24 September 2007

Ramadhan bulan Jihad

Marhaban Ya Ramadhan. Rasulullah SAW. selalu memotivasi para sahabat dengan kabar gembira akan datangnya Ramadhan, sebagaimana sabdanya, “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, rajanya bulan, sambut dan hormatilah Ramadhan.”

Lintasan sejarah Islam berbicara, terdapat hubungan yang penting antara jihad dan Ramadhan. Selama kehidupan Rasulullah saw., dua buah peperangan terjadi di bulan Ramadhan, yang pertama adalah Perang Badar yang terjadi di tahun kedua setelah hijrah, dan yang kedua Penaklukan Mekkah (futuh Makkah) sekitar 6 tahun kemudian.

Bahkan, setelah kehidupan Rasulullah SAW, bulan Ramadhan tetap menjadi bulan konfrontasi militer penting bagi kaum muslimin. Beberapa kejadian penting yang berhubungan antara bulan Ramadhan dan jihad terus terjadi dalam kehidupan bersejarah kaum muslimin. Tentunya, Allah SWT yang paling mengetahui hikmah yang besar mengapa bulan Ramadhan begitu memiliki kaitan erat dengan jihad. Pastinya, Allah SWT sajalah yang mengetahui hikmah itu semua dan memberikan indikasi dan tanda-tanda tersebut, yakni kaitan antara Ramadhan dan jihad kepada kaum muslimin.

Untuk memahami lebih dalam hubungan ini maka seseorang haruslah memahami esensi jihad sebaik dia memahami esensi shaum. Jihad adalah aktualisasi dari ibadah seorang muslim untuk membuktikan tidak ada kecintaan baginya kecuali hanya Allah SWT saja, Rasulullah SAW, dengan upaya sekuat tenaga untuk menggapai Ridho Ilahi. Seorang Mujahid dengan bersungguh-sungguh memberikan semua apa pun miliknya di dunia, termasuk hidupnya, ini merupakan bukti bahwa dia sungguh-sungguh ikhlas beribadah hanya kepada Allah SWT. semata. Dia tidak memiliki keinginan lain, selain Allah SWT. Dia tidak menyembah materi apa pun dalam kehidupannya, keinginannya, dan semua semata-mata ditujukan untuk menggapai keridloan-Nya. Inilah tujuan seorang Mujahid dan tidak ada selain itu.

Untuk beberapa alasan, banyak muslim tidak mampu melakukan keikhlasan dalam beribadah tersebut. Mereka masih membutuhkan atau mengharapkan sesuatu yang lain meskipun mereka tahu bahwa mereka adalah hamba Allah SWT, mereka masih lebih mementingkan pekerjaan, keluarga, kesehatan, dan segala sesuatu yang merupakan kenikmatan dunia. Salah satu jalan untuk mencapai tingkat ketulusan ibadah tersebut adalah taqwa, sebagaimana firman Allah SWT.

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS 2 : 183)

Perintah Jihad dan Ramadhan

Dalam bulan yang diberkahi ini, dimana seluruh kaum muslimin berlomba-lomba untuk mencapai derajat taqwa, yakni mengerjakan seluruh perintah Allah SWT. dan meninggalkan seluruh larangan-Nya, maka kita akan sama-sama melihat berapa banyak atau seberapa besar kaum muslimin (selain mengerjakan perintah puasa) telah melaksanakan perintah jihad ? Atau membantu jihad ? Untuk membantu anak-anak dari ummat ini, khususnya mereka yatim piatu dari para syuhada ? Padahal perintah jihad sama wajibnya dengan perintah puasa Ramadhan.
Bayangkan, jika setiap wanita muslim di saat bulan Ramadhan ini menyisihkan uangnya Rp. 50.000 untuk diinfaqkan fi Sabilillah! Bayangkan, jika setiap ikhwah tidak menghabiskan waktu di setiap bulan Ramadhannya kecuali melakukan i’dad atau jihad fi sabilillah! Atau, jika itu tak terbayangkan, maka bayangkanlah mereka sedang duduk-duduk di rumah dan berfikir “Suatu hari nanti saya akan berjihad, tetapi hari ini anak saya masih terlalu kecil, istri saya tidak setuju, dan ibu saya sudah tua.”

Padahal, di masa keemasan sejarah Islam dahulu, bulan Ramadhan selalu berkaitan dengan jihad fi sabilillah. Rasulullah SAW dan para sahabatnya --- yang mana mereka adalah umat Islam terbaik --- tidak pernah meninggalkan kewajiban jihad, termasuk jihad tholab (jihad atas inisiatif kaum muslimin). Buktinya Nabi SAW sendiri memerangi bangsa Arab kemudian memerangi Romawi di Tabuk, Rasulullah SAW sendiri telah melakukan 19 kali perang ghozwah, 8 diantaranya beliau terjun langsung di dalamnya. Adapun utusan dan sariyah-sariyah yang beliau tidak turut di dalamnya, jumlahnya mencapai 36 kali menurut riwayat Ibnu Ishaq, sedangkan yang lain berpendapat lebih dari itu. Setelah itu, sepeninggal Rasulullah SAW para sahabat berperang menyerang bangsa Rum, Persi, Turki, Mesir, Barbar dan lain sebagainya, sampai-sampai ini sudah menjadi perkara yang maklum. Lalu, mengapa tradisi Islam ini tidak berlanjut kepada sebagian besar kaum muslimin saat ini. Ada apa dengan ummat Islam ?

Kita tentunya sudah tidak asing lagi dengan hadits tentang ‘penyakit ummat’ dewasa ini, yakni wahn, sebagaimana sabda Rasulullah saw.tentang al wahn yakni : “Cinta dunia dan tidak suka dengan perang.” Hadits shohih, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad.

Abu Bakar Ash-Shiddiiq Radhiyallahu ‘anhu mengatakan pada khotbahnya yang pertama kali (ketika diangkat menjadi Kholifah) : “Tidaklah sebuah kaum meninggalkan jihad kecuali mereka pasti hina.” Dan demi Allah sungguh dia benar.”

Perintah jihad juga dilaksanakan agar kita tidak terkena sifat orang-orang munafiq, sebagaimana sabda Beliau saw. :
“Barang siapa yang mati dan belum berperang dan belum membisikkan hatinya untuk
berperang, ia mati di atas salah satu cabang kemunafikan.” Muslim

“Aku diutus dengan pedang menjelang hari qiyamat sehingga Allah diibadahi sendirian dan tidak ada sekutu bagiNya, dan dijadikan rizkiku di bawah naungan tombakku, dan dijadikan kehinaan bagi orang yang menyelisihi perintahku, dan barang siapa yang menyerupai sebuah kaum maka dia dari golongan mereka…” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Shohih.

“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara al-‘ienah, mengikuti ekor-ekor sapi, rela dengan pertanian dan kalian meninggalkan jihad Allah pasti menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan di angkat dari kalian sampai kalian kembali kepada dien kalian.”
Abu Dawud dengan isnaad hasan dan Syaikh Syakir mengatakan; shohih.

Apakah sikap Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu terhadap orang-orang murtad dan terhadap pasukan Usamah Radhiyallahu ‘anhu merupakan sikap fanatik yang dibenci atau teguh pendirian?! Ketika beliau mengatakan: “Demi Alloh! Seandainya mereka tidak menunaikan kepadaku ‘inaaq (seekor kambing betina sebagai zakat ternak-pent.) dan dalam riwayat lain ‘iqool (zakat unta dan kambing-pent.) yang pernah mereka tunaikan kepada Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pasti aku perangi mereka lantaran mereka tidak menunaikannya ….” Al-Bukhoriy.

Dan ketika beliau berkata: “Demi (dzat) yang tidak ada ilaah selainNya, seandainya anjing-anjing membawa lari kaki-kaki istri-istri Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam aku tidak akan menarik kembali pasukan Usamah yang telah disiapkan oleh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan tidak akan aku turunkan bendera yang telah ditegakkan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .” Seandainya terjadi pada kalian apa yang telah terjadi pada pada beliau maka apakah kalian akan tetap tegus sebagaimana beliau ataukah “setiap zaman itu mempunyai rijaal (pelaku-pelakunya sendiri)?” apakah hukum jahiliyah yang kalian kehendaki sedangkan nas-nas kalian selewengkan?!

Bukankah Islam itu: kamu serahkan ketundukanmu kepada Robbul ‘Alamiin!? Dialah yang menentukan kemaslahatan, bukan kamu, demi Allah alangkah baiknya Roofi’ Ibnu Khojiij, seorang sahabat yang mempunyai pandangan yang tajam ketika beliau mengatakan: “…. Suatu hari datang kepada kami seorang dari pamanku lalu dia mengatakan: “Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang sesuatu yang bermanfaat bagi kami, dan ketaatan kepada Allah dan RasulNya itu lebih bermanfaat bagi kami, kami dilarang muhaaqolah pada (hasil) bumi….” Al-Muhaaqolah adalah jual beli tanaman sebelum ia layak (dipanen).

Dan alangkah bijaksananya sebuah kalimat -seandainya kita memahaminya- yang mengatakan: “Sesungguhnya beban-beban Qu’uud (duduk) dari jihad yang berupa kerugian dan darah itu berlipat ganda dari pada beban-beban melaksanakan jihad.”

Dengan kata lain, ada rahasia dan hikmah yang besar pada firman Allah SWT yang memerintahkan puasa sama persis redaksinya dengan firman Allah SWT yang memerintahkan jihad:
“Telah diwajibkan kepada kalian berperang.”
“Telah diwajibkan kepada kalian puasa.”

Maka apakah kita ingin beriman kepada sebagian isi Al-Qur’an dan ingkar kepada sebagian yang lain ?

Wallahu’alam bis showab!


Sumber : gurobabersatu.blogspot.com

Ketika Muslimah Ditinggal Suami Pergi Berjihad

Sesungguhnya tidak ada yang tak sepakat di antara para ulama’ bahwa ibadah jihad adalah ibadah yang sangat berat, dia adalah ibadah yang paling tinggi nilainya dalam Islam , untuk itu perlu keseriusan dan kesabaran dalam menjalankan ibadah ini. Apalagi menjadi seorang istri mujahid, tidak gampang, tidak mudah, antara banyaknya kebaikan yang ia terima dan tanggungjawab yang harus dipikul… itulah seni bersuamikan seorang mujahid…
Permasalahan yang pokok untuk menjadi istri seorang mujahid adalah bila suami bepergian menunaikan kewajiban ibadah jihad sebagai komitmen terhadap tuntunan Rosululloh shollallhu ‘alaihi wasallam .
Di sana ada beberapa akhlak untuk istri-istri yang ditinggal suaminya pergi berjihad, atau ketika suami diuji oleh Allah berlari-lari menjauh dari kejaran musuh Allah yang selalu tidak rela terhadap seorang mukmin yang selalu komitmen dalam perjalanan untuk mencari ridho Allah, maka inilah akhlak-akhlak sederhana semoga membantu para mujahidah yang sepanjang kurun dan sampai akan datang tidak akan berhenti untuk melahirkan para mujaid yang berarti, seperti syekh Abdulloh Azzam, Ibnu Khottob, Yahya Ayyas dan lainnya .....
Adapun akhlaq-akhlaq tersebut adalah :
1. Akhlaq terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala
2. Akhlaq terhadap anak didiknya
3. Akhlaq terhadap suami sebelum bepergian
4. Akhlaq terhadap tetangga
5. Akhlaq terhadap orang tua
6. Akhlaq terhadap mertua
7. Akhlaq terhadap Jama’ah
8. Akhlaq terhadap sesama kaum muslimin
9. Akhlaq ketika suami datang dari berjihad
1 - Akhlaq terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Seorang Akhwat yang ditinggal suaminya berjihad hendaklah ia berakhlaq sebagai berikut :
» Banyak berdoa untuk suaminya karena doa seorang dalam keadaan ghaib (tidak kelihatan) sangat banyak dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
» Ikhlash dengan perginya suami ke medan tempur, ikhlash karena Allah Subhanahu wa Ta’ala , dengan menyadari, sesungguhnya semua amal akan menjadi sia- sia bila tidak ada dua syarat pokok : Pertama : Ikhlas Kedua : Sesuai dengan tuntunan Allah dan Rosul-Nya… Ibadah jihad ini sesuai dengan tuntunan Allah dan rosul-Nya, maka diperlukan syarat ikhlash.
» Bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berkata Ibnu Qoyyim : “Sesungguhnya tawakkal itu ada dua pertama bertawakkal yang disengaja dan kedua bertawakkal karena keterpaksaan.” Bertawakkal yang disengaja lebih utama daripada bertawakkal karena keterpaksaan. Contoh : Seorang yang bertawakkal dengan terpaksa, ketika ia mendapat musibah banjir kematian… kemudian ia bertawakkal, maka tawakkalnya terpaksa karena ada musibah yang memaksa ia bertawakkal, namun di sana ada seorang yang bertawakkal dengan sengaja… karena ia mengetahui resiko-resiko akibat yang ia kerjakan. Seorang berda’wah dan berjihad ia sudah menyadari bahwa resikonya mati syahid… maka ia kerjakan ibadah tadi. Inilah yang lebih afdhol.
Sebagaimana bertawakkal, begitu pula bersabar. Ibnu Qoyyim membaginya dengan dua sebagaimana diatas tadi. Ciri-ciri seorang yang bersabar bila ditinggal suaminya ;
» Tidak banyak mengeluh dengan ditinggalnya suami, baik mengeluh kepada akhwat atau yang lainnya
» Tidak kecewa akan keberangkatan suaminya dengan menyadari bahwa ini adalah pilihan untuk akherat kelak
» Tidak menyalahkan orang lain atas keberangkatan suami ke medan perang karena menyadari bahwa resiko ini akan berbuah di akherat nanti.
2-Akhlaq terhadap anak didiknya :
Anak adalah amanah Allah yang diberikan kita semua, seorang istri yang mempunyai anak momongan dan ditinggal suaminya berjihad hendaklah ia berakhlaq sebagai berikut ;
» Mendidiknya dalam naungan Al Qur’an dan As Sunnah
» Mengawasi anak dalam bergaul sesama mereka.
» Kalau dahulu ada abinya yang mengawasi, kini ia harus berekstra untuk lebih diawasi. Ada beberapa keluarga mujahid sementara ditinggal abi-nya pergi dan keadaan anaknya tak karuan.
» Kalau tak bisa mengantar sekolah. Jauh-jauh hari bisa di musyawarahkan dengan abi-nya, dan Insya Allah ikhwan yang lain akan memikirkan hal ini, kecuali ada hal hal yang imigrensi.
3-Akhlaq terhadap suami sebelum bepergian ;
» Menyiapkan segala keperluan suami saat mau bepergian baik pakaian, celana… dll
» Melunasi seluruh tanggungan, hutang piutang suami bila ada, karena dalam sebuah hadist yang artinya : “Seluruh amalan seorang syahid diterima oleh Allah kecuali hutang.”
» Berpesan kepada suami, agar membuat surat wasiat sebelum berangkat, karena mati itu tidak menentu… wasiat untuk keluarga… wasiat untuk istri, wasiat untuk anak, untuk Jama’ah, wasiat untuk segenap ummat Islam
» Mendoakan suami mendapat ridho Allah
» memberikan spirit, mendorong agar teguh dalam komitmen terhadap Islam.
4. Akhlaq terhadap tetangga :
Seorang tidak mungkin hidup menyendiri, itulah fithrah dari Allah. Hidup dengan tetangga, sebaiknya berakhlaq sebagai berikut:
» Memberikan hak tetangga sesuai dengan porsinya
» Bila tetangga seorang kafir harus hati-hati menyimpan rahasia kepergian suami
» Bila tetangga seorang muslim taat, diceritakan dengan kalimat yang umum, dengan tujuan berda’wah semoga suaminya bisa berangkat
» Disarankan untuk tidak terlalu mendetel menceritakan kepada anak, karena anak akan cepat bersosialisasi dengan tetangga sehingga tetangga tahu kepergian suami dari anak
» Tidak sering berintraksi dengan tetangga walaupun ia seorang muslim karena akan cenderung ghibah, sehingga dikhawatirkan membuka rahasia suami.
5. Akhlaq terhadap orang tua :
Dengan orang tua dan keluarga sabaiknya berakhlaq sebagai berikut:
» Bila orang tua muslim yang taat apalagi multazim hendaknya diceritakan apa adanya kecuali tehadap ibu, karena ibu jarang yang bisa memahami akan aktifitas suami
» Bila seorang yang belum mengerti, diceritakan dengan kalimat yang global
» Memohon doa dari orang tua semoga cepat pulang dan selamat
6. Akhlaq terhadap mertua :
» Bila mertua orang yang mengerti, diceritakan apa adanya dan tidak terlalu mendetail
» Mengajak anak anak untuk kunjung ke mertua dan tidak berlama -lama, karena dirumah mertua sudah dipastikan ketemu ipar-ipar, sedang sabda baginda rosululloh yang artinya : “Ipar itu membuat mati.”
» Bila ditanya tentang khabar suami, dijawab seperlunya, tidak menceritakan berita sedih tentang suami, salah satu cobaan yang berat bila suami syahid, ini mempunyai adab sendiri untuk meceritakan hal ini, dan jama’ah yang akan memahamkan berita ini.
7. Akhlaq terhadap Jama’ah:
BerJama’ah atau menggabungkan diri dengan sebuah Jama’ah apalagi Jama’ah jihad bukan berarti ta’ashub dengan jama’ah tadi. Sseorang istri jauh jauh sudah memahami aktifitas suami apalagi lembaga yang ikut mengatur rotasi ibadah jihad ini. Untuk itu seorang mujahidah dalam berakhlaq dengan sebuah jama’ah hendaklah berperangai sebagai berikut:
» Berhusnuzhon terhadap Jama’ah, kepergian suami semata-mata karena untuk meringankan beban dalam menyeleseikan problematika ummat yang paling besar adalah “Cinta dunia dan takut mati.”
» Tidak sering-sering menanyakan akan kepulangan suami. Insya Allah Jama’ah sudah mempunyai standar dalam merotasikan ibadah ini. Minimal empat atau enam bulan. Sesuai dengan kejadian pada masa umar rodhiyallahu ‘anhu, ada seoranag wanita muslimah yang di tinggal suaminya berjihad dan tidak pulang-pulang, maka Umar bertanya kepada muslimah tadi : “Sebenarnya… berapa lama seorang muslimah kuat ditinggal suaminya ?” Jawab wanita tadi : “Empat bulan.” ( Ini ketika jihad fardhu kifayah. Akan tetapi ketika fardhu ‘ain maka tidak ada batasnya sampai hokum jihad itu berubah menjadi fardhu kifayah ).
» Tidak menerima informasi kecuali dari Jama’ah atau ikhwan yang ditugasi dalam menyampaikan informasi, sehingga tidak menyesal di kemudian hari. Sesungguhnya salah satu problem dalam Jama’ah ini kurang teraturnya lalu-lintas informasi sehingga banyak bias dari informasi yang benar atau banyak tafsiran-tafsiran yang akhirnya menimbulkan kesalah-pahaman sesama keluarga ikhwan.
» Tidak menyalahkan Jama’ah bila suami mengalami ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
» Tidak terlalu membanggakan suami dengan kepergiannya ke medan perang (dengan mengumbar cerita sesama akhwat).
» Menghadiri pertemuan ummahat bila tidak memberatkan, karena dengan tatap muka sesama akan menjadi perekat Jama’ah.
8. Akhlaq terhadap sesama kaum muslimin :
Terhadap segenap kaum muslimin hendaklah berakhlaq sebagai berikut:
» Peduli akan ummat. Dengan selalu membaca berita tentang tertindasnya dhuafa’ul muslimin ( kaum muslimin yang lemah ) di penjuru dunia
» Mendukung segala aktifitas ummat dalam tahridhuljihad (program mengumandangkan jihad).
» Membenci musuh musuh Islam dan muslimin dengan tidak membeli prodak- prodak musuh-musuh Allah terutama Yahudi dam Amerika.
» Berdoa untuk ummat Islam yang tertindas.
9. Akhlaq ketika suami datang dari berjihad :
Setelah lama ditinggal, maka seorang istri mujahidah hendaklah dalam menjemput kedatangan suami mempunyai akhlaq sebagai berikut:
» Menaburkan senyum pertama, sebagai ungkapan rindu berat karena lama ditinggal.
» Menuangkan segala keluh kesah dihadapan suami tanpa berlebihan
» Menceritakan kepada anak-anak bahwa abi-nya baru dari jihad agar di kemudian hari anak ketularan senang berjuang di jalan Allah.
» Mendorong suami untuk lebih semangat lagi dalam urusan jihad .
» Mengajak suami untuk bekerja keras mencari nafkah guna membiayai jihad yang akan datang. Sebagaimana para mujahidin Afghanistan. Bila dalam satu keluarga ada empat maka digulir yang dua berangkat yang lainnya mencari nafkah, dengan waktu minimal empat bulan. Inilah rotasi yang indah di kehidupan mujahidin…
» Senantisa berdoa semoga suaminya tetap istiqomah karena tidak sedikit suami yang datang dari jihad malah tidak aktif lagi karena dikecewakan oleh personal anggota Jama’ah. Dengan menyadari bahwa ukuran sebuah Jama’ah bukan diukur oleh personal yang ada, namun konsepnya apakah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rosululloh shollallhu ‘alaihi wasallam.
Demikianlah sekilas serpihan dari untaian akhlaq muslimah, mujahidah, multazimah terhadap ajakan Allah dan Rosul-Nya. Khususnya ibadah jihad ini.
Kepada ummahat yang ditinggal suaminya… Inilah indahnya bersuamikan seorang mujahid…
Kepada ummahat yang suaminya belum berangkat… akan lebih indah kehidupan berumah tangga bila suami berangkat. Karena hikmah dari indahnya perjalanan ini bahwa sangat tidak enak bila suami selalu berdampingan terus, bila ditinggal, maka akan menumbuhkan kehidupan yang baru dan menambah kesetiaan terhadap suami.
Untuk akhwat yang belum menikah… apapun kekurangan mujahidin maka dia masih mempunyai nilai plus dibanding yang lainnya, ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An nisa’ dan Sabda Rosululloh bahwa, sebaik -baik ibadah setelah beriman kepada Allah adalah berjihad di jalan Allah. Indah nya hidup bersama mujahid… ketika harus bersusah payah dalam mencari ridho Allah…
Indahnya hidup bersama mujahid… ketika ia hidup dalam naungan Al Qur’an dan As Sunnah…
Indahnya bersuamikan seorang mujahid… ketika ia harus mempertaruhkan segala kehidupan dunia untuk kehidupan akherat kelak.
Hiduplah semau kamu karena itu akan engkau tinggalkan
Cintailah semua yang engkau cintai…
Ingatlah semua itu akan berpisah…
Berbuatlah apa saja yang ingin anda berbuat…
Ingatlah semua itu akan ada balasannya…
Wallahu ‘Alam Bisshowab