thoghut itu dari kalangan orang umum, dengan cara menyebarluaskan ilmu syar’ii dan kewajiban untuk berjihad melawan mereka.
Sebagaimana para thoghut itu memboikot harta dan mempersempit sumber penghidupan mereka, sebagaimana firman Alloh:
“(Juga) bagi orang-orang faqir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka, “ (QS. 59:8)
Maka wajib juga terhadap orang-orang yang komitmen terhadap agama mereka untuk mengusir para thoghut itu dari harta yang digunakan untuk memperkuat tentara mereka yang mereka gunakan untuk memerangi Alloh dan RosulNya.
Oleh karena itu Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., mendo’akan bencana atas orang-orang Quraisy yang berada di Al-Muja’ah. Dalam hal ini Abdulloh bin Mas’ud mengatakan:
“Sesungguhnya orang-orang Quraisy ketika mereka mengalahkan nabi, beliau berdo’a; Ya Alloh bantulah aku menghadapi mereka dengan menimpakan paceklik sebagaimana yang Engkau timpakan pada masa Yusuf. Maka orang quraisy pun tertimpa paceklik sampai-sampai mereka maka tulang dan bangkai pada masa itu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhori no. 4822.
Dan haram bagi orang Islam untuk membayarkan harta mereka kepada para thoghut itu dalam bentuk apapun seperti pajak dan lain-lain, kecuali darurat atau mukroh (dipaksa).
Alloh berfirman:
“Dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2)
Dan Alloh berfirman:
“Dan janganlah kau berikan harta kalian kepada sufaha’ (orang-orang bodoh).” (An-Nisa’: 5)
Dan harus diketahui, bahwa pemerintahan thoghut dan undang-undangnya itu tidak syah secara syar’ii.
Sungguh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., telah bersabda:
“Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan ajaran kami maka amalan itu tertolak.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim).
Hal ini telah saya sebutkan dalam pembahasan dasar-dasar berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam dasar yang keenam. Dan wajib pula bagi kaum muslimin untuk menguasai harta orang-orang kafir dengan paksaan (sebagai ghonimah) atau dengan tipu daya dan yang lainnya (sebagai fai’). Dan Rosululloh telah keluar untuk menguasai harta orang-orang Quraisy untuk dipergunakan kaum muslimin, maka terjadilah perang Badar.
Kesimpulannya secara umum adalah hendaknya permasalahan jihad itu dirubah dari permasalahan orang-rang tertentu menjadi permasalahan umum. Karena membatasi jihad dalam permasalahan orang-orang tertentu tidak akan mendatangkan perubahan yang diharapkan karena hal ini bertentangan dengan kaidah yang tidak akan berubah:
“Sesungguhnya Alloh tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.” (Ar-Ro’d: 11)
Hal ini bukan berarti semua rakyat harus ikut serta dalam permasalahan ini, karena hal ini tidak mungkin. Akan tetapi yang diharapan adalah hendaknya dilaksanakan oleh sejumlah orang yang membangun kekuatan yang mampu untuk melaksanakan pemerintahan Islam kemudian menjaganya dari musuh-musuh yang berada di dalam dan di luar. Adapun yang lainnya cukup untuk menjadi pendukung atau minimal menjadi orang yang netral, sampai kebenaran itu jelas bagi mereka.
Dan wajib pula untuk menyadarkan orang awam, jika mereka tidak bisa memberikan peran positif maka jangan sampai mereka memberikan peran negatif. Hal ini dapat dilakukan dengan tidak memberikan bantuan kepada para thoghut, dan meningkatkan pertentangan terhadap thoghut. Lalu akan meningkat pula keganasan dan gangguan mereka terhadap orang-orang yang beriman. Dengan demikian permasalahan jihad ini setiap hari akan memasuki rumah baru dari rumah-rumah kaum muslimin, yang akan mendapatkan para pembela baru sampai datang janji Alloh, sesungguhnya Alloh tidak akan mengingkari janjiNya.
Alloh berfirman:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan. (QS. 28: 5-6)
Hal ini ditinjau dari tiga sisi:
Pertama;
jihad semacam ini merupakan jihadu daf’i (defensif) yang hukumnya adalah fardlu ‘ain, sehingga jihad semacam ini lebih diutamakan daripada jihaduth tholab (ofensif). Jihad ini adalah jihadu daf’i karena para penguasa tersebut adalah orang-orang kafir yang menguasai negeri kaum muslimin. Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun qitalu daf’i, perang ini merupakan yang paling besar dalam rangka melawan penyerang yang merusak agama dan dunia. Tidak ada yang lebih wajib setelah beriman selain melawannya. Tidak disyaratkan lagi dengan syarat apapun, akan tetapi mereka dilawan sesuai dengan kemampuan.” (Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyah, hal 309).
Dan disebutkan pada faqroh ke 7 bahwa jihad menjadi fardlu ‘ain ketika musuh menduduki negeri kaum muslimin.(1)
Kedua:
Mereka adalah orang-orang murtad, dan telah berlalu penjelasannya dalam Faqroh ke 14(2)bahwa memerangi orang murtad itu lebih diutamakan dari pada memerangi orang kafir asli.
Ketiga:
"Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, “(QS. 9:123)
Penjelasan masalah ini telah berlalu dalam faqroh ke 13(3)
----------------------------------------------------------------------
FootNote:
1 - (Pada faqroh ketujuh beliau menukil perkataan Ibnu Qudamah sebagai berikut-.pent.)
Ibnu qudamah berkata: “Dan jihad itu fardlu ‘ain pada tiga keadaan;
Pertama;
Jika dua pasukan telah bertemu, maka haram bagi orang yang ada di situ untuk meninggalkan tempat, dan dia harus tetap teguh dan bertahan.
Berdasarkan firman Alloh;
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka tetap teguhlah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmt dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal: 45-46)
Kedua;
Apabila orang-orang kafir menduduki sebuah negeri (umat Islam-pent.), maka wajib bagi penduduk negeri tersebut untuk memerangi dan melawan mereka.
Ketiga;
Jika imam memerintahan suatu kaum untuk berangkat berperang, maka wajib bagi kaum tersebut untuk berperang bersama imam tersebut.
Berdasarkan firman Alloh;
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu :"Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu meresa berat dan ingin tinggal ditempatmu. (QS. 9:38)
Dan ayat setelahnya. Dan rosululloh bersabda;
“Dan jika kalian diperintahkan untuk berangkat berperang, maka berangkatlah.” (Al-Mugh-ni Wasy Syarhil Kabir X/365-366)
Saya katakan (Abdul Qodir bin Abdul Aziz-pent.); Dan dalil yang menjadi landasan untuk keadaan yang kedua adalah sama dengan dalil yang digunakan untuk dalil pada keadaan yang pertama.
"apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka tetap teguhlah kamu"
"apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)"
Karena jika orang-orang kafir menduduki sebuah negeri itu sama dengan telah bertemunya dua pasukan.
2 - (Yang beliau maksud adalah berikut ini- pent.) :
Memerangi orang-orang murtad yang mumtani’in (mempertahankan diri) lebih diutamakan dari pada memerangi orang-orang kafir asli (yang kekafirannya bukan karena murtad).
Karena murtad adalah kejahatan yang besar dan yang paling membahayakan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Telah ditetapkan dalan As-Sunnah bahwa hukuman orang murtad itu lebih besar dari pada hukuman orang kafir asli dari berbagai sisi. Di antaranya orang murtad itu dibunuh bagaimanapun keadaanya, ia tidak dikenakan untuk membayar jizyah, dan tidak dijadikan ahludz dzimmah. Lain halnya dengan orang kafir asli (mereka boleh menjadi ahludz dzimmah dengan membayar jizyah-pent.).
Di antaranya adalah orang murtad itu harus dibunuh meskupun ia tidak mampu berperang, lain halnya dengan orang kafir asli yang tidak mempunyai kelayakan berperang, sesungguhnya orang kafir asli yang tidak mempunyai kelayakan untuk berperang tidak boleh dibunuh menurut kebanyakan ulama’ seperti Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Oleh karena itu menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama’) orang murtad itu harus dibunuh. Hal ini sebagaimana madzhab Malik, Asy-Syafi’ii dan Ahmad. Di antaranya adalah orang murtad itu tidak mewarisi, tidak boleh dinikahi dan tidak boleh dimakan sembelihannya, lain halnya dengan orang kafir asli. Dan juga hukum-hukum yang lainnya.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/534).
Ibnu Taimiyah juga mengatakan: “Kufru ar-riddah (kekafiran karena murtad) itu lebih berat dari pada kekafiran orang kafir asli berdasarkan ijma’.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/478).
Beliau mengatakan di tempat lain: “Abu Bakar Ash-Shiddiq dan seluruh sahabat berjihad melawan orang-orang murtad terlebih dahulu sebelum jihad melawan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab. Karena sesungguhnya jihad melawan orang murtad itu fungsinya adalah menjaga negeri kaum muslimin yang telah ditaklukkan, dan memasukkan orang yang ingin keluar darinya. Sedangkan memerangi orang-orang musyrik dan ahli kitab yang tidak memerangi kita adalah merupakan tambahan idz-harud din. Dan menjaga modal itu lebih diutamakan dari pada mencari laba.” (Majmu’ Fatawa XXV/158-159)
Saya katakan: Para sahabat bersepakat (ijma’) untuk memulai perang dengan memerangi orang murtad. Dan pemberangkatan pasukan Usamah bin Zaid ke Romawi pada permulaan kekhilafahan Abu Bakar tidaklah merancaukan permasalahan ini. Karena hal itu dilakukan karena perintah Rosululloh saw., selain itu peperangan itu mempunyai dampak yang besar dalam menggentarkan orang yang ingin murtad. (Al-Bidayah Wan Nihayah karangan Ibnu Katsir VI/304-305)
3 - (Yang beliau maksud adalah berikut ini- pent.) :
“Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu,” (QS. 9:123)
Ibnu Qudamah berkata:” Masalah; Setiap kaum memerangi musuh yang berada di sekitarnya. Hal ini dasarnya adalah firman Alloh:
“Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu,” (QS. 9:123)
Dan juga karena yang terdekat itu adalah yang paling berbahaya, dan memerangi musuh yang terdekat itu berarti menolak bahaya yang berada dihadapan dan juga bahaya rang yang dibelakang nereka. Sedangkan menyibukkan diri dengan musuh yang jauh akan menyebabkan musuh yang terdekat memanfaatkan kesempatan untuk menyerang kaum muslimin karena kaum muslimin melalaikannya. – sampai beliau berkata – jika hal ini telah ditetapkan namun apabila dia mempunyai alasan untuk memulai perang terhadap musuh yang jauh karena hal itu lebih mengkhawatirkan atau memulai memeranginya itu terdapat kemaslahatan karena jarak dan kesempatan yang mereka miliki, atau karena ada perjanjian damai dengan musuh yang paling dekat atau ada penghalang yang menghalangi untuk memerangi musuh yang paling dekat, maka jika keadaannya seperti ini tidak mengapa untuk memulai perang terhadap musuh yang lebih jauh, karena hal itu dibutuhkan.” (Al-Mughni Ma’asy Syarhil Kabir X/372-373)
A.Hal ini sebagaimana yang terjadi pada para penguasa yang menjalankan pemerintahannya dengan selain syari’at Islam di berbagai nageri kaum muslimin.
Mereka itu kafir berdasarkan firman Alloh:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)
Dan juga firman Alloh:
“Kemudian orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. (QS. 6:1)
Dan berdasarkan ayat-ayat yang lain. Sedangkan kebanyakan mereka mangaku Islam, maka dengan demikian mereka murtad lantaran kekafiran mereka.
Dan pada hakekatnya para penguasa itu, selain mereka menjalankan hukum selain hukum yang diturunkan Alloh, mereka juga membuat syari’at bagi manusia sesuai dengan kemauan mereka. Dengan demikian mereka mengangkat diri mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) bagi manusia selain Alloh. Sebagaimana firman Alloh:
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah,. (QS. 9:31)
Dengan demikian maka kekafiran mereka bertumpuk-tumpuk, selain mereka juga menghalang-halangi manusia dari jalan Alloh.
Dan permasalahan ini telah saya jabarkan dalam risalah yang lain yang berjudul “Risalah Da’watut Tauhid”. Di buku itu saya jawab sanggahan-sanggahan yang terdapat pada seputar ayat dalam surat Al-Maidah, yang berbunyi:
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan oleh Alloh, maka mereka itu orang-orang kafir.”
Di sana saya terangkan bahwasanya ayat ini merupakan nash secara umum dipandang dari berbagai segi. Dan sesungguhnya kafir yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kufur akbar. Dan apabila perkataan para sahabat jika saling berselisih dalam menafsirkan sebuah ayat, maka kita pilih yang dikuatkan oleh dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai mana hal itu ditetapkan dalam ushul fikih. Dan saya jelaskan pula, bahwa apa yang terjadi di kebanyakan negeri kaum muslimin sekarang ini sama dengan kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut, yaitu menghapus hukum syari’at serta membuat hukum baru yang dijadikan syari’at baru yang harus diikuti oleh manusia. Sebagai mana orang yahudi menghapus hukum taurot yang berupa merajam orang yang berzina, lalu mereka membuat hukum sebagai pengganti. Dan saya sebutkan dalam risalah tersebut bahwa kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat itu secara qoth’ii masuk ke dalam pengertian ayat, sebagaimana yang ditetapkan dalam ushul fikih.
Dan inilah yang disinggung oleh Isma’il Al-Qodli sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar: “Isma’il Al-Qodli mengatakan dalam kitab Ahkamul Qur’an, setelah ia menceritakan perselisihan pendapat tentang dzohinya ayat, ia menunjukkan bahwa barangsiapa melakukan sebagaimana yang mereka lakukan, dan membuat sebuah hukum yang menyelisihi hukum Alloh, lalu hukum yang ia buat itu dia jadikan ajaran yang diamalkan, maka dia juga mendapatkan ancaman yang tersebut dalam ayat tersebut sebagaimana yang mereka dapatkan. Baik orang itu hakim atau yang lainnya.” (Fathul Bari XIII/120)
Maka semua orang yang ikut serta dalam membuat undang-undang positif itu atau memutuskan perkara dengan menggunakan hukum tersebut, maka ia kafir, kufur akbar, ia keluar dari agama Islam, meskipun dia melakukan rukun Islam yang lima dan amalan yang lainnya. Dan inilah yang ditetapkan oleh kebanyakan ulama’ mu’ashirin (masa sekarang), sebagaimana yang saya nukil dalam kitab ini (Al-Jami’) pada bab III dari Ahmad Syakir, Muhammad Hamid Al-Faqi dan Muhammad bin Ibrohim Alusy Syaikh.
Dan telah saya sebutkan dalam risalah tersebut di atas, siapa saja yang masuk dalam pengertian “Hakim” secara syar’ii.
B.Penguasa murtad ini jika tidak mempunyai kekuatan, maka wajib untuk dipecat dengan segera, lalu dihadapkan ke qodli (hakim syar’iy).
Jika dia tidak mau bertaubat, maka dia dibunuh. Dan jika dia bertaubat ia tidak memegang kekuasaannya kembali, sebagaimana sunnah Abu Bakar dan Umar ra.
Sedangkan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda:
“Hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para kholifah risyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham.” Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi, dan beliau menshohihkan hadits ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Umar, bahkan begitu juga Abu Bakar tidak pernah mengangkat pegawai yang mengurusi urusan kaum muslimin, seorang munafik, atau dari kerabat beliau berdua, dan beliau berdua tidak terpengaruh oleh celaan orang. Bahkan ketika keduanya memerang irang-orang murtad dan mengembalikan mereka ke dalam Islam, mereka dilarang untuk mengendarai kuda dan membawa senjata, sampai nampak ketulusan taubat mereka. Dan Umar pernah mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqosh yang menjabat sebagai gubernur Irak; Jangan kau angkat seorangpun dari sebagai pegawai , dan jangan kau mintai pendapat dalam urusan perang. Sesungguhnya mereka itu adalah para pemuka seperti Thulaihah Al-Asadi, Al-Aqro’ bin Habis, Uyainah bin Hish-n dan Al-Asy’ats bin Qois Al-Kindi. Orang-orang semacam mereka ini ketika dikhawatirkan oleh Abu Bakar dan Umar ada sifat kemunafikan pada mereka, maka mereka tidak diberi jabatan untuk memegang urusan kaum muslimin.” (Majmu’ Fatawa XXXV/65).
C.Jika penguasa yang murtad itu mempertahankan diri dengan sebuah kelompok yang berperang membelanya, maka mereka wajib diperangi.
Dan setiap orang yang berperang membelanya ia kafir sebagaimana penguasa itu.
Berdasarkan firman Alloh;
“Dan barangsiapa yang berwala’ kepada mereka, maka dia termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah: 51)
Sedangkan kata “barangsiapa” dalam ayat ini adalah bentuk kata yang bersifat umum mencakup siapa saja yang berwala’ kepada orang kafir dan menolongnya baik dengan perkataan atau perbuatan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan yang lainnya mengatakan tentang hal-hal yang membatalkan Islam, (diantaranya adalah): “Menolong dan membantu orang-orang musyrik dalam menghadapi kaum muslimin, dan dalilnya adalah:
“Dan barangsiapa yang berwala’ kepada mereka, maka dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.” (Al-Maidah: 51)
(Majmu’atut Tauhid tulisan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 38)
Maka orang-orang murtad itu diperangi meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menampakkan beberapa syi’ar Islam, karena mereka melakukan perbuatan yang membatalkan pokok agama Islam. Alloh berfirman:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut.” (QS. 4:76)
Maka setiap orang yang menolong orang kafir, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan dalam rangka membela kekafirannya, maka ia kafir juga. Dan ini merupakan hukum secara dzohir di dunia bagi orang yang mempertahankan diri dari kekuatan orang-orang beriman dan berjihad (mukminin mujahidin). Dan bisa jadi ia dalam hatinya masih muslim, karena mungkin masih terdapat penghalang kekafiran padanya, atau terdapat syubhat atau yang lainnya. Namun hal ini tidak menghalangi untuk menvonis kafir karena pada orang tersebut terdapat penyebab yang menuntut untuk dikafirkan. Dan inilah sunnah yang berlaku dalam menvonis orang-orang yang mumtani’ (mempertahankan diri). Permasalahan ini telah saya jabarkan dalam risalah yang lain. Dan ilmu tentang ini harus disebar luaskan dikalangan manusia, supaya orang yang celaka ia celakan dengan jelas dan orang yang selamat ia selamat dengan jelas.
D.Adapun dalil yang menjadi landasan untuk memberontak kepada pemerintah jika ia kafir adalah hadits Ubadah Ibnush Shomit Radliyallahu ‘anhu,:
“Rosululloh memanggil kami, lalu kami berbai’at kepadanya untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan senang atau tidak senang, baik dalam keadaan susah atau mudah, dan baik pemimpin itu lebih mengutamakan dirinya. Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata mempunyai alasan dari Alloh.” (Hadits ini Muttafaq ‘Alaih sedangkan lafadznya menggunakan lafadz Muslim).
An-Nawawi berkata: “Berkata Al-Qodli ‘Iyadl; para ulama’ berijma’ bahwasanya kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan jika seorang pemimpin itu kafir, ia dipecat – sampai perkataannya – jika pemimpin itu kafir, atau mengganti syari’at atau dia berbuat bid’ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pula kewajiban taat kepadanya. Dan kaum muslimin wajib untuk mencopot kekuasaannya lalu menggantinya dengan imam yang ‘adil jika hal itu memungkinkan. Dan jika hal itu hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang, maka wajib kelompok itu untuk menggulingkan penguasa yang kafir. Sedangkan pemimpin yang melakukan bid’ah tidak wajib digulingkan kecuali jika mereka memperkirakan mampu untuk menggulingkannya. Namun jika mereka benar-benar tidak mampu, maka mereka tidak wajib melaksanakannya, dan orang Islam harus berhijroh dari negerinya itu ke negeri lainnya untuk menyelamatkan agamanya.” (Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi XII/229).
Saya katakan; Ijma’ yang disebutkan oleh Al-Qodli ‘Iyadl ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol (Fathul Bari XIII/7), dan dari Ibnut Tin dan Ad-Dawudi (Fathul Bari XIII/8) dan dari Ibnut Tin (Fathul Bari XIII/116) dan Ibnu Hajar sendiri menyatakannya (Fathul Bari XIII/123).
E.Jika kaum muslimin tidak mampu melaksanakannya, maka wajib untuk melakukan persiapan (I’dad).
Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagaimana mengadakan persiapan untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan itu wajib ketika jihad tidak mampu dilaksanakan karena lemah. Karena sesungguhnya kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sebuah sarana, maka sarana itupun hukumnya juga wajib.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/259).
Dan Alloh berfirman:
“Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah). Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (QS. 8:59-60)
Dan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda:
“Ingatlah bahwa kekuatan itu adalah melempar.” Beliau mengatakan tiga kali. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Uqbah bin Amir.
Saya katakan; dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwasanya kewajiban kaum muslimin terhadap para thogut itu telah ditetapkan berlandaskan nas syar’ii, sehingga tidak boleh seorang muslimpun keluar dari ketetapan itu.
Nash itu adalah:
“Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Alloh.”
Dan telah terjadi ijma’ atas wajibnya memberontak mereka, sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Dengan demikian maka tidak diperbolehkan untuk berijtihad dalam masalah cara untuk menghadapi para thoghut itu, karena ada nas dan ijma’ dalam masalah itu. Dan sesungguhnya orang yang berijtihad dalam permasalahan ini yang mana masalah ini telah ada nas dan ijma’, maka orang tersebut telah benar-benar sesat.
Sebagaimana orang yang berusaha untuk merealisasikan syari’at Islam melalui kesyirikan parlemen dan cara yang semacam itu. Jika ada orang yang mengatakan bahwa ketidak mampuan menghalangi kita untuk memberontak, maka kami katakan kepadanya, sesungguhnya kewajiban kita ketika tidak mampu adalah melakukan persiapan, bukan mengikuti mereka dalam kesyirikan parlemen mereka. Dan jika benar-benar tidak mampu maka wajib untuk hijroh.
Dan jika tidak mampu untuk hijroh maka tinggallah dia sebagaimana orang yang lemah yang tunduk berdo’a kepada Alloh,:
“Orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a:"Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". (QS. 4:75)
Dan seorang muslim tidak akan ikut dalam parlemen perundang-undangan mereka. Karena ikut serta didalamnya berarti rela dengan sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan ditangan rakyat. Artinya pendapat mayoritas rakyat itulah yang menjadi syari’at yang harus diikuti oleh umat.
Ini adalah kekafiran yang disebutkan dalam firman Alloh:
“Dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Robb selain Allah. (QS. 3:64)
Anggota-anggota parlemen ini adalah Robb-robb (tuhan-tuhan) yang disebutkan dalam ayat ini, dan ini adalah kekafiran. Dan barang siapa yang tidak mengetahui hal ini wajib untuk diberi tahu.
Alloh berfirman:
"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. 4:140)
Jadi, barang siapa yang duduk bersama mereka dan menyaksikan kekufuran mereka, maka ia kafir seperti mereka.
F. Jihad melawan pemerintah murtad dan para pembelanya tersebut hukumnya adalah fardlu ‘ain, wajib setiap muslim untuk melaksanakannya kecuali orang yang mempunyai udzur syar’ii.
Dan telah saya jelaskan sebelumnya bahwa jihad itu fardlu ‘ain dalam tiga keadaan. Di antaranya adalah jika musuh menduduki negeri kaum muslimin. Dan begitulah keadaan orang-orang murtad yang berkuasa atas kaum muslimin. Mereka adalah musuh yang kafir yang menduduki negeri kaum muslimin. Dengan demikian maka memerangi mereka hukumnya adalah fardlu ‘ain.
Oleh karena itu Al-Qodli ‘Iyadl mengatakan: “Wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakannya.”
Sedangkan perkataan Ibnu Hajar lebih jelas dalam menjelaskan keumuman kewajiban itu, ia berkata: “Ringkasnya bahwa penguasa itu dipecat jika melakukan kekafiran menurut ijma’, maka wajib kepada setiap muslim untuk melaksanakan hal itu.” (Fathul Bari XIII/123)
Dan inilah pengertian hadits Ubadah bin Shomit ra.
Saya katakan; Kewajiban setiap muslim untuk berjihad melawan para thoghut itu merupakan ilmu yang harus disebar luaskan di kalangan kaum muslimin secara umum. Supaya setiap orang Islam mengetahui bahwa mereka secara pribadi diperintahkan Robbnya untuk memerangi pemerintah tersebut. Sesungguhnya para thoghut itu telah membuat pemisah yang mematikan antara orang Islam yang awam dan antara orang-orang Islam yang multazimin (berpegang teguh dengan agamanya), supaya para thoghut itu dapat menekan orang-orang multazimin (yang berpegang teguh dengan agamanya) ditengah-tengah kebodohan dan sikap diam orang awam. Pada saat semua orang awam tersebut mendapatkan perintah yang sama, selama dia sebagai orang Islam meskipun dia orang fasik dan melakukan dosa-dosa besar. Karena kefasikan itu tidak dapat menggugurkan kewajiban syar’iy jihad (lihat lampiran ke 4).
Maka orang-orang yang berpegang teguh dengan agamanya harus menghancurkan pembatas yang mengasingkan mereka dari orang awam, dengan cara mengajarkan jihad ini kepada mereka secara dakwah individu dan dakwah umum. Supaya jihad itu menjadi permasalah seluruh kaum muslimin dan bukan hanya menjadi permasalahan jama’ah-jama’ah tertentu yang bisa dimusnahkan dalam waktu sehari semalam. Dan agar jihad ini berubah menjadi permasalahan orang awam, yang sebelumnya hanya menjadi permasalahan orang tertentu. Dengan demikian bencana itu akan berbalik kepada para thoghut dan para pembelanya, sehingga mereka akan terpisahkan setelah tersingkap kekafiran dan kejahatannya.
Alloh berfirman:
“Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.” (QS. 2:191)
Dan Alloh mengatakan kepada NabiNya:
“Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Irbadl bin Himar.
Sebagaimana para thoghut itu mengusir orang-orang yang komitmen dengan agama mereka dari kalangan orang-orang umum, dengan propaganda dan mengatakan mereka sebagai orang yang bodoh terhadap agama mereka, maka orang-orang komitmen dengan agama mereka haruslah juga mengasingkan para thoghut itu dari kalangan orang umum, dengan cara menyebarluaskan ilmu syar’ii dan kewajiban untuk berjihad melawan mereka.
Sebagaimana para thoghut itu memboikot harta dan mempersempit sumber penghidupan mereka, sebagaimana firman Alloh:
“(Juga) bagi orang-orang faqir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka, “ (QS. 59:8)
Maka wajib juga terhadap orang-orang yang komitmen terhadap agama mereka untuk mengusir para thoghut itu dari harta yang digunakan untuk memperkuat tentara mereka yang mereka gunakan untuk memerangi Alloh dan RosulNya.
Oleh karena itu Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., mendo’akan bencana atas orang-orang Quraisy yang berada di Al-Muja’ah. Dalam hal ini Abdulloh bin Mas’ud mengatakan:
“Sesungguhnya orang-orang Quraisy ketika mereka mengalahkan nabi, beliau berdo’a; Ya Alloh bantulah aku menghadapi mereka dengan menimpakan paceklik sebagaimana yang Engkau timpakan pada masa Yusuf. Maka orang quraisy pun tertimpa paceklik sampai-sampai mereka maka tulang dan bangkai pada masa itu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhori no. 4822.
Dan haram bagi orang Islam untuk membayarkan harta mereka kepada para thoghut itu dalam bentuk apapun seperti pajak dan lain-lain, kecuali darurat atau mukroh (dipaksa).
Alloh berfirman:
“Dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2)
Dan Alloh berfirman:
“Dan janganlah kau berikan harta kalian kepada sufaha’ (orang-orang bodoh).” (An-Nisa’: 5)
Dan harus diketahui, bahwa pemerintahan thoghut dan undang-undangnya itu tidak syah secara syar’ii.
Sungguh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., telah bersabda:
“Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan ajaran kami maka amalan itu tertolak.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim).
Hal ini telah saya sebutkan dalam pembahasan dasar-dasar berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam dasar yang keenam. Dan wajib pula bagi kaum muslimin untuk menguasai harta orang-orang kafir dengan paksaan (sebagai ghonimah) atau dengan tipu daya dan yang lainnya (sebagai fai’). Dan Rosululloh telah keluar untuk menguasai harta orang-orang Quraisy untuk dipergunakan kaum muslimin, maka terjadilah perang Badar.
Kesimpulannya secara umum adalah hendaknya permasalahan jihad itu dirubah dari permasalahan orang-rang tertentu menjadi permasalahan umum. Karena membatasi jihad dalam permasalahan orang-orang tertentu tidak akan mendatangkan perubahan yang diharapkan karena hal ini bertentangan dengan kaidah yang tidak akan berubah:
“Sesungguhnya Alloh tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.” (Ar-Ro’d: 11)
Hal ini bukan berarti semua rakyat harus ikut serta dalam permasalahan ini, karena hal ini tidak mungkin. Akan tetapi yang diharapan adalah hendaknya dilaksanakan oleh sejumlah orang yang membangun kekuatan yang mampu untuk melaksanakan pemerintahan Islam kemudian menjaganya dari musuh-musuh yang berada di dalam dan di luar. Adapun yang lainnya cukup untuk menjadi pendukung atau minimal menjadi orang yang netral, sampai kebenaran itu jelas bagi mereka.
Dan wajib pula untuk menyadarkan orang awam, jika mereka tidak bisa memberikan peran positif maka jangan sampai mereka memberikan peran negatif. Hal ini dapat dilakukan dengan tidak memberikan bantuan kepada para thoghut, dan meningkatkan pertentangan terhadap thoghut. Lalu akan meningkat pula keganasan dan gangguan mereka terhadap orang-orang yang beriman. Dengan demikian permasalahan jihad ini setiap hari akan memasuki rumah baru dari rumah-rumah kaum muslimin, yang akan mendapatkan para pembela baru sampai datang janji Alloh, sesungguhnya Alloh tidak akan mengingkari janjiNya.
Alloh berfirman:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan. (QS. 28: 5-6)
G.Memerangi para penguasa murtad itu lebih diutamakan dari pada memerangi orang-orang kafir asli (yang kekafirannya bukan karena disebabkan murtad-pent.) seperti yahudi, nasrani dan penyembah berhala.
Hal ini ditinjau dari tiga sisi:
Pertama;
jihad semacam ini merupakan jihadu daf’i (defensif) yang hukumnya adalah fardlu ‘ain, sehingga jihad semacam ini lebih diutamakan daripada jihaduth tholab (ofensif). Jihad ini adalah jihadu daf’i karena para penguasa tersebut adalah orang-orang kafir yang menguasai negeri kaum muslimin. Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun qitalu daf’i, perang ini merupakan yang paling besar dalam rangka melawan penyerang yang merusak agama dan dunia. Tidak ada yang lebih wajib setelah beriman selain melawannya. Tidak disyaratkan lagi dengan syarat apapun, akan tetapi mereka dilawan sesuai dengan kemampuan.” (Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyah, hal 309).
Dan disebutkan pada faqroh ke 7 bahwa jihad menjadi fardlu ‘ain ketika musuh menduduki negeri kaum muslimin.(1)
Kedua:
Mereka adalah orang-orang murtad, dan telah berlalu penjelasannya dalam Faqroh ke 14(2)bahwa memerangi orang murtad itu lebih diutamakan dari pada memerangi orang kafir asli.
Ketiga:
"Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, “(QS. 9:123)
Penjelasan masalah ini telah berlalu dalam faqroh ke 13(3)
Makalah ini diterjemahkan dari kitab Al-‘Umdah Fii I’daadil ‘Uddah Lil Jihaadi Fii Sabiilillaah, Bab IV, Lampiran ke 2, Faqroh ke 15, karangan Abdul Qodir bin Abdul Aziz, diambil dari situs Mimbarut Tauhid Wal Jihad www. almaqdese.com
----------------------------------------------------------------------
FootNote:
1 - (Pada faqroh ketujuh beliau menukil perkataan Ibnu Qudamah sebagai berikut-.pent.)
Ibnu qudamah berkata: “Dan jihad itu fardlu ‘ain pada tiga keadaan;
Pertama;
Jika dua pasukan telah bertemu, maka haram bagi orang yang ada di situ untuk meninggalkan tempat, dan dia harus tetap teguh dan bertahan.
Berdasarkan firman Alloh;
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka tetap teguhlah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmt dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal: 45-46)
Kedua;
Apabila orang-orang kafir menduduki sebuah negeri (umat Islam-pent.), maka wajib bagi penduduk negeri tersebut untuk memerangi dan melawan mereka.
Ketiga;
Jika imam memerintahan suatu kaum untuk berangkat berperang, maka wajib bagi kaum tersebut untuk berperang bersama imam tersebut.
Berdasarkan firman Alloh;
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu :"Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu meresa berat dan ingin tinggal ditempatmu. (QS. 9:38)
Dan ayat setelahnya. Dan rosululloh bersabda;
“Dan jika kalian diperintahkan untuk berangkat berperang, maka berangkatlah.” (Al-Mugh-ni Wasy Syarhil Kabir X/365-366)
Saya katakan (Abdul Qodir bin Abdul Aziz-pent.); Dan dalil yang menjadi landasan untuk keadaan yang kedua adalah sama dengan dalil yang digunakan untuk dalil pada keadaan yang pertama.
"apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka tetap teguhlah kamu"
"apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)"
Karena jika orang-orang kafir menduduki sebuah negeri itu sama dengan telah bertemunya dua pasukan.
2 - (Yang beliau maksud adalah berikut ini- pent.) :
Faqroh ke 14
Memerangi orang-orang murtad yang mumtani’in (mempertahankan diri) lebih diutamakan dari pada memerangi orang-orang kafir asli (yang kekafirannya bukan karena murtad).
Karena murtad adalah kejahatan yang besar dan yang paling membahayakan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Telah ditetapkan dalan As-Sunnah bahwa hukuman orang murtad itu lebih besar dari pada hukuman orang kafir asli dari berbagai sisi. Di antaranya orang murtad itu dibunuh bagaimanapun keadaanya, ia tidak dikenakan untuk membayar jizyah, dan tidak dijadikan ahludz dzimmah. Lain halnya dengan orang kafir asli (mereka boleh menjadi ahludz dzimmah dengan membayar jizyah-pent.).
Di antaranya adalah orang murtad itu harus dibunuh meskupun ia tidak mampu berperang, lain halnya dengan orang kafir asli yang tidak mempunyai kelayakan berperang, sesungguhnya orang kafir asli yang tidak mempunyai kelayakan untuk berperang tidak boleh dibunuh menurut kebanyakan ulama’ seperti Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Oleh karena itu menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama’) orang murtad itu harus dibunuh. Hal ini sebagaimana madzhab Malik, Asy-Syafi’ii dan Ahmad. Di antaranya adalah orang murtad itu tidak mewarisi, tidak boleh dinikahi dan tidak boleh dimakan sembelihannya, lain halnya dengan orang kafir asli. Dan juga hukum-hukum yang lainnya.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/534).
Ibnu Taimiyah juga mengatakan: “Kufru ar-riddah (kekafiran karena murtad) itu lebih berat dari pada kekafiran orang kafir asli berdasarkan ijma’.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/478).
Beliau mengatakan di tempat lain: “Abu Bakar Ash-Shiddiq dan seluruh sahabat berjihad melawan orang-orang murtad terlebih dahulu sebelum jihad melawan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab. Karena sesungguhnya jihad melawan orang murtad itu fungsinya adalah menjaga negeri kaum muslimin yang telah ditaklukkan, dan memasukkan orang yang ingin keluar darinya. Sedangkan memerangi orang-orang musyrik dan ahli kitab yang tidak memerangi kita adalah merupakan tambahan idz-harud din. Dan menjaga modal itu lebih diutamakan dari pada mencari laba.” (Majmu’ Fatawa XXV/158-159)
Saya katakan: Para sahabat bersepakat (ijma’) untuk memulai perang dengan memerangi orang murtad. Dan pemberangkatan pasukan Usamah bin Zaid ke Romawi pada permulaan kekhilafahan Abu Bakar tidaklah merancaukan permasalahan ini. Karena hal itu dilakukan karena perintah Rosululloh saw., selain itu peperangan itu mempunyai dampak yang besar dalam menggentarkan orang yang ingin murtad. (Al-Bidayah Wan Nihayah karangan Ibnu Katsir VI/304-305)
3 - (Yang beliau maksud adalah berikut ini- pent.) :
Faqroh ke 13 Wajib memulai peperangan melawan musuh yang paling dekat.
Berdasarkan firman Alloh:“Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu,” (QS. 9:123)
Ibnu Qudamah berkata:” Masalah; Setiap kaum memerangi musuh yang berada di sekitarnya. Hal ini dasarnya adalah firman Alloh:
“Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu,” (QS. 9:123)
Dan juga karena yang terdekat itu adalah yang paling berbahaya, dan memerangi musuh yang terdekat itu berarti menolak bahaya yang berada dihadapan dan juga bahaya rang yang dibelakang nereka. Sedangkan menyibukkan diri dengan musuh yang jauh akan menyebabkan musuh yang terdekat memanfaatkan kesempatan untuk menyerang kaum muslimin karena kaum muslimin melalaikannya. – sampai beliau berkata – jika hal ini telah ditetapkan namun apabila dia mempunyai alasan untuk memulai perang terhadap musuh yang jauh karena hal itu lebih mengkhawatirkan atau memulai memeranginya itu terdapat kemaslahatan karena jarak dan kesempatan yang mereka miliki, atau karena ada perjanjian damai dengan musuh yang paling dekat atau ada penghalang yang menghalangi untuk memerangi musuh yang paling dekat, maka jika keadaannya seperti ini tidak mengapa untuk memulai perang terhadap musuh yang lebih jauh, karena hal itu dibutuhkan.” (Al-Mughni Ma’asy Syarhil Kabir X/372-373)