31 Oktober 2008

Prinsip Jihad...syaikh Yusuf bin Sholih Al 'Uyairi rahimahullah...bagian 4

Rambu ke empat:
Jihad tidak tergantung dengan hasil pertempuran

Di antara musibah yang merusak keyakinan banyak umat Islam adalah mengkaitkan jihad dengan pertem-puran, artinya jika kita menang dalam pertempuran tersebut berarti prinsip dan landasan jihad kita benar, tapi jika kita mengalami kekalahan berarti prinsip dan manhaj kita keliru.

Keyakinan seperti ini tentu saja batil, baik secara akal maupun syar‘i. Keyakinan ini lahir dari lemahnya kepercayaan diri, minimnya iman dan ketidak mampuan untuk bersabar dan mempertahankan kesabaran tersebut.

Mengapa secara akal batil? Karena tidak ada hubungan baik menurut pendapat orang dan akal antara prinsip dan hasil yang dicapai, sehingga kegagalan hasil sebuah perjuangan tidak bisa menunjukkan batil tidaknya suatu prinsip atau manhaj.

Adapun kebatilannya secara syar‘i, ditunjukan oleh sebuah hadits Nabi SAW di dalam Shohih Bukhori Muslim bahwa beliau bersabda:
(عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ وَالنَّبِيَّانِ يَمُرُّوْنَ مَعَهُمُ الرَّهْطُ وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ)
“Ditampakkan kepadaku umat-umat manusia, ada nabi yang lewat hanya dengan beberapa kelompok orang, bahkan ada nabi yang tidak membawa pengikut sama sekali.”

Lihat, nabi yang tidak membawa pengikut sama sekali, ia datang tanpa membawa hasil sedikitpun dari dak-wahnya. Tidak adanya seorangpun yang masuk Islam bersamanya tentu tidak menunjukkan bahwa dakwah yang ia emban itu batil atau salah –Mahatinggi Alloh dari itu—ketika ia diutus pada waktu dan tempat yang sudah sesuai. Keyakinan kalau berarti dakwah Nabi ini batil tidaklah diyakini selain oleh orang zindiq.

Dalam pentas sejarah, kita banyak memiliki contoh kekalahan, sampai-sampai seorang muslim akan menganggap kekalahan itu menjadi-kan Islam tidak akan tegak kembali. Yang paling dahsyat adalah kekalahan kaum muslimin ketika melawan bangsa Tartar di awal tahun 656 H ketika mereka menyerang Irak dan Syam. Di Irak saja, mereka membu-nuh lebih dari satu juta orang dalam tempo 40 hari, berarti satu hari mereka rata-rata membunuh 25.000 orang. Kerusakan yang mereka timbulkan kian hari kian merajalela, mereka merangsek ke negeri-negeri Islam lainnya dan berhasil meme-nangkan setiap peperangan melawan kaum muslimin.

Ketika Alloh telah menyaring kaum muslimin dan kaum muslimin-pun mulai sadar untuk mematuhi Alloh, pasukan Tartar kembali bertem-pur melawan kaum muslimin di peperangan ‘Ain Jalut, akhirnya Tartar mengalami kekalahan terburuk walau-pun sebelumnya mereka selalu meme-nangkan setiap peperangan. Pada peperangan ‘Ain Jalut ini bisa dipastikan pasukan Tartar lebih kuat daripada ketika awal mula datang, sedangkan kaum muslimin jauh lebih lemah dibandingkan sebelum bangsa Tartar datang ke Baghdad.

Kondisi yang sama terjadi ketika orang-orang Qoromithoh menyerang Irak dan Hijaz di awal abad ketiga hijriyah.

Sebelum semua itu, di Uhud pun tidak jauh berbeda. Ketika perang Uhud terjadi, kaum muslimin kalah menghadapi orang kafir. Setelah itu pada perang Ahzab mereka lagi-lagi ditimpa kesusahan dan kesempitan serta ditimpa kegoncangan. Setelah lewat beberapa waktu, barulah mereka berhasil memenangkan pepe-rangan-peperangan setelahnya, pun-caknya adalah ketika Fathu Mekkah.

Dari penjelasan ini, berarti menggantungkan jihad dengan per-tempuran termasuk hal yang bisa melemahkan moral, dan merupakan penyebab terbesar lemahnya kaum muslimin hari ini. Sebab, baik dulu maupun sekarang, kita tidak pernah memerangi musuh atas dasar jumlah dan persenjataan yang banyak. Lagi pula, kita tidak mungkin akan mengukur peperangan yang kita lakukan atas ukuran-ukuran materi. Yang penting, kalau kita sudah memaksimalkan diri dalam melakukan I‘dad (persiapan, latihan) tanggungan kita sudah selesai walaupun ketika nanti kita berperang kita mengalami kekalahan.

Jadi, menggantungkan kemena-ngan Islam dengan peperangan saja akan mengakibatkan sikap apatis dan meninggalkan jihad hanya lantaran kekalahan tersebut. Kita benar-benar harus mengerti bahwa kita tidak pernah berperang atas dasar jumlah dan perlengkapan yang banyak.
Bisa saja suatu ketika nanti kita banyak dan lebih berposisi di atas angin daripada musuh kita, tetapi kita belum memenuhi syarat standar keimanan untuk meraih kemenangan, sehingga Alloh menimpakan kekalahan dalam rangka tamhish (penyaringan), supaya jiwa kaum muslimin menjadi lebih suci dan barisan mereka tersaring.

Nah, ketika sebuah peperangan kita ukur dengan ukuran materi dan kita menggantungkan harapan kita dengannya, maka ketika perang itu kalah jiwa kita akan menjadi lemah, tekad menjadi kendur dan akhirnya jihadpun ditinggalkan.

Yang benar adalah kita berjihad karena jihad itu ibadah yang wajib dilakukan, tidak peduli apakah kita akan kalah ataukah menang.

Terakhir sebelum mengakhiri pembahasan bagian ini, saya merasa perlu menyampaikan sebuah perkara yang penting, saya khawatir dari semua penjelasan saya tadi orang memahami diri saya meremehkan peperangan antara Islam versus kekuatan kufur internasional yang terjadi di Afghanistan. Tidak, sekali kali tidak. Kita lihat saja nanti apa yang terjadi pasca pertempuran. Kalau kita menang berarti kita berhasil membebaskan leher kaum muslimin dari belenggu perbudakan Amerika dan barat. Tapi jika Alloh takdirkan kita kalah, sesungguhnya seorang muslim yang tulus keislamannya di manapun ia berada di dunia ini cita-cita adalah lebih baik mati sebelum semua ini terjadi, lebih baik ia menjadi makhluk yang tak digubris dan dilupakan orang, hal ini mengingat bagaimana nanti kekejaman Amerika yang bakal dialami kaum muslimin di negerinya sendiri. Oleh karena itu, peperangan kita melawan Amerika di Afghanistan adalah peperangan sa-ngat-sangat menentukan. Kita harus mengkonsentrasikan semua peralatan dan kemampuan agar kita bisa meme-nangkannya dengan izin Alloh Ta‘ala.

Yang kami katakan ini tidak ada sangkut pautnya dengan masalah menggantungkan jihad atau arti sebuah kemenangan dengan pepera-ngan. Karena kalau dalam perang ini kita nanti kalah, orang yang ikut dalam pertempuran itu mundur karena pemahaman seperti ini, dan syiar jihadpun akan melemah, perasaan lemah itu bisa terungkap dari perkataan dan perbuatannya, atau ia sembunyikan dalam batinya sendiri. Sesungguhnya Alloh menintahkan kebenaran dan Dia-lah Dzat yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

Prinsip Jihad...syaikh Yusuf bin Sholih Al 'Uyairi rahimahullah...bagian 3

RAMBU KE – TIGA:
JIHAD TIDAK BERGANTUNG DENGAN NEGERI


Setelah kami sebutkan dalil-dalil pada dua pembahasan di atas yang menegaskan bahwa jihad tetap sesuai untuk semua zaman dan bahwa tidak ada satu zamanpun sejak Alloh syariatkan jihad kepada Nabi-Nya Muhammad SAW hingga menjelang hari kiamat kecuali pasti ada panji jihad fi sabilillah yang ditegakkan, akan semakin lengkap jika di sini kami sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa jihad tidak bergantung dengan satu negeri saja, asal sebab syar‘inya ada dan penghalang (mani‘)-nya tidak ada maka jihad bisa dilakukan.

Di antara kekeliruan memahami jihad sehingga pemahanam itu menyimpang adalah menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, ketika di bumi tersebut jihad telah runtuh atau mengalami kehancuran maka secara otomatis akan mengakibatkan ibadah jihad ditinggalkan, ini akibat menggunakan cara memahami jihad yang keliru seperti ini, selanjutnya pemahaman itu akan mengkaburkan arti jihad, atau orang yang memiliki pemahaman tersebut akan menga-takan jihad belum waktunya dilaku-kan.

Sebelum kita lebih dalam menyelami apa itu ibadah jihad, ada satu pemahaman agung yang mesti kita tancapkan dengan kokoh dalam rangka menggembleng diri dengan ibadah yang satu ini, yaitu bahwa jihad ini bersifat ‘alami (global, mendunia), tidak dibatasi oleh garis negara dan sekat-sekat tertentu.

Harus dipahami juga bahwa orang Islamlah yang memerlukan ibadah jihad ini jika ia konsisten dalam menyampaikan agama Alloh Ta‘ala dan menyeru manusia untuk kembali kepada robbnya. Seperti yang dilakukan para shahabat –Radhiyallohu ‘Anhum— ketika mereka merambah berbagai pelosok dunia sejak dari ujung barat hingga ujung timur. Mereka membawa risalah yang isinya seperti yang diungkapkan seorang sahabat bernama Rib‘i bin ‘Amir ketika ia ditanya panglima Rustum dari Romawi:
“Apa yang mendorong kalian datang ke mari?”
Rib‘i menjawab:
“Allohlah yang mengirimkan kami, Allohlah yang menakdirkan kami datang dalam rangka membebaskan orang-orang yang Dia kehendaki dari peribadatan kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Alloh saja, membebaskan mereka dari sempitnya dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam, kami dikirim Alloh dengan mengemban agama-Nya untuk kami ajak manusia memeluknya, jika ia menerima maka kamipun terima dia, siapa yang tak mau terima kami perangi dia sampai kapanpun hingga kami menjumpai janji Alloh.”
“Apa itu janji Alloh?” tanya Rustum, “Surga bagi yang mati ketika meme-rangi orang-orang yang membang-kang masuk Islam, dan kemenangan bagi yang masih hidup.” Jawab Rib‘i.
Jadi, para shahabat datang dengan membawa pedang sekaligus Al-Qur’an untuk menaklukkan negeri-negeri di dunia. Karena seorang muslim harus selalu sadar kalau dirinya mengemban risalah Nabi Mu-hammad, maka ia juga harus paham bahwa jihad ini cocok untuk segala zaman dan tempat.

Maksud kami cocok untuk segala tempat, bukan berarti seorang muslim itu melulu berfikir untuk menyulut api peperangan di mana mana, bukan seperti itu maksudnya. Maksud kami cocok untuk segala tempat adalah tempat yang memenuhi syarat dan tidak ada penghalang untuk ditegakkan jihad di sana. Sementara itu, syarat dan penghalang (atau dalam istilah syar‘inya adalah mani‘, penerj.) ini memiliki kaidah-kaidah syar‘i yang tidak akan kita bahas di sini, barangkali akan kita sendirikan pembahasannya nanti.

Intinya, yakin bahwa jihad ini akan terus berlangsung hingga menjelang hari kiamat dan bahwa jihad cocok untuk segala zaman –yang sudah kita bicarakan pada bagian pertama—akan membuat kita yakin bahwa jihad pada hari ini ada di kebanyakan negara di dunia. Maknanya, jihad tidak tergantung dengan negeri di mana ia ada, tetapi tergantung dengan syarat-syaratnya, baik syarat itu berupa sebab dari disyariatkannya jihad atau syarat berupa teknis-teknis yang bisa mendukung operasi jihad. Jihad juga tergantung dengan mani‘-nya ada atau tidak. Maka kapan saja sebab ada dan mani‘-nya tidak ada, maka jihad itu pasti akan membuahkan hasil positif. Dan, tidak mungkin di dunia ini –di negeri manapun—tidak ada sama sekali sebab yang menjadikan jihad disyariatkan dan tidak mungkin di dunia ini penopang-penopang teknis terlaksananya jihad tidak ada sama sekali.

Memahami jihad dari titik tolak ini akan menjadikan seorang muslim bebas dalam menerapkan ibadah jihad, ia tidak akan terpancang dengan negara tertentu, ia tidak akan menggantungkan jihad dengan sebuah negara, ia hanya menggantungkan jihad dengan terpenuhinya syarat dan tidak adanya mani‘, kapan syaratnya ada dan mani‘ nya tidak ada berarti tempat itu cocok untuk menggulirkan jihad.

Hal ini akan semakin jelas kalau kita buka kembali lembaran sejarah.

Dulu, di awal-awal Islam kaum muslimin harus rugi dengan kehi-langan tempat tinggal, kehilangan negeri dan hartanya –yaitu Mekkah—. Meskipun demikian, kaum muslimin tidak kemudian merasa bahwa Islam hanya akan berkembang dari negeri suci tersebut lantaran di sanalah pusat pendukung kemenangan Islam, di antaranya karena Kiblat bangsa arab kala itu adalah Mekkah, Mekkahlah negeri yang disegani bangsa Arab, Mekkahlah negeri terpandang dan penduduknya terkenal. Akan tetapi, Nabi SAW atas perintah Alloh harus keluar dari negeri tersebut untuk me-nyebarkan Islam bukan dari negeri tersebut. Tak pernah Nabi SAW berfikir untuk berhijrah, saat itu beliau berencana untuk pergi ke Yamamah atau Hijir, beliau berdakwah menawarkan dirinya kepada penduduk Thaif (yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Mekkah, penerj.) agar dakwah Islam bisa tersebar dari sana, tapi ternyata Alloh mewahyukan kepada beliau untuk hijrah ke Tayibah (nama lain Madinah, penerj.), maka berhij-rahlah beliau ke sana dan membangun pondasi, membangun penopang jihad dan pertahanan di sana. Mulailah beliau berjuang di negeri hijrah yang beliau tempati, seolah-olah itulah negeri kelahiran beliau. Akhirnya, Islampun menyebar dari selain jengkal tanah yang paling dicintai Alloh dan Nabi-Nya SAW. Inilah kata-kata Rosululloh SAW ketika beliau keluar dari Mekkah dengan berjalan kaki menuju gua Tsur seraya memandang ke arah Mekkah –seperti diriwayatkan Qurthubi dalam buku Tafsir-nya dari Ibnu ‘Abbas ra—: “Ya Alloh…, wahai Mekkah, sungguh engkau adalah tanah yang paling dicintai Alloh, kalau bukan karena orang-orang musyrik yang mendudukimu itu mengusirku, aku tidak akan pernah keluar darimu.”
Setelah itu turunlah ayat:
{وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً{
“Dan betapa banyaknya negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari (penduduk) negerimu(Muhammad),” [1]
(Disebutkan oleh Ats-Tsa‘labi dan ini adalah hadits shohih.)

Tirmizi juga meriwayatkan, demikian juga Al-Hakim dan Ibnu Hibban serta yang lain, bahwa Nabi SAW berujar kepada negeri Mekkah: “Sungguh, engkau adalah negeri terbaik, engkau negeri yang paling kucintai, kalau bukan karena kaumku mengusirku darimu, aku tidak akan tinggal di negeri selainmu.” Dalam riwayat lain: “Demi Alloh, aku tahu bahwa engkau adalah bumi Alloh terbaik dan paling disukai Alloh, kalau bukan karena pendudukmu mengusir-ku darimu, aku tidak akan keluar.”

Demikianlah, beliau tidak mengi-kat dirinya dengan negeri, beliau me-ngikat dirinya dengan syiar-syiar Islam, beliau siapkan tempat dan kondisi di manapun asal bisa me-nerapkan syiar tersebut. Seperti inilah karakter Nabi SAW baik dalam dakwah maupun jihad serta syiar Islam lain-nya.

Sepeninggal beliau, para shaha-bat mengemban panji yang beliau wariskan, mereka mengerjakan seper-ti yang dikerjakan oleh pimpinan mereka. Maka para shahabat merambah ke berbagai penjuru dunia, mereka keluar dari Madinah bukan untuk menyelamatkan agamanya seperti tatkala mereka keluar dari Mekkah, mereka keluar dari negeri paling suci setelah Mekkah itu dalam rangka menyebarkan agama Islam dan menegakkan syiar jihad di belahan bumi timur dan barat.

Ini dijelaskan oleh sebuah hadits riwayat Imam Malik dalam kitab Muwatho’­-nya, beliau menuturkan bahwa Abu `d-Darda’ ra menulis surat kepada Salman Al-Farisi ra untuk bergabung dengan beliau di Madinah sebagai tanah suci, maka Salman membalas dengan kata-kata: “Tanah (negeri) bukan yang menjadikan seorang menjadi suci, yang menja-dikan seseorang suci adalah amalan-nya.”

Jadi, para shahabat tidak meng-gantungkan jihad dengan Mekkah atau Madinah, tidak juga dengan Baitul Maqdis (Palestina), tapi mereka menganggap jihad sebagai ibadah yang mereka beribadah kepada Alloh dengannya di manapun mereka bera-da asal sebab-sebab untuk melaksa-nakan ibadah itu ada.

Seandainya kaum muslimin menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, tentu jihad ini sudah berhenti sejak lama. Karena, kaum muslimin dalam pentas sejarah sudah sekian kali kehilangan kontrol kekuasaan di tempat-tempat yang mereka kuasai sebelumnya.

Menggantungkan jihad demi Masjidil Aqsha saja misalnya, akan menjadikan jihad ini berhenti ketika kaum muslimin tidak mampu membebaskannya dari cengkeraman yahudi atau setelah mereka sudah berhasil membebaskannya. Kedua-duanya menihilkan manath (sebab) jihad satu-satunya sehingga jihadpun tak terlaksana. Ini menampakkan dengan jelas kesalahan orang yang mengatakan bahwa perseteruan antara kita dan yahudi disebabkan memperebutkan tanah. Sungguh tidak benar orang yang mengatakan ini. Pada hakikatnya, permusuhan kita dengan yahudi adalah permusuhan akidah, artinya seandainya kaum muslimin sudah berhasil membe-baskan seluruh negeri Islam dari cengkeraman yahudi, tentu kewajiban selanjutnya adalah memburu dan memerangi mereka hingga ke tengah negerinya sebagaimana dilakukan Nabi SAW dan para shahabat sepeninggal beliau.

Memahami bahwa jihad terkait dengan negeri tertentu adalah pemahaman yang keliru, dampaknya jihad akan berhenti manakala di negeri itu tidak ada jihad lagi. Pemahaman model seperti ini juga akan menihilkan syiar Islam lainnya ketika ia digantungkan kepada sebab-sebab yang tidak diizinkan Alloh.

Inilah yang mesti dimengerti oleh semua, khususnya kita sudah tahu bahwa jihad tidak akan mungkin berhenti di zaman kapanpun. Maka siapa yang menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, mau tidak mau ia akan mengatakan tidak ada lagi jihad ketika di negeri itu jihad sudah berhenti.

[1] (QS. Muhammad: 13)

Prinsip Jihad...syaikh Yusuf bin Sholih Al 'Uyairi rahimahullah...bagian 2

RAMBU kedua:
Jihad tidak BERGANTUNG dengan tokoh


Pemandangan sehari-hari yang kita saksikan sekarang ini adalah ketergantungan umat Islam dalam masalah jihad kepada orang atau tokoh tertentu.

Barangkali mereka tidak menga-takannya secara langsung, mungkin hanya terlihat dari sikapnya. Sebagai bukti, tak sedikit kaum muslimin akan mengatakan kepada Anda: “Agama Islam ini adalah agama Alloh, jika orang yang berkhidmad kepada agama-Nya meninggal Alloh akan ciptakan makhluk lain yang menjadi pelayan agama Islam yang akan membelanya.”

Sayangnya, ketika tiba giliran untuk merealisasikan kata-katanya ini dalam praktek nyata, kita tidak akan jumpai langkah kongkret dan berarti dari manhaj ini dalam kehidupan.

Siapa yang mau memperhatikan kondisi umat Islam hari ini dari sisi temperamen dan gaya berbicara pemeluknya, akan menjumpai sebuah kenyataan yang tidak bisa dianggap sebelah mata; ada orang-orang yang menggantungkan setiap hal kepada tokoh tertentu, bukan hanya dalam masalah jihad, bahkan dalam masalah dakwah, usaha memperbaiki masya-rakat, amar makruf nahi munkar, dan lain sebagainya.

Yang menjadi fokus kami dalam pembahasan ini adalah menegaskan bahwa jihad tidak bergantung dengan pimpinan atau tokoh-tokoh tertentu. Menggantungkan jihad dengan tokoh, baik itu komandan (qiyadah) ataupun mujahidin merupakan bahaya besar yang mengancam kekokohan akidah tentang syiar jihad dalam hati kaum muslimin di sepanjang zaman. Ini akan melemahkan keyakinan diri bahwa jihad akan tetap berlangsung dan relevan di setiap zaman. Bahkan, ini akan menjadi penghalang utama secara psikologis dan manhaj ketika seseorang hendak menapaki jalan jihad serta ingin mengkonsentrasikan diri terhadap syiar agama yang agung ini.

Alloh Ta‘ala telah mendidik shahabat Muhammad SAW untuk hanya bergantung kepada-Nya jua dan kepada agama-Nya. Alloh menerang-kan kepada mereka bahwa menggan-tungkan diri dengan tokoh adalah cara yang tidak benar, akan berdampak kepada tergantungnya perjuangan dengan orang tersebut sehingga bisa jadi perjuangan berhenti dengan meninggalnya seorang tokoh.

Alloh Ta‘ala melarang para shahabat –Radhiyallohu ‘Anhum— menggantungkan diri kepada tokoh-tokoh tertentu, belum pernah Alloh melarang orang lain seperti larangan ini kepada mereka, Alloh melarang shahabat menggantungkan syiar-syiar agama dengan makhluk terbaik yang pernah Alloh ciptakan, dialah Muhammad bin Abdulloh SAW.
Alloh melarang mereka bergantung dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, Alloh berfirman:
{وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُوْلٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِينْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللهَ شَيْئاً وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِيْنَ}
“Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul. Apakah ketika ia mening-gal atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang? siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan mem-beri balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” [1]

Ayat ini turun untuk mendidik shahabat –Ridhwanulloh ‘Alaihim—, melarang mereka untuk menggunakan methode (manhaj) yang rusak, yang bisa merusak ibadah; yaitu menggantungkan amal kepada orang tertentu.

Menggantungkan amal di sini bukan selalunya mempersekutukan Alloh dengan tokoh tersebut, bukan, karena ini bisa menjadi syirik kecil, bahkan bisa juga menjadi syirik besar; maksud kami menggantungkan amal dengan tokoh adalah ketika seorang muslim beranggapan bahwa ibadah yang ia lakukan, khususnya jihad, tidak akan menuai sukses, tidak akan mengalami kemajuan dan tidak akan mendapatkan hasil apapun kalau bukan karena Alloh menjadikan tokoh ini atau tokoh itu berada di barisan depan para pejuang yang lain. Inilah gambaran minimal yang Alloh larang untuk menjadikannya sebagai manhaj. Alloh telah melarang shahabat Rosululloh SAW memakai manhaj ini.

Perkataan para mufassirun (ahli tafsir) berikut ini akan semakin memperjelas apa yang kami maksud, akan menerangkan betapa bahayanya manhaj tersebut yang pasti akan berujung kepada ditinggalkannya agama, atau paling tidak usaha memperjuangkannya menjadi lemah.
Baiklah, Ibnu Katsir berkata menafsirkan ayat yang kami sebutkan di atas (Tafsir Ibnu Katsir: I/ 410), “Ketika perang Uhud, di kala sebagian kaum muslimin mundur dan sebagian lagi terbunuh, syetan berteriak: “Muhammad terbunuh!” Ketika itu seorang bernama Ibnu Qomi‘ah kembali ke barisan kaum musyrikin seraya mengatakan, “Aku berhasil membunuh Muhammad,” Padahal sebenarnya Rosululloh SAW hanya terkena pukulan pada bagian kepala sehingga beliau terluka. Hal ini mengguncangkan hati kebanyakan kaum muslimin kala itu dan mereka menganggap Rosululloh SAW sudah terbunuh. Mereka terlalu berlebihan membayangkan Nabi SAW, seperti kisah kebanyakan nabi yang diceritakan Alloh. Akhirnya, terjadilah kelemahan semangat, perasaan takut mati dan malas berperang. Saat itulah turun firman Alloh: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul...” maksudnya, Beliau pun sama dengan para rosul yang lain dalam mengemban risalah dan beliau juga bisa dibunuh. Ibnu Abi Najih menuturkan dari ayahnya bahwasanya ada seorang lelaki dari Muhajirin yang melewati seorang lelaki Anshor yang sedang berlumuran darah, ia berkata: “Hai fulan, tahukah kamu, Muhammad sudah terbunuh.” Orang Anshor itu menjawab, “Jika Muhammad terbu-nuh, ia telah menyampaikan risalah, maka berperanglah membela agama beliau yang sekarang kalian yakini.” Maka turunlah ayat: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul…” (Diriwayatkan oleh Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi dalam kitab Dala'ilun Nubuwwah). Kemudian Alloh berfir-man mengingkari kelemahan yang terjadi ketika itu: “Apakah ketika ia meninggal atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang?” artinya, kalian mundur ke belakang, “...siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur,” mereka adalah orang-orang yang berbuat taat kepada Alloh, berperang membela agama-Nya, mereka mengikuti rosul-rosul-Nya, baik ketika ia masih hidup atau sudah meninggal dunia. Demikian juga terdapat riwayat-riwayat yang bisa dipertanggung jawabkan keshahihannya di dalam Kitab-kitab hadits shohih, musnad dan Sunan serta buku Islam lain dari banyak jalur yang menunjukkan hal ini secara absolut, saya telah menyebutkan sebelumnya dalam dua Musnad Abu Bakar dan Umar –radhiyallohu ‘anhuma—, di sana disebutkan bahwa Abu Bakar As-Shiddiq ra membaca ayat di atas ketika Rosululloh SAW wafat. Bukhori berkata bahwa Aisyah ra mencerita-kan, “Abu Bakar ra datang menaiki kuda dari kediamannya di daerah Sanh, kemudian ia turun dari kudanya dan masuk ke masjid, ia tidak mengatakan apapun kepada manusia sampai masuk ke rumahku (Aisyah), ia mengusap Rosululloh SAW dalam keadaan jasad beliau tertutup kain yang berhias tinta, kemudian ia membuka wajah beliau, kemudian ia peluk dan kecup wajah beliau seraya menangis kemudian berkata: “Demi ayah dan ibuku; Demi Alloh, Alloh tidak akan mengumpulkan dua kematian pada dirimu, adapun kematian yang telah ditetapkan untuk-mu, engkau telah menjemputnya.”

Az-Zuhri berkata, Abu Salamah bercerita kepadaku dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Abu Bakar keluar, saat itu Umar berkhutbah di hadapan manusia, Abu Bakar berkata, “Duduklah wahai Umar.” Kemudian Abu Bakar berkata, “Amma ba‘du, barangsiapa beribadah kepada Muhammad, sesungguhnya beliau telah meninggal dunia, dan siapa yang beribadah kepada Alloh sesungguhnya Alloh Mahahidup dan tidak pernah mati. Alloh berfirman: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul. Apakah ketika ia meninggal, kalian berbalik ke belakang? siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Demi Alloh, saat itu orang-orang merasa ayat ini seolah baru diturunkan, yaitu ketika Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang membaca ayat tersebut, tidak ada satu orangpun tidak kude-ngar membacanya, Sa‘id bin Musay-yib menceritakan kepadaku bahwasa-nya ‘Umar berkata: “Demi Alloh aku baru tersadar setelah Abu Bakar membacakannya, akupun bercucuran keringat sampai-sampai kedua kakiku tak sanggup menyangga tubuhku dan akupun jatuh tersungkur.”

Abul Qosim At-Thobaroni berkata dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya ‘Ali mengata-kan ketika Rosululloh SAW masih hidup, “Apakah jika Muhammad meninggal atau terbunuh, kalian akan berbalik ke belakang...” Demi Alloh kami tidak akan mundur ke belakang setelah Alloh memberi kami hidayah, demi Alloh seandainya beliau wafat atau terbunuh aku benar-benar akan berperang membelanya sampai aku mati, demi Alloh aku adalah saudaranya, aku adalah walinya, aku adalah sepupunya, aku adalah ahli warisnya, siapakah yang lebih berhak membelanya selain aku?”

Sedangkan firman Alloh pada ayat selanjutnya:
{وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوْتَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ كِتَاباً مُؤَجَّلاً}
“Tidaklah satu jiwa meninggal kecuali atas izin Alloh, sebagai ketetapan yang sudah pasti.” [2] artinya, tidak ada seorangpun yang mati kecuali atas takdir Alloh sampai ia habiskan batas waktu yang Alloh tentukan untuknya, oleh karena itu Alloh berfirman: “…sebagai ketetapan yang sudah pasti.”

Sama seperti firman Alloh:
{وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلاَ يُنْقَصُ منِ ْعمُرُهِ ِإلاَّ فِي ِكِتَابٍ}
“Tidaklah orang yang berumur ditambah dan dikurangi umurnya kecuali sudah tercantum dalam Kitab (Lauhul Mahfudz).” [3]

Seperti juga firman Alloh:
{هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ طِيْنٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلاً وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ}
“Dialah yang telah menciptakan kamu dari tanah kemudian menentukan ajal, ajal pasti itu ada di sisi-Nya...” [4]

Ayat ini menjadi penyemangat bagi orang-orang yang ciut nyalinya sekaligus pendorong bagi mereka untuk berperang, karena maju ataupun mundur sama sekali tidak akan mengurangi atau menambah umurnya, sebagaimana diceritakan Ibnu Abi Hatim, Al-‘Abbas bin Yazid Al-‘Abdi berkata kepadaku, Aku mendengar Abu Mu‘awiyah bercerita dari Al-A`masy dari Hubaib bin Shohban ia berkata: Ada seorang dari kaum muslimin –yaitu Hujr bin ‘Adi— mengatakan: “Apa yang menjadikan kalian tidak bisa menyeberang ke tempat musuh melewati sungai Dajlah ini? “Tidaklah satu jiwa mati kecuali atas izin Alloh dengan ketetapan yang sudah pasti.” Kemudian ia nekat menyeberang sungai itu dengan kudanya, ketika melihat ia maju maka orangpun semuanya maju, ketika musuh melihat hal itu mereka mengatakan: “Orang gila...orang gila...” dan merekapun lari.” Sampai di sini perkataan Ibnu Katsir Rahimahulloh.

Penulis kitab Zadul Masir berkata ketika menafsirkan ayat ini:
“Alloh Ta‘ala berfirman, “Muhammad tak lain adalah seorang rosul ...”, Ibnu ‘Abbas berkata: Ketika perang Uhud syetan berteriak: Muhammad terbu-nuh! Maka sebagian kaum muslimin mengatakan, “Jika Muhammad terbunuh kita akan menyerah, mereka (kaum musyrikin) itu adalah keluarga dan saudara kita, seandainya Muhammad hidup tentu kita tidak akan kalah,” kemudian orang-orang itu memilih untuk lari dari perang maka turunlah ayat ini.
Adh-Dhohak berkata: Orang-orang munafik berkata, Muhammad telah terbunuh, kembalilah kalian kepada agama pertama kalian; maka turunlah ayat ini.
Qotadah berkata: Sebagian orang mengatakan, Seandainya ia nabi tentu ia tidak terbunuh.”

Penulis Fathul Qodir berkata (I/ 385) menafsirkan ayat ini:
“Muhammad tak lain adalah seorang rosul yang telah lewat para rosul sebelumnya...”
“Sebab turun ayat ini adalah sebagai berikut: Ketika Nabi SAW terluka di perang Uhud, syetan berteriak: Muhammad telah terbunuh! Mende-ngar itu sebagian kaum muslimin me-rasa putus harapan sampai ada yang mengatakan: Muhammad terbunuh, menyerah saja kita, merekapun saudara kita juga.

Sebagian lagi mengatakan: Kalau Muhammad itu rosul, ia tidak akan terbunuh.

Maka Alloh mematahkan persangkaan mereka ini dan mengkhabarkan bahwa beliau hanyalah seorang rosul yang sebelumnya telah lewat rosul-rosul, beliaupun akan berlalu sebagaimana mereka juga berlalu, jadi kalimat dalam firman Alloh: “...telah lewat para rosul sebelum beliau,” adalah kata sifat bagi Rosululloh, sedangkan kontek pembatasan kalimat dalam ayat tersebut adalah pembatasan yang bersifat khusus, karena seolah aneh bagi mereka kalau beliau bisa meninggal dunia, mereka menetapkan bagi beliau dua sifat yaitu sebagai pengemban risalah dan sifat bahwa beliau tidak bisa meninggal, maka Allohpun mementahkan anggapan mereka tersebut dengan menetapkan bahwa beliau adalah seorang rosul yang tidak sampai menyandang sifat tidak bisa meninggal dunia.

Ada juga yang berpendapat pembata-san dalam ayat ini bersifat pembata-san kebalikan, karena Ibnu Abbas membaca ayat di atas begini: "Qod Kholat min qoblu rusulun..." (“Para rosul sebelumnya telah berlalu...”). Setelah itu, Alloh mengingkari sikap mereka dengan berfirman: “Apakah kalau ia meninggal atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang.” maksudnya, bagaimana kalian meno-lak kembali dan meninggalkan agama yang ia bawa ketika ia meninggal atau terbunuh padahal kalian tahu bahwa para rosul sebelumnya telah berlalu sementara para pengikut mereka tetap konsisten dengan agamanya meskipun mereka kehilangan pimpi-nannya karena wafat atau terbunuh? Firman Alloh: “...barangsiapa berbalik ke belakang...” yakni mundur dari perang serta murtad dari Islam, maka ia tidak akan membahayakan Alloh sedikitpun, tapi ia membahayakan dirinya sendiri, “…dan Alloh pasti akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur,” yakni orang-orang yang bersabar, yang terus berperang dan mencari kesyahidan, karena dengan itu berarti mereka telah men-syukuri nikmat Alloh yang Dia berikan kepadanya yaitu nikmat agama Islam, dan siapa yang melaksanakan perintah-Nya berarti ia telah mensyu-kuri nikmat yang Alloh berikan kepa-danya.” Sampai di sini perkataan penulis Rahimahulloh.

Penulis kitab Shohibul ‘Ujab fi Bayaani `l-Asbaab berkata,
“Firman Alloh Ta‘ala: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul…” Thobari meriwayatkan melalui jalur Sa‘id bin Abi ‘Urubah dan jalur Ar-Robi‘ bin Anas keduanya menceri-takan, “Ketika kaum muslimin kehila-ngan Nabi SAW pada peristiwa Uhud, sebagian mengatakan: Kalau ia nabi tentu tidak akan terbunuh;

Sebagian lagi mengatakan: Terus berperanglah kalian seperti nabi kalian berperang sampai Alloh menangkan kalian atau kalian susul nabi kalian. Maka turunlah ayat ini. Robi` menambahkan: Ada seorang lelaki Muhajirin melewati seorang lelaki Anshor yang bersimbah darah, orang Muhajirin ini mengatakan: ‘Tidak tahukah kamu, Muhammad sudah terbunuh.’ Orang Anshor itu menjawab: ‘Kalaulah Muhammad ter-bunuh, beliau telah menyampaikan ri-salah; berperanglah kalian di atas agama yang beliau sampaikan.’Maka turunlah ayat ini.

Kemudian dari jalur Asbath dari As-Suddi: Diriwayatkan bahwa ketika pecah perang Uhud....dst (selanjutnya ia menyebutkan kisah seperti di atas), di antara isi kisahnya disebutkan bahwa saat itu tersebar berita Muhammad telah terbunuh, maka ada yang mengatakan: “Seandainya saja dari kita ada utusan kepada Abdulloh bin Ubay supaya ia meminta jaminan keamanan untuk kita dari Abu Sufyan, wahai manusia, kembalilah kepada kaum kalian sebelum kalian terbunuh.” Ketika itu, Anas bin Nadhr berkata, “Hai manusia, jika Muham-mad telah terbunuh, sesungguhnya robb Muhammad tidak bisa terbunuh, maka berperanglah kalian di atas agama yang telah kalian peluk.” Sementara itu, Rosululloh SAW pergi ke sebuah batu, sedikit demi sedikit kaum muslimin berkumpul ke tempat beliau, maka turunlah ayat tentang orang yang mengatakan bahwa Muhammad telah terbunuh tadi: “Muhammad tak lain adalah seorang rosul dst...”

Sedangkan dari jalur Ibnu Ishaq ia berkata, Al-Qosim bin Abdur Rohman bin Rofi‘ Al-Anshori –ia seorang lelaki dari Bani ‘Adi bin Najjar—menceri-takan kepadaku bahwasanya Anas bin Nadhr menghampiri beberapa orang Muhajirin dan Anshor yang angkat ta-ngan (pertanda menyerah), ia berka-ta: “Apa yang menjadikan kalian duduk-duduk saja?” Mereka mengata-kan: “Rosululloh SAW telah terbunuh.” “Kalau begitu, apalagi yang akan lakukan dalam hidup jika beliau sudah meninggal? Marilah kita mati seperti beliau mati,” kata Anas, lalu ia maju ke arah musuh dan terus berperang hingga terbunuh.” Sampai di sini perkataan penulis –Rahimahulloh—

Perkataan ahli tafsir mengenai sebab turun (asbabun nuzul) dan tafsir dari ayat ini terlalu panjang untuk disebutkan seluruhnya di sini, tetapi dari perkataan mereka yang sudah kami sebutkan di atas kita bisa simpulkan bahwa orang-orang yang menyertai Rosululloh SAW di Uhud dan mendengar berita terbunuhnya beliau saat itu terbagi ke dalam dua jalan (manhaj). Pertama, para pengikut manhaj yang tercela dan kedua pengikut manhaj yang terpuji. Pengikut manhaj tercela adalah mereka yang diingatkan Alloh dalam ayat tadi dan diingatkan akan bahaya manhaj yang mereka tempuh, yaitu menggantungkan amal dengan tokoh walaupun tokoh itu adalah Rosululloh SAW, para pengikut manhaj tercela inipun terbagi menjadi dua, satu kelompok patah semangat dalam berjuang, mereka ditimpa kelemahan dan keciutan nyali disebabkan peristi-wa dahsyat yang mereka alami sampai mereka berfikir untuk mencari selamat agar tidak terbunuh serta meminta jaminan keamanan dari orang-orang kafir; satu kelompok lagi adalah orang-orang yang kesesatannya lebih parah, mereka ini sampai meyakini keyakinan kufur dan menyatakannya terus terang, merekalah yang mengatakan bahwa kalau beliau nabi tentu tidak terbunuh, atau yang mengatakan kembali saja kalian kepada agama pertama kalian sebelum kalian nanti terbunuh.

Perkataan dua kelompok tercela seperti inilah yang hari banyak sekali digaungkan oleh banyak dari kaum muslimin, mereka menggembar-gemborkannya dalam artikel-artikel, majalah dan jaringan-jaringan in-formasi; “Kalau jihad yang dilakukan Taliban dan mujahidin arab itu benar, tentu mereka tidak menarik diri dari kota dan tidak akan kalah…” kata mereka. Sebagian lagi mengatakan, “Sebaiknya mujahidin Afghan itu meletakkan senjata saja, menyerah kepada pemerintahan mereka supaya kesusahan mereka berakhir.”

Lihat, ibarat petang dengan malam, tidak ada bedanya, sama saja antara mereka dengan kelompok yang kami kisahkan di atas. Kalau pada kasus perang Uhud, untuk mengang-gap agama Muhammad batil mereka menjadikan kekalahan perang sebagai tolok ukur, mereka mengingkari risalah beliau ketika mendengar berita terbunuhnya beliau, padahal mereka turut berperang bersama beliau saat itu.

Hari ini, manhaj batil itu kembali terulang dengan lebih jelas dari orang-orang sesat itu, mereka mengatakan kekalahan Taliban dan mujahidin menunjukkan manhaj mereka adalah batil. Lihatlah, sejarah kembali teru-lang, orang yang sesat dari jalan yang luruspun memiliki contoh terdahulu yang memberikan teladan pada setiap kejahatan.

Namun, orang-orang yang berada di atas petunjuk dan agama Islam yang benar adalah kelompok kedua, kelompok manhaj yang terpuji, manhaj itu dinukil hingga sampai kepada kita oleh pakar-pakar tafsir, langsung dari kancah peperangan Uhud; merekalah yang menyambut berita terbunuhnya Nabi SAW dengan kata-kata Anas bin Nadhr ra ketika ia melewati orang-orang Muhajirin dan Anshor yang meletakkan tangan, ketika itu ia berkata: “Apa yang menyebabkan kalian duduk-duduk saja?” mereka menjawab, “Rosululloh SAW sudah terbunuh.” “Kalau begitu, apa yang kalian perbuat dalam hidup setelah beliau terbunuh? Mari kita mati seperti beliau mati.” Lalu ia maju menyerang musuh dan terus berperang sampai terbunuh.

Manhaj ini juga tercermin pada diri Abu Bakar Ash-Shiddiq ra yang mengatakan ketika Rosululloh SAW wafat: “Barangsiapa beribadah kepada Muhammad, sesungguhnya beliau telah meninggal; barangsiapa beriba-dah kepada Alloh sesungguhnya Alloh Mahahidup dan tidak akan pernah ma-ti.”

Juga tercermin dalam diri ‘Ali bin Abi Tholib setelah ia membaca ayat: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul…dst” ia mengatakan: “Demi Alloh, kami tidak akan pernah mundur setelah Alloh memberi kami hidayah, demi Alloh kalaulah beliau meninggal atau terbunuh, aku akan tetap berperang membela beliau sampai aku mati.”

Inilah manhaj shahabat –radhiyallohu ‘anhum— seluruhnya, merekalah orang-orang yang ber-ibadah kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, setelah Rosululloh SAW wafat merekalah yang menyambung jalan dan tidak patah arang dalam berjihad, dakwah dan ibadah, mereka tetap berjalan di atas manhaj yang diajarkan Rosululloh SAW kepada mereka. Ketika menderita kekalahan, mereka praktekkan firman Alloh Ta‘ala:
{وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ}
“Janganlah kalian merasa hina dan rendah, kalian adalah tinggi jika kalian beriman.” [5]
Dan firman Alloh Ta‘ala:
{أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ}
“Apakah ketika kalian ditimpa musibah yang sebelumnya telah menimpa kali-an, kalian mengatakan: Bagaimana ini bisa terjadi? Katakan (hai Muham-mad): Itu berasal dari diri kalian sen-diri, sesungguhnya Alloh Mahakuasa atas segala sesuatu.” [6]

Ketika memperoleh kemenangan, mereka praktekkan firman Alloh Ta‘ala:
{وَاذْكُرُوْا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيْلٌ مُّسْتَضْعَفُوْنَ فيِ اْلأَرْضِ تَخَافُوْنَ أَنْْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ}
“Ingatlah ketika dulu kalian sedikit dan tertindas di bumi, kalian takut manusia menerkam kalian kemudian Alloh memberikan tempat kepada kalian dan menguatkan kalian dengan pertolongan-Nya serta memberi kalian rezeki berupa kebaikan-kebaikan agar kalian bersyukur.” [7]

Inilah manhaj kebenaran yang Alloh ridhoi untuk kita; yaitu amal (perjuangan) digantungkan berdasar-kan dalil-dalil syar‘i, menghukumi sesuatu benar atau salah tidak dengan hasil-hasil yang dicapai, tetapi berdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan sunnah, dalam kejadian apapun.

Kalau ada orang yang menilai peperangan-peperangan berdasarkan hasil akhirnya dengan tolok ukur ini, mau tidak mau ia akan mengatakan –wal ‘iyadzu billah, kita berlindung kepada Alloh—bahwa perang Uhud adalah peperangan batil, Rosululloh SAW tidak tepat menentukan langkah dengan melakukan perang tersebut, karena beliau kalah, sedangkan kekalahan adalah indikasi batilnya sebuah manhaj. Inilah menurut orang-orang yang jahil dan suka membuat kekacauan dalam tubuh kaum muslimin.

Sudahlah, pokoknya pengikut manhaj bathil di mana mereka mengingkari kenabian Nabi Muham-mad SAW dan kebenaran agama Islam adalah mereka yang mengkaitkan agama dengan orang dan menggan-tungkan jihad dengan tokoh. Manhaj yang mereka pegang ini berdampak kepada kerusakan besar, mereka akan mengingkari khithah awal dengan alasan ketidak tepatan atau beralasan dengan kegagalan hasil yang dicapai. Ketika seseorang sampai kepada manhaj seperti ini, bisa dipastikan ia akan terperosok ke dalam jurang kekufuran, keputus asaan dan sikap apatis. Inilah manhaj kebanyakan kaum ruwaibidhoh hari ini, yang tidak lagi memiliki rasa malu kepada Alloh dan hamba-hamba-Nya, setiap kejadian ia berpendapat lain dari sebelumnya, jika melihat kemenangan mereka bertambah semangat, mengu-lang-ulang pujian dan rasa salut. Sebaliknya, ketika menyaksikan kekalahan dan ujian dari Alloh terha-dap para hamba-Nya, mereka akan menganggap sesat, membid‘ah-bid‘ahkan, mengkritik, mencaci dan mencela.

Barangkali di antara hikmah Alloh SWT mengapa mujahidin tertimpa kekalahan adalah untuk menyaring orang-orang yang berada dalam barisan mereka, itu pertama; selanjutnya menyaring orang-orang yang tadinya simpati dan menganggap dirinya bagian dari mujahidin. Alloh telah kuak trik-trik dan sifat-sifat mereka secara mendetail, Alloh berfirman:
{وَإِنَّ مِنْكُمْ لَمَنْ لَيُبَطِّئَنَّ فَإِنْ أَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَالَ قَدْ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيَّ إِذْ لَمْ أَكُنْ مَّعَهُمْ شَهِيْداً، وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِّنَ اللهِ لَيَقُوْلَنَّ كَأَنْ لَمْ تَكُنْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَالَيْتَنِيْ كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوْزَ فَوْزًا عَظِيْماً}
“Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang-orang yang sangat berlam-bat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata:"Sesungguhnya Alloh telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka” Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Alloh , tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia:"Wahai, kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula).” [8]

Dan berfirman:
{اَلَّذِيْنَ يَتَرَبَّصُوْنَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللهِ قَالُوْا أَلَمْ نَكُنْ مَّعَكُمْ وَإِنْ كـــَانَ لِلْكَافِرِيْنَ نَصِيْبٌ قَالُوْا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ فَاللهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً}
“(yaitu) orang-orang yang menunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Alloh mereka berkata:"Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:"Bukankah kami (turut berpe-rang) bersama kamu" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bu-kankah kami turut memenangkan kamu, dan membela kamu dari orang-orang mu'min.” Maka Alloh akan memberi keputusan di antara kamu di hari dan Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” [9]

Memang, Jihad ini tidak akan mampu dilaksanakan kecuali oleh orang yang pantas memikulnya, karena untuk mencapai kemenangan dan kekuasaan di muka bumi ibarat unta menempuh luasnya padang pasir. Demikian juga hari ini, tidak ada yang mampu membela panji jihad ini selain orang yang sudah menyiapkan dirinya untuk menanggung bala dan ujian. Adapun orang yang bermanhaj tak jelas dan mengambang, tidak menger-ti apakah sebenarnya dirinya berposisi sebagai pembela jihad ataukah yang menentang, maka cukuplah dengan ayat-ayat di atas Alloh menyingkap teknik-teknik berkelit mereka, dan dalam surat At-Taubah diungkapkan bagaimana mereka tampak dihinakan lantaran teknik-teknik berkelit gaya syetan yang mereka gunakan seka-ligus mengungkap kedok dari manhaj mereka yang batil.

Sesungguhnya menggantungkan jihad atau pertempuran dengan orang-orang tertentu hanya akan membuah-kan kekalahan yang jelas. Kalaulah kekalahan itu bukan di medan pertem-puran, secara moril kekalahan itu sudah terjadi berupa rasa futur (patah arang) dari berjihad ketika suatu saat nanti para komandan itu hilang yang mana tadinya mereka sangka keme-nangan hanya bisa diraih dengan keberadaan mereka.

Maka dari itu, keliru kalau kaum muslimin menggantungkan urusan kepada orang atau tokoh tertentu. Sebab itu, jihad ini harus dibebaskan dari ikatan berupa tokoh-tokoh. Benar kita memang memerlukan ke-qiyadah-an untuk mempersatukan para muja-hidin, kita juga memerlukan qiyadah untuk menyusun langkah dan strategi; tetapi hilangnya qiyadah bukan berarti ikatan antar kaum muslimin dengan jihad harus lepas. Karena sebagaimana dulu jihadlah yang mela-hirkan para komandan sekelas mere-ka, dengan terus berlangsungnya jihad kelak akan lahir juga komandan-komandan baru yang profesional. Sejarah menjadi bukti; tidak ada satu zamanpun berlalu setelah wafatnya Nabi SAW kecuali di sana ada singa-singa yang membela agama ini, sampai-sampai tidak mungkin orang bisa mengatakan bahwa sebelumnya tidak ada singa-singa pembela agama. Para wanita muslimat tak pernah mandul untuk melahirkan orang-orang sekelas Umar bin Khotob, Ali bin Abi Tholib, Kholid bin Al-Walid, Miqdad, ‘Ikrimah, Sholahuddin dan Komandan Quthz (atau Qatazh). Umat ini ibarat hujan, tidak bisa ditebak di mana berkah kebaikannya berada; apakah saat pertama kali turun atau ketika hujan mau berhenti.

Walaupun kaum muslimin kehi-langan komandannya, mereka yang sudah tergembleng untuk tidak meng-gantungkan jihad dengan simbol tokoh akan semakin mantab berjalan di atas manhaj dan jalan yang ia yakini. Sebab mereka beribadah kepada robb yang mewajibkan jihad, bukan kepada komandan jihad. Komandan itu akan muncul di bumi pertempuran ketika ia sendiri menantang maut sebagaimana prajuritnya menantang maut, bahkan komandanlah yang senantiasa mencari kesyahidan, yang menunggu-nunggu hari di mana ia bertunangan dengan huurun ‘Iin (bidadari nan bermata jeli), menunggu saat-saat mulia untuk bisa melihat Alloh robb semesta alam; para komandan itu sangat-sangat merindukan hari itu, ia berusaha meraih dan selalu mencita-citakannya.

Jika para komandan itu berhasil meraih apa yang ia cita-citakan, misalnya Mulla Muhammad ‘Umar terbunuh, Syaikh Usamah terbunuh, Komandan Syamil Basayev terbunuh, Komandan Khothob terbunuh, atau komandan jihad di bumi manapun terbunuh –semoga Alloh tetap melindungi mereka semua—, maka tercapainya apa yang mereka cita-citakan berarti sebuah kemenangan besar bagi mereka. Adapun jihad tidak akan pernah terbengkalai, sebab Alloh telah jamin keberlangsungannya hingga hari kiamat dan menjanjikan kemenangan kepada hamba-hamba-Nya jika mereka memenuhi syarat-syarat terperolehnya kemenangan, baik para komandan itu bersama mereka atau terbunuh di jalan Alloh Ta‘ala.

Maka sudah tidak selayaknya kita menggantungkan jihad dengan orang atau mengikat suatu peperangan dengan tokoh, sebagaimana dikatakan Syaikh Sulaiman Abu Ghoits belum lama ini: “Kalau Usamah terbunuh, seribu Usamah akan lahir memikul panji jihad sepeninggalnya.”

Syaikh Usamah sendiri mengata-kan dalam salah satu tayangan wawancara ketika beliau ditanya tentang kemungkinan hancurnya jaringan yang menghubungkan antara tanzim Al-Qaeda dengan mujahidin Afghan dan Arab jika beliau terbunuh: “Terbunuhnya saya, saya rasa itu adalah kesyahidan di jalan Alloh Ta‘ala, inilah yang justru saya cita-citakan, saya memohon kepada Alloh agar berkenan menganugerahi saya kesyahidan, Usamah tidak lain hanyalah satu dari bagian umat Islam, dalam tubuh umat masih banyak perwira-perwira yang siap menjadi tumbal agama ini dengan mengga-daikan nyawa dan apa saja yang ia miliki, jadi Usamah bukan satu tokoh yang mewakili umat, ia hanyalah pemikul manhaj yang oleh anggota umat Islam lainnya juga diyakini.”

Sebagai penutup pembahasan ini, sekali lagi kami ingatkan kaum musli-min seluruhnya agar jangan menggan-tungkan jihad dengan simbol tokoh atau menggantungkan peperangan dengan orang. Ini adalah manhaj batil dan sangat tidak baik yang bisa merusak agama dan dunia.

Jihad ini adalah salah satu dari syiar Alloh Ta‘ala; di antara prinsip baku yang tidak akan berubah adalah ia terus berlangsung hingga hari kiamat.

Dulu, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, manhaj jihad para shahabat –Radhiyallohu ‘anhum—tidak pernah berubah, bahkan penaklukan-penaklukan terus berlangsung. Ketika Abu Bakar ra meninggal, negara Islam semakin meluas dan syiar jihad tidak terpengaruh dengan kematian beliau.

Ketika ‘Umar bin Khothob terbu-nuh, kaum muslimin justeru semakin tersebar di seluruh penjuru dunia. Demikianlah keadaan kaum muslimin dari generasi ke generasi.

Di antara prinsip baku kita adalah: Jihad ini sebuah keyakinan dan syiar agung, ia tidak bisa berubah atau terganggu dengan hilangnya tokoh atau komandan tertentu.

Kita memohon kepada Alloh agar menunjuki kita jalan yang lurus, mengangkat keadaan umat kita dan mengangkat harga dirinya di atas bangsa-bangsa kafir di seluruh penju-ru bumi, sesungguhnya Allohlah yang berhak dan Mahakuasa untuk itu.

[1] QS. Ali Imron: 143
[2] QS. Ali Imron: 144
[3] QS. Fathir: 11
[4] QS. Al-An‘am: 2
[5] QS. Ali Imron: 139
[6] QS. Ali ‘Imron: 165
[7] QS. Al-Anfaal: 26
[8] QS. An-Nisâ’: 72 – 73.
[9] QS. An-Nisa’:141

Prinsip Jihad..Syaikh Yusuf bin Sholih Al 'Uyairi rahimahullah...bagian 1

Rambu pertama:
Jihad akan terus berlangsung (ada) hingga hari kiamat



Hari ini, seluruh dunia –kecuali yang dirahmati Alloh— berdiri satu barisan dengan kekuatan ediologinya, politiknya, ekonominya, informasinya, teknologi dan nasionalismenya, dan dengan segala kekuatannya, di hadapan salah satu syiar agama kita yang hanif (lurus), syiar itu adalah jihad fi sabilillah. Sebuah syiar yang Alloh wajibkan kepada kita dengan firman-Nya:
{كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ}
"Diwajibkan atas kalian berperang, padahal perang itu kalian tidak suka; bisa jadi kalian tidak suka kepada sesuatu padahal itu lebih baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kalian. Dan Alloh Maha tahu sedangkan kalian tidaklah mengetahui." [1]
Dan dengan firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّم وَبِئْسَ الْمَصِيْر}
"Wahai Nabi, jihadlah melawan orang kafir dan munafik dan bersikap keras-lah kepada mereka, tempat tinggal mereka adalah jahannam, dan sungguh itu sejelek-jelek tempat kem-bali.” [2]
Dan firman-Nya:
{قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلاَ بِاْليَوْمِ اْلآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَلاَ يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُوْنَ}
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir, tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak menganut agama yang benar (Islam) dari kalangan ahli kitab, sampai mereka membayar jizyah dari tangan sementara mereka dalam keadaan hina." [3]

Dalam ayat terakhir yang turun tentang jihad, Alloh berfirman menegaskan kewajiban ini:
{فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ إِِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ}
“Jika telah habis bulan-bulan haram, perangilah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai, tawanlah dan kepunglah mereka serta intailah dari tempat-tempat pengintaian. Jika me-reka taubat dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat, bebas-kanlah mereka, sesungguhnya Alloh Maha-pengampun lagi Mahapenyayang.” [4]
Orang-orang kafir berusaha menghapus syiar jihad ini dan memberikan label kepadanya dengan label terorisme dan tindak kejahatan, menjuluki para pelakunya sebagai kaum teroris, orang-orang ekstrim, fundamentalis dan radikal.

Ditambah lagi, orang-orang mu-nafik ikut membantu mereka dengan menjelekkan dan menghalang-halangi jihad dengan cara-cara syetan, ada yang mengatakan jihad dalam Islam hanya bersifat membela diri (defensive), tidak ada jihad ofensiv (menyerang terlebih dahulu). Ada juga yang mengatakan bahwa jihad disya-riatkan hanya untuk membebaskan negeri terjajah. Ada juga yang mengatakan bahwa jihad menjadi wajib kalau sudah ada perintah dari penguasa –padahal penguasa itu menjadi antek yahudi dan salibis—. Sekali waktu ada yang mengatakan bahwa jihad sudah tidak relevan untuk zaman kita sekarang, zaman kedamaian dan undang-undang baru internasional, Na`udzubillah min dzalik, kita berlindung kepada Alloh dari kesesatan-kesesatan ini.

Meski ada saja alasan, dorongan, istilah-istilah munafik dan kufur berbentuk apapun yang bertujuan menghapus panji jihad, kalau dirunut ujungnya sebenarnya jalan jihad ini –sejak zaman Rosul SAW— sudah jelas bagi umat Islam, rambu-rambunya sudah ditetapkan, pemahaman dan fikihnya sudah gamblang, kita tidak perlu lagi menambahkan pemahaman-pemaha-man jihad yang baru yang tidak bias diselewengkan oleh siapapun, baik di belahan bumi timur maupun barat.

Khazanah kita sudah terlalu cukup untuk ditambahi, dari khazanah itulah kita menimba rukun, syarat, kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan dan sunnah-sunnah dalam urusan jihad, kita juga mengambil pilar-pilar disyariatkannya jihad dari khazanah tersebut.
Lebih dari itu, Alloh dan rosul-Nya SAW telah mengkhabarkan bahwa jihad akan terus berlangsung sampai nanti Alloh wariskan bumi dan penduduknya kepada orang-orang sholeh. Khabar dari Alloh dan rosul-Nya ini termasuk perkara baku yang tidak kami ragukan lagi dan tidak akan kami tanyakan kepada siapapun setelah Alloh dan rosul-Nya SAW menegaskan hakikat ini.

Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini dari Al-Quran dan Sunnah sangatlah banyak, seperti firman Alloh Ta`ala:
{يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِيْنَ، يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لاَئِمٍ ذَالِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ}
“Hai orang-orang yang beriman, ba-rangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, Alloh akan datangkan satu kaum yang Dia cintai dan merekapun mencintai-Nya, lembut terhadap orang beriman dan keras terhadap orang kafir, mereka berjihad di jalan Alloh dan tidak takut celaan orang yang mencela. Itulah anugerah yang Alloh berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Dan Alloh Mahaluas lagi Mahamengetahui.” [5]
Firman Alloh: "...mereka berji-had..." menunjukkan jihad akan terus berlangsung, konteks ayat ini menun-jukkan bahwa siapa saja mening-galkan sifat-sifat dalam ayat ini, Alloh akan datangkan kaum lain yang Alloh mencintai mereka dan merekapun mencintai Alloh, merekalah yang akan menyandang sifat-sifat tadi.

Alloh juga berfirman:
{وَقَاتِلُوْهُمْ حَتَّى لاَ تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ}
“Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah dan agama seluruhnya menjadi milik Alloh, jika mereka ber-henti maka sesungguhnya Alloh Maha-mengetahui apa yang mereka kerja- kan.” [6]

Makna fitnah di sini adalah kekufuran, jadi perang akan terus berlangsung sampai tidak ada lagi kekufuran. Para ulama mengatakan: Kekufuran di muka bumi tidak akan pernah habis kecuali di zaman Nabi Isa turun di akhir zaman, di saat beliau mengha-pus jizyah dan mematahkan salib ser-ta membunuh babi, beliau hanya me-nerima Islam. Setelah itu Alloh wafatkan beliau beserta orang-orang beriman yang mengikuti beliau, saat itulah tidak ada di muka bumi yang mengucapkan "Alloh, Alloh," maka kiamatpun terjadi menimpa makhluk paling buruk saat itu.

Lebih menegaskan bahwa jihad ini akan terus berlangsung, Alloh Ta`ala berfirman dalam ayat jihad yang terakhir turun, yaitu ayatus Saif (ayat pedang):
{فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ إِِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ}
“Jika telah habis bulan-bulan haram, perangilah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai, tawanlah dan kepunglah mereka serta intailah dari tempat-tempat pengintaian. Jika mereka taubat dan menegakkan sho-lat serta menunaikan zakat, bebas-kanlah mereka, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapenya-yang.” [7]

Dalam Al-Quran, ayat yang me-nunjukkan terus adanya jihad sangat-lah banyak.
Adapun dalil terus berlangsung-nya jihad dalam As-Sunnah, maka lebih banyak lagi. Di antaranya adalah sabda Rosul SAW sebagaimana diriwayatkan Al-Jama`ah serta yang lain, dari ‘Urwah Al-Bariqi ra ia berkata, Rosululloh SAW bersabda,
(اَلْخَيْلُ مَعْقُوْدٌ فِيْ نَوَاصِيْهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلْأَجْرُ وَاْلمَغْنَمُ)
"Akan senantiasa tertambat kebaikan pada jambul kuda hingga hari kiamat, yaitu pahala dan ghanimah."

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari ketika Bukhori menjadikan hadits ini sebagai dalil akan terus berlangsungnya jihad baik bersama orang jahat ataupun orang baik, “Sebelumnya, Imam Ahmad sudah lebih dahulu menjadikan hadits ini sebagai dalil (terus berlangsungnya jihad), sebab Nabi SAW menyebutkan terus adanya kebaikan pada jambul kuda hingga hari kiamat, kemudian beliau maknai kebaikan itu dengan pahala dan ghanimah, sedangkan ghanimah yang disejajarkan dengan pahala pada kuda hanya terjadi ketika ada jihad. Hadits ini juga berisi anjuran berperang dengan menggu-nakan kuda. Juga berisi kabar gembira akan tetap bertahannya Islam serta pemeluknya hingga hari kiamat, sebab ada jihad berarti ada mujahidin, mujahidin sendiri adalah orang-orang Islam. Hadits ini senada dengan hadits yang berbunyi: “Akan senantiasa ada satu kelompok umatku yang berpe-rang di atas kebenaran.” Al-Hadits.” Sampai di sini perkataan Ibnu Hajar secara ringkas.

Imam Nawawi berkata dalam kitab Syarah Shohih Muslim-nya keti-ka mengomentari hadits ini, “Sabda Rosululloh SAW: “Akan senantiasa tertambat kebaikan pada jambul kuda hingga hari kiamat,” ditafsirkan oleh hadits lain dalam hadits shohih: “Kebaikan itu adalah pahala dan ghanimah.” Hadits ini menunjukkan bahwa Islam dan jihad akan tetap eksis hingga hari kiamat, maksud hingga hari kiamat adalah hingga sesaat sebelum kiamat terjadi, yakni ketika datang angin harum dari Yaman yang mencabut nyawa setiap mukmin, laki-laki maupun perempuan, sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits shohih.”
Sampai di sini perkataan An-Nawawi.

Dalam hadits riwayat Abu Dawud dan yang lain dari Anas bin Malik ra ia berkata, Rosululloh SAW bersabda,
(وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِيَ اللهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِيْ الدَّجَّالَ لاَ يُبْطِلُهُ جُوْرُ جَائِرٍ وَلاَ عَدْلُ عَادِلٍ)
“Jihad akan tetap berjalan sejak Alloh mengutusku hingga umatku yang terakhir memerangi Dajjal, ia tidak akan dihentikan oleh kejahatan orang jahat ataupaun keadilan orang adil.”
Menerangkan hadits ini, penulis kitab `Aunul Ma`bud (Syarah Sunan Abu Dawud) mengatakan: Hadits yang berbunyi: “Jihad akan tetap berjalan sejak Alloh mengutusku,”
Maksudnya sejak dimulainya era di mana aku (Rosululloh) diutus, “hingga umatku yang terakhir” maksudnya adalah Nabi Isa atau bisa juga Imam Mahdi, “…memerangi Dajjal…” Dajjal dalam konteks hadits di sini sebagai kata obyek. Setelah Dajjal terbunuh, selesailah sudah jihad. Mengenai peristiwa Ya'juj dan Ma'juj, jihad tidak dilakukan karena tidak mungkin bisa melawan mereka, dalam kondisi seperti ini jihad tidak wajib atas kaum muslimin berdasarkan nash ayat surat Al-Anfal. Adapun setelah Alloh binasakan Ya`juj dan Ma`juj, tidak ada lagi orang kafir di muka bumi selama Nabi Isa masih hidup di bumi. Adapun orang yang kembali kafir setelah kematian Nabi Isa AS, mereka tidak diperangi karena baru saja kaum muslimin seluruhnya diwafatkan dengan hembusan angin harum dan karena orang-orang kafir terus ada hingga hari kiamat. Inilah pendapat Al-Qoriy. Al-Munziri tidak mengomen-tari hadits ini.” Selesai perkataan beliau.

Sebagai dalil akan terus berlangsungnya jihad, seperti tertera dalam Shohih Bukhori Muslim serta kitab hadits lain, redaksinya milik Muslim, dari Jabir ra Nabi SAW bersabda:
(لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى اْلحَقِّ ظَاهِرِيْنَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)
“Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang, hingga hari kiamat tiba.”
Dalam lafadz Bukhori disebutkan:
(لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ)
“Tidak akan terpengaruh oleh orang yang melemahkan semangat dan menyelisihi mereka.”
Dalam lafadz Imam Ahmad: “Mereka tidak mempedulikan orang yang menyelisihi dan melemahkan sema-ngat mereka."

Sabda beliau: “Akan senantiasa ada...” menjadi dalil akan tetap berlangsungnya jihad meskipun kon-teks hadits ini sudah cukup untuk menetapkan bahwa jihad akan tetap berlangsung.
An-Nawawi berkata dalam Syarah Shohih Muslim-nya: “Saya katakan: Kemungkinan, kelompok ini terpisah-pisah dalam sekian banyak jenis kaum muslimin, di antara mereka ada yang pemberani sebagai pelaku perang, ada juga yang ahli fikih, ahli hadits, orang-orang zuhud, orang yang beramar makruf nahi munkar, ada juga pelaku kebaikan lain, tidak mesti mereka berkumpul menjadi satu, bisa saja mereka berpencar-pencar di berbagai belahan dunia. Hadits ini berisi sebuah mukjizat nyata, karena ciri seperti ini –alhamdulillah— selalu ada dalam umat sejak zaman Nabi SAW hingga sekarang, dan akan selalu ada hingga tiba ketetapan Alloh sebagaimana disebutkan dalam hadits ini.” Selesai perkataan An-Nawawi.

Dalil yang lain adalah sabda Nabi SAW,
(أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَّسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَالِكَ عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ )
“Aku diperintah untuk memerangi ma-nusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang hak) selain Alloh dan bahwa Muhammad utusan Alloh, mereka menegakkan sholat dan menunaikan zakat, jika mereka lakukan itu, darah dan harta mereka terlindungi dariku kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka dise-rahkan kepada Alloh.”
Dalam hadits ini, beliau menjadi-kan tujuan akhir peperangan adalah Islam, bermakna jika semua manusia sudah Islam maka tidak lagi ada perang.

Di sisi lain, banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwa tidak mungkin seluruh manusia akan menjadi Islam. Demikian juga ada hadits-hadits yang menunjukkan bah-wa kekufuran akan ada hingga hari ki-amat.

Jika demikian, berarti perang akan selalu ada bersamaan dengan adanya kekufuran sampai tiba ketetapan Alloh Ta‘ala.

Sedangkan maksud ketetapan Alloh dalam hadits ini, ada yang mengatakan masuk Islamnya manusia di zaman Nabi Isa, ada juga yang berpendapat hari kiamat, ada yang mengatakan berhembusnya angin yang mencabut nyawa kaum mukmi-nin, hanya saja makna yang ditun-jukkan hadits ini sangat jelas menun-jukkan bahwa perang akan selalu ada selama kekufuran ada.

Nash-nash lain yang menunjuk-kan bahwa jihad akan terus berlang-sung hampir tak terhitung, para imam Islampun sepakat dan tidak ada yang berbeda pendapat bahwa jihad akan terus berlangsung. Rosul SAW sendiri mengkhabarkan hal ini sebagai sebuah berita yang tidak akan pernah berubah dan berganti.

Semua nash ini menjelaskan bahwa tidak akan pernah mungkin satu zaman berlalu sejak diutusnya Nabi SAW hingga hari kiamat kosong dari panji jihad pembela kebenaran yang diangkat di jalan Alloh Ta‘ala, ini adalah pengkhabaran yang pemung-kirnya bisa kufur kepada Alloh Ta`ala.

Jika kita meyakini hakikat ini, kita jadikan ini sebagai bagian terpenting dalam hidup kita, dan kita asumsikan sebagai salah satu prinsip baku yang kita konsentrasikan kehidupan kita ke arahnya, maka tidak akan mungkin kita akan mau tertinggal dalam memberikan andil kepada panji jihad dan berdiri di bawahnya walau bagaimanapun susahnya kondisi. Karena panji jihad di zaman kapanpun selalu terkait dengan Thoifah Manshuroh (kelompok yang ditolong, kelompok yang menang) yang diridhoi Alloh.

Thoifah manshuroh sendiri –menurut Imam Nawawi— tidak mesti harus ada di satu tempat, bisa saja dalam satu zaman kelompok ini berada di berbagai tempat. Thoifah manshuroh ini berperang di atas kebenaran dan mereka menang, zaman kapanpun tidak akan pernah kosong dari Thoifah manshuroh yang berperang dan mengangkat panji jihad.

Jika kita meyakini akidah ini, kita bisa pastikan bahwa kekuatan kufur dunia dan negara-negara munafik yang turut membantu mereka sampai kapanpun tidak akan pernah mampu memadamkan panji jihad, tidak akan mampu menumpas para mujahidin atau menghapus syiar jihad ini. Mungkin mereka bisa mengisolasinya di satu atau dua tempat, tapi untuk merontokkannya di zaman sekarang, itu hal yang mustahil walaupun seluruh jin dan manusia berkumpul untuk melakukannya. Karena panji jihad ini diangkat atas ketetapan dan izin Alloh Ta‘ala serta tidak mungkin akan diletakkan karena Alloh sendirilah yang menetapkan bagi diri-Nya sendiri untuk meninggikan panji ini sampai umat terakhir Muhammad SAW memerangi Dajjal bersama Isa bin Maryam AS. Inilah hakikat yang mesti kita jadikan titik tolak pertama, inilah keyakinan yang sudah semesti-nya kita memerangi musuh berdasar-kan keyakinan ini. Akidah yakin dan percaya penuh dengan janji Alloh SWT bahwa jihad akan tetap berjalan hingga hari kiamat.

Keputus asaan kaum muslimin hari ini setelah peristiwa mundurnya mujahidin dari kota-kota di Afghanis-tan bukan menunjukkan mujahidin putus asa dan berhenti berjihad, selamanya bukan. Mereka tetap yakin jihad ini akan terus berlangsung hingga hari kiamat, kondisi mayoritas kaum muslimin yang begitu mengenaskan juga tidak akan selamanya berarti bahwa kekuatan kufur internasional mampu merontokkan panji jihad di dunia. Sayang, kebanyakan kaum muslimin tidak memahami hakikat permusuhan antara kebenaran dan kebatilan, tidak membaca sejarah umat, sejarah para nabi, khususnya dalam Al-Qur'an.

Seluruh dunia menentang janji Alloh bahwa jihad ini akan tetap berlangsung, sementara kami tetap percaya kepada Alloh dan kami bersumpah bahwa kekuatan kufur dunia yang memerangi Alloh SWT akan kalah. Undang-undang baru internasional berdiri di atas pemahaman yang sudah ditentukan, slogannya sangat jelas; pemahaman itu adalah jihad adalah terorisme, semua mujahid adalah teroris, para teroris harus ditangkap dan terorisme harus dibasmi; maknanya, para wali Alloh itu harus ditangkap dan syariat Alloh SWT harus dilenyapkan. Maka, hasil akhir peperangan seperti ini sudah bisa ditebak, dulu Alloh sudah menceritakan itu dalam kitab-Nya, Rosululloh SAW sudah menerang-kannya dalam sunnahnya. Rosululloh SAW bersabda –sebagaimana riwayat Imam Bukhori, Ahmad dan yang lain, dari Abu Huroiroh ra—,
(مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ)
“Alloh berfirman: Barangsiapa memu-suhi wali-Ku, Aku maklumkan perang dengannya…” artinya, Ku maklumkan bahwa ia pasti hancur, perang Alloh adalah melawan siapa saja yang memusuhi wali-Nya karena kesetiaan mereka kepada Alloh, dan orang menganggap para wali itu sebagai musuh lantaran komitmen mereka di atas agamanya.
Dalam redaksi lain disebutkan: “Aadzantuhuu bil Harbi…”
(Aku umumkan perang kepadanya), bentuknya nakiroh, artinya perang itu mencakup semua makna hukuman. Dalam riwayat Ahmad:
“Barangsiapa menyakiti wali-Ku…” Hanya menyakiti saja sudah berarti perang.
Dalam riwayat lain: “…sungguh ia telah menghalalkan perang melawan-Ku.”
Hukuman ini tidak selalunya nampak seperti yang menimpa umat-umat lain, tapi bisa juga hukuman itu disegerakan, bisa juga ditunda, Allohlah yang berhak menunda, tapi Alloh tidak pernah mengabaikannya.

Adapun hasil akhir dari perang ini, Alloh telah mengisahkannya dalam Al-Quran, kita ambil misalnya firman Alloh Ta‘ala:
{إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُوْمُ اْلأَشْهَادُ}
“Sesungguhnya Kami pasti menolong (memenangkan) para rosul Kami dan orang-orang beriman di dunia dan di hari ketika saksi-saksi tegak.” [8]
Alloh juga berfirman menegaskan bahwa musuh orang-orang beriman pasti kalah:
{إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللهِ فَسَيُنْفِقُوْنَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُوْنَ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا إِلىَ جَهَنَّمَ يُحْشَرُوْنَ}
“Sesungguhnya orang-orang kafir menginfakkan harta mereka untuk memalingkan dari jalan Alloh, maka mereka akan menginfakkannya kemu-dian akan menjadi penyesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan, dan orang-orang kafir itu akan dikum-pulkan di neraka Jahannam.” [9]
Alloh mengajak kita untuk mengambil pelajaran dari kejadian pada saat perang Badar, pada Yaumul Furqon (hari pembedaan antara yang hak dan batil):
{ قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِيْ فِئَتَيْنِِ اْلتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُمْ مِثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ وَاللهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَنْ يَشَاءُ إِنَّ فِيْ ذَالِكَ لَعِبْرَةً لِأُوليِ اْلأَبْصَارِِ}
“Sungguh telah ada tanda-tanda kebesaran Alloh bagi kalian pada dua kelompok yang bertemu dalam pe-rang; satu kelompok berperang di jalan Alloh, sementara kelompok yang lain kufur, mereka melihat orang beriman dua kali lipat dari mereka jika dilihat mata. Dan Alloh menguatkan dengan pertolongan-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki, sesungguhnya pada yang demikian terdapat pela-jaran bagi mereka yang berpandangan jeli.” [10]

Pertanyaan yang selalu mengusik hati dan menyusup ke hati orang-orang lemah adalah: Mengapa Alloh tidak menolong Pemerintahan Islam Taliban dalam perangnya melawan pasukan sekutu hingga hari ini? padahal Pemerintahan itulah yang mampu mengangkat syiar penerapan syariat Islam dan memegang teguh Al-Quran dan Sunnah, seluruh dunia bersatu menyerangnya sampai-sampai Taliban dipaksa mundur dari kota-kota yang mereka kuasai, mengapakah ini terjadi?

Kami katakan, Alloh memiliki hikmah mengapa itu terjadi, hikmah pertama diterangkan dalam firman Alloh Ta‘ala:
{ذَالِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللهُ لاَنْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِّيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ}
“Yang demikian itu, kalau Alloh berkehendak pasti akan menangkan mereka atas orang-orang kafir, akan tetapi untuk menguji sebagian atas sebagian yang lain, dan orang-orang yang terbunuh di jalan Alloh, maka amalan mereka tidak akan pernah disia-siakan.” [11]
Bisa saja Alloh memenangkan Taliban atas mereka (bahkan Alloh sangat Mahakuasa) sendirian, bisa saja Alloh mematikan dan meluluh lantakkan seluruh kekuatan mereka sekejap mata, akan tetapi Alloh membiarkan orang-orang kafir itu menguasai kaum muslimin untuk memberikan ujian, artinya untuk menguji kaum muslimin dan mencoba kejujuran mereka meskipun orang-orang kafir berkuasa atas mereka, jika mereka sabar dan semakin berpegang teguh dengan agama mereka serta lari dan mengadukan perkaranya kepada Alloh Ta‘ala, maka Alloh akan menolong mereka setelah melihat bahwa mereka memang layak memperoleh kemenangan, Alloh akan mantabkan kekuasaan agama yang Dia ridhoi bagi mereka (Islam), tentunya setelah mereka memenuhi syarat-syarat tercapainya kekuasaan di muka bumi. Alloh Ta‘ala berfirman:
{وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُوْنَنِيْ لاَ يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْئاً وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَالِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ}
“Alloh berjanji kepada orang-orang beriman dari kalian, pasti Ia kuasakan mereka di muka bumi sebagaimana orang-orang sebelum mereka dikua-sakan, dan akan memantabkan posisi agama mereka yang Alloh ridhoi bagi mereka dan akan menggantikan keadaan takut mereka dengan kea-manan, mereka beribadah kepada-Ku dan tidak mensekutukan dengan apapun terhadap-Ku, dan barangsiapa kufur setelah itu, maka mereka adalah orang-orang fasik.” [12]

Dan berfirman:
{قَالَ مُوْسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِيْنُوْا بِاللهِ وَاصْبِرُوْا إِنَّ اْلأَرْضَ لِلَّهِ يُوْرِثُهَا مَنْ يَّشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَاْلعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ}
“Musa berkata kepada kaumnya: 'Minta tolonglah kalian kepada Alloh dan bersabarlah, sesungguhnya bumi ini adalah milik Alloh, Alloh mewariskannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya, dan hasil akhir adalah milik orang-orang bertakwa.” [13]

Dan berfirman:
{وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُوْرِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ اْلأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُوْنَ}
“Dan telah Kami tetapkan dalam Zabur bahwa bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang sho-leh.” [14]

Dan berfirman:
{إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ اْلمَلاَئِكَةُ أَلاَّ تخََاَفُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ، نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَشْتَهِيْ أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَدَّعُوْنَ}
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan tuhan kami adalah Alloh kemudian mereka istiqomah, malaikat turun kepada mereka: Janganlah kalian takut dan sedih dan bergem-biralah dengan surga yang dijanjikan kepada kalian. Kami adalah pelindung kalian di kehidupan dunia dan akhirat, di sana kalian mendapatkan apa saja yang kalian inginkan dan di sana terdapat apa yang kalian minta.” [15]

Jadi, syarat dimantabkannya posisi (tamkiin) di muka bumi harus terpenuhi dahulu dalam diri kaum mukminin sebelum kemantaban posisi itu tercapai. Sebagian syarat itu telah Alloh sebutkan dalam ayat-ayat tadi, di antaranya adalah iman dan amal sholeh, mengikuti manhaj Nabi SAW dan para shahabat beliau yang dahulu telah berkuasa di muka bumi, meyakini ajaran agama yang benar (Islam), tidak menyekutukan Alloh, meminta tolong hanya kepada Alloh, sabar di atas jalan jihad dan perang melawan musuh, bertakwa kepada Alloh dalam kondisi sendirian atau dilihat orang, kesalehan secara menyeluruh di semua lapisan, karakter seorang mujahid hendaknya senantiasa menyatakan tuhanku adalah Alloh sekaligus mengamalkan konsekwensi pernyataan tersebut, ia harus konsisten (istiqomah) di atas ajaran agamanya. Inilah syarat-syarat yang apabila seorang hamba bersungguh-sungguh merealisasikan-nya, ia akan menjadi orang yang berhak diberi kemenangan oleh Alloh dan Alloh akan kuasakan dia di muka bumi.

Kalau kita mau meneliti hikmah mengapa Alloh menunda kemenangan dan mendatangkan kekalahan –secara kasat mata— kepada kaum muslimin di medan pertempuran, mau tidak mau kita harus menilainya dengan adil. Hanya, kita akan sendirikan pembahasannya setelah ini dengan izin Alloh, cukup kita isyaratkan di sini secara sepintas mengingat pemaha-man seperti ini tidak boleh hilang dari benak setiap muslim yang hidup hari ini di mana ia selalu mengikuti perkembangan dari medan pertempu-ran di Afghanistan dengan segala suasana dan eksistensinya, pepera-ngan antara kekuatan kufur inter-nasional seluruhnya melawan mujahi-din Afghan.

Kita mohon kepada Alloh agar memuliakan mujahidin dan menolong mereka serta menjadikan mereka berkuasa. Semoga Alloh memecah belah dan mencerai beraikan orang-orang kafir, menghinakan dan menjadikan mereka sebagai ghanimah bagi kaum muslimin.

[1] QS. Al-Baqoroh: 216
[2] QS. At-Taubah: 73
[3] QS. At-Taubah: 29
[4] QS. At-Taubah: 5
[5] QS. Al-Maidah: 54
[6] QS. Al-Anfal: 39
[7] QS. At-Taubah: 5
[8] QS. Ghofir: 51
[9] QS. Al-Anfal: 36
[10] QS. Ali Imron: 13
[11] QS. Muhammad: 4
[12] QS. An-Nuur: 55
[13] QS. Al-A‘roof: 128
[14] QS. Al-Inbiya’: 105
[15] QS. Fushilat: 30-31

03 September 2008

Engkau Memiliki Allah Wahai Al Aqso!!

بسم الله الرحمن الرحيم


"Engkau memiliki Allah wahai Al-Aqsa"


Segala puji bagi Allah yang memiliki nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang tinggi. Salawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi yang dijalankan para malam hari (isra’) dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa, Wa ba’du:


Telah muncul berita-berita dari ikhwan-ikhwan di Al Quds mengenai usaha serius yang dilakukan oleh Yahudi untuk menguasai masjidil Aqsa dengan cara melakukan perluasan galian yang mancakup seluruh lokasi di bawah masjid dengan galian yang sangat dalam. Ini merupakan ancaman yang berbahaya dan nyata. Bukan hanya ancaman untuk diledakkan, akan tetapi hal itu bisa terjadi hanya dengan sekedar melintaskan pesawat-pesawat super sonik. Di sisi lain, apa reaksi yang muncul …


-Pemerintahan Abbas dan pemerintahan-pemerintahan Arab tenggelam dalam “madu”, mereka tidak peduli dengan dihancurkannya Al Aqsa maupun Ka’bah.


-Pemerintahan Gaza (Hamas) sibuk memperkokoh singgasananya di Jalur Gaza dan mendirikan negara demokrasi.


-Berbagai kelompok dan gerakan melakukan mengajak untuk melakukan penentangan dan pengecaman dengan cara pergolakan massa dan demonstrasi damai, kemudian pulang lagi untuk menyantap makan siang bersama anak dan istri.

Lalu apa yang tengah terjadi wahai umat Islam?


Sesungguhnya Al Aqsa adalah tempat isra’, tanyakan kepada Ibnul Khattab dan Ibnul Jarrah, apakah kalian ingin Al Aqsa dihancurkan?


Oleh karena itu kami angkat persoalan ini kepada umat Islam supaya umat Islam memahami permasalahan ini dengan jelas:


Pertama: “Brigade Al Qassam” memikul tanggung jawab secara penuh jika tidak melakukan balasan atas kejahatan-kejahatan Yahudi dalam persoalan Al Aqsa, karena harapan umat ada pada mereka. Umat Islam ketika menyokong mereka dengan dana dan persenjataan, mereka tidak menginginkan untuk ditimbun atau digunakan untuk melawan kaum muslimin. Dan ketika mereka telah dikuasakan atas persenjatan, mereka tidak mengambilnya untuk kemudian dibiarkan berkarat. Oleh kerana itu, hendaknya mereka menggunakannya untuk memerangi Yahudi atau memberikannya kepada orang yang mau berperang dengan senjata tersebut.


Ummu ‘Ammarah radliyAllahu ‘anha berkata mengenai perang Uhud: Ketika itu aku melihat manusia kalangkabut meninggalkan Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasalam, sehingga tidak tersisa kecuali beberapa orang yang tidak genap 10, ditambah dengan aku, anak-anakku dan suamiku yang berada di depanku. Kami melindungi Rasulullah, sementara orang-orang yang lari kalah melewati beliau, sementara beliau melihat aku tidak membawa tameng. Maka ketika beliau melihat seseorang melarikan diri sedangkan dia membawa tameng, beliau mengatakan kepada orang tersebut: Hai orang bertameng, lemparkan tamengmu untuk orang yang berperang! Orang itupun melemperkan tamengnya lalu aku ambil tameng itu dan aku gunakan untuk melindungi Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wa sallam.


Kedua: Situasi tenang yang diciptakan antara kelompok-kelompok Palestina dengan Yahudi merupakan faktor yang memuluskan proyek-proyek tersebut. Hal ini pula yang menjadikan Yahudi berani meningkatkan pembunuhan dan penangkapan terhadap kaum muslimin di tepi barat. Dan yang akhirnya menjadikan Yahudi menghancurkan Al Aqsa dengan tenang, sementara mereka yakin bahwa aktifitas mereka ini tidak akan memancing penduduk Gaza, lantaran mereka sibuk dengan peperangan interen. Oleh karena itu kami menyeru kepada seluruh orang yang bertauhid dan ikhlas agar berlepas diri dari perjanjian damai yang batil ini.


Ketiga: Serangan roket atau penyerangan terhadap Yahudi yang muncul sebagai reaksi yang wajar, akan ditafsirkan sebagai tindakan yang merusak kepentingan nasional, yang akan dijadikan pemerintah sebagai alasan untuk memerangi atau menangkap mujahidin. Dan menteri luar negeri pemerintahan Hammas telah menegaskan hal itu. Lalu apa solusinya?


Keempat: Apakah imbalan atas penjagaan universitas Islam dan lembaga-lembaga pemerintahan di Gaza adalah dengan dihancurkannya masjidil Aqsa?


Kelima: Keluarnya mujahidin untuk memerangi Yahudi atau untuk menghujani mereka dengan roket akan memaksa mereka untuk berkonfrontasi dengan pemerintah yang berkuasa atas Gaza, yang hal itu pasti akan mengakibatkan meletusnya peperangan dan pembunuhan di tengah-tengah kaum muslimin, dan inilah yang diinginkan oleh Yahudi. Jadi apa yang bisa dilakukan oleh seorang mujahid, sementara pemerintah menghalanginya untuk memerangi Yahudi? Apakah Brigade Al Qassam telah menjadi penjaga perbatasan untuk Yahudi?


Keenam: Jika kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan Palestina itu tidak memahami strategi Yahudi untuk membengkokan dan memecah belah umat dengan cara mengadakan perjanjian damai antara satu fihak dengan satu fihak, lalu mereka membunuh fihak pertama kemudian fihak kedua, lalu kenapa mereka menceburkan diri mereka dalam peperangan yang tidak jelas ini?


Ketujuh: Kami tidak berperang untuk batu dan tanah, sedangkan darah seorang muslim itu bagi kami lebih suci daripada ka’bah, apalagi masjidil Aqsa. Kami tidak hendak memerangi kaum muslimin, atau menjadi faktor terbunuhnya seorang muslim. Akan tetapi serangan Yahudi terhadap masjidil Aqsa adalah serangan terhadap Islam, dan orang yang diam terhadap kejahatan ini berarti sepakat dengan Yahudi. Dan tidak atas tindakan Yahudi berarti ridlo dengan tindakan tersebut atau tidak merasa sedih dengannya. Sedangkan kami lebih mulia daripada sekedar menyibukkan diri dengan dunia atau memerangi kaum muslimin sehingga melalaikan kami melindungi tanah suci umat Islam.


Oleh karenanya, wahai umat Islam: Ingat-ingatlah Allah dalam menjaga agama kalian. Ingat-ingatlah Allah dalam menjaga Al Aqsa. Sungguh tempat isra’ Nabi kalian dalam bahaya. Apa yang akan kalian katakan kepada Allah dan Rasul-Nya sallAllahu ‘alaihi wa sallam jika masjidil Aqsa dihancurkan?


Tidak akan diterima udzur kalian dalam proses normalisasi semu yang dengannya kalian belenggu para lelaki. Orang yang lemah adalah orang yang duduk di rumahnya dan mengatakan: Apa yang dapat aku kerjakan? Sedangkan pengkhianat adalah orang yang lebih mengutamakan kepentingan Gaza dan penduduknya daripada Al Quds dan masjidil Aqsa.


Ya Allah, bukankah telah kami sampaikan, ya Allah saksikanlah.
Ya Allah, bukankah telah kami sampaikan, ya Allah saksikanlah.
Ya Allah, bukankah telah kami sampaikan, ya Allah saksikanlah.

Dan akhir dari seruan kami, segala puji bagi Allah Rabbul ‘Alamiin.


Divisi Media Jaish Al-Islam
Bumi ribath


Sabtu, 15 sya’ban 1429 H
Bertepatan dengan 16 August 2008 M


Sumber : Markas Media Sada Al Jihad


Front Media Islam Global
(Pengawas Informasi Mujahidin dan Pengobar Semangat kaum Mukminin )

Penterjemah : Forum Islam Al-Tawbah

26 Agustus 2008

Tuntutan Jihad Melalui Tandzim Yang Terpimpin....dari sites altawbah

Setelah diketahui bahwa jihad seorang diri itu tergolong jihad yang dibenarkan dan syah yang mengantarkan pelakunya kepada mati syahid, bukan berarti mengabaikan manajement sebuah peperangan yang telah dikendalikan oleh sebuah organisasi. Karena Allah pun telah menyebutkan pentinya pasukan jihad yang teratur dan terkendali.
Dalam firmannya;
" إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنْيَانٌ مَّرْصُوصٌ “
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh."
Dapat kita teliti bahwa kepentingan ini bisa di bagi dua sisi; pertama, karena tuntutan kondisi kaum muslimien yang mengharuskan untuk mengambil musabab munculnya kekuatan, kekokohan dan keteguhan. Kedua; karena adanya dalil-dalil dan nash syar’i.
Adapun pertama, karena kekuatan musuh hari ini – berupa negara atau organisasi – telah maksimal menghadapi kaum muslimien dengan dibekali berbagai musabab kekuatan; sesuatu yang terorganisir dan terprogram, adanya persiapan-persiapan baik dari segi senjata atau pun personal dan lain sebagainya.
Sebaliknya kaum muslimien – termasuk menyia-nyiakan – menghadapi musuh yang kuat dengan musabab yang lemah dan kalah; gerakan yang cenderung sendri-sendiri, atau mental sufistis yang salah dalam tawakkal!!!
Adapun alasan dalil-dali syari’I, Allah ta’ala telah memerintahkan kaum musliemien agar bersiap-siap dan menempuh musebab datangnya kekuatan untuk memberikan rasa takut pada orang-orang kafir dan murtadz.
Allah berfirman;
" وَأَعِدُّوا لَهُم مَّااسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَتَعْلَمُونَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَاتُنْفِقُوا مِن شَىْءٍ فِي سَبِيلِ اللهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَتُظْلَمُونَ {60}" الأنفال : 60
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (60)
berdasar ayat diatas, wajib kepada kaum muslimien untuk menempuh semua musebab kekuatan dan kemenangan maadi dan maknawi, sehingga dapat menakuti musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kaum muslimien dari golongan kafir dan munafaqin, yang diantaranya adalah; Al-jama’ah, terorganisir, perencanaan, kepemimpinan dan ketaatan, yang mana jihad tidak berjalan dengan benar tanpa ada unsure tersebut dan unsure tersebut termasuk permulaan yang durury untuk I’dad yang sesuai dengan syar’i.
Dan telah kita saksikan akan keberadaan tho’ifah mansuroh atau sekelompok umat islam yang bersamanya kebenaran sebagaimana rosul sabdakan. Mereka berperang di jalan Allah. Hari ini mereka ada, yaitu di zaman ketika tidak adanya kekhilafahan hingga akhir zaman. Sifat tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits :”لا تزال” (senantiasa ada) yang berarti menunjukan keberadaan mereka dan keberlangsungannya hinggga akhir zaman.
Dr. Abdulloh Azzam berkata : Jihad adalah Ibadah Jama’iyyah yang tidak akan terlaksana kecuali dengan adanya jama’ah yang berhadapan dengan masyarkat jahiliyah atau masyarakat kafir. Oleh sebab itu jihad tidak diwajibkan ketika di Mekah karena lemahnya kaum muslimin, sedikitnya jumlah mereka dan ketidak sanggupan mereka untuk menghadapi jahiliyah yang mengandalkan kekuatan dan jumlah.Dan selama jihad itu merupakan ibadah jama’iyyah, maka yang memegang perkara ini haruslah amirul jama’ah muslimah dan dialah yang mengumumkan jihad. (I’lanul Jihad, Dr. Abdulloh Azzam, hal. 8)
Dengan demikian, maka apakah masuk akal bahwa mereka thoifah mansuroh tersebut –yang diantara sifat yang masyhur berperang di jalan Allah – melaksanakan kewajiban jihad dengan sendiri-sendiri tanpa terorganisir, atau mereka berperang dengan kelompok yang terorganisir dan selalu mencari musebab datangnya kemenangan ???
Kemudian, hendaknya mereka melihat kepada sejarah Rosulullah saw dan para sahabatnya, ketika mereka belum memiliki daulah islam. Apakah mereka bergerak dalam dakwah sendiri-sendiri tanpa adanya tandzim dan ketaatan pada rosulullah saw, ataukah mereka bergerak dengan tandzim yang rapi dan ketaatan atas nabi saw ???
Dalam hadits rosul sabdakan;"عليكم بالجماعة و إياكم و الفرقة, فإن الشيطان مع الواحد و هو من الإثنين أبعد, ومن أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة" الترمذي : 1758 “hendaknya kalian mengikuti Aljama’ah dan jauhilah perpecahan, karena sesungguhnya syaithon itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua orang. Barang siapa yang menginginkan intinya surga hendaknya mengikuti Aljama’ah”(hokum islam fie Ad-Dimokratia Waa Ta’addiyyah Hazbiyyah: 174)
Syekh Abdul Mun'im mustofa Halimah (Abu Bashir) dalam kitabnya at thoifah mansurah setelah beliau menjelaskan tentang salah satu sifat at thoifah al mansurah diantaranya adalah al jihadu fie sabilillah beliau memberikan tanbih (perhatian) bahwa meskipun jihad fie sabilillah adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin ketika tidak adanya khilafah, hendaknya mereka tidak melaksanakannya secara perorangan (individu) karena jihad merupakan ibadah jama'ie dan akan menimbulkan madlarat (bahaya) jika amal jama'ie ini dilakukan secara perorangan. Maka diperlukan adanya tansiq antar harakah jihadiyah untuk melaksanakan kewajiban ini.
Referensi:
- hokum islam fie Ad-Dimokratia Waa Ta’addiyyah Hazbiyyah, Abdul Mun’im Musthofa Halimah: 174
- Jamaa’atul Jihad Aqidatan Waa Manhajan, Maktabah I’lam Lie Jamaa’atul Jihad : 131
- Diroosat haula Al-jamaa’ah Wal Jama’aat, Abdul Hamid Hindawi; 404
Pada Zaman ini kita sedang krisis amal jama’i. alangkah susah menemukan sosok-sosok seperti mereka yang serius dan tenang tanpa banyak bicara, yang berjalan terus secara terarah, tidak goyah dan tidak mudah terpengaruh. Kelompok yang penuh barokah ini terprogram dengan proyeknya. Selama beberapa tahun mereka tidak melenceng dari tujuan yang telah digariskan. Mereka berhati-hati dan mengekang lidah dari banyak bicara sembari terus berlatih menerbangkan pesawat dan hal-hal lain yang dibutuhkan untuk operasi. Walaupun kondisi dunia terus berubah, mereka terus melakukan latihan hingga tercapainya tujuan mereka. Semua ini adalah hal yang langka dan jarang ditemui dalam amal jama’i hari ini. Hal-hal demikian wajib diperhatikan oleh para mujahidin dan orang-orang yang bekerja untuk kemuliaan Dien ini.” (Abu Muhammad Al-Maqdisi, Waqafat Ma’a Tsamrati Al-Jihad.)
Demikianlah sedikit cuplikan dari ucapan Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi tentang kondisi jihad hari ini. Dan pada makalah utama edisi kali ini kembali akan dibahas tentang Tuntutan Jihad Melalui Tanzhim Yang Terpimpin.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
Artinya: Dari Abu Hurairah t bahwasanya Rasulullah r bersabda, “Bila kalian sedang bertiga dalam bepergian maka hendaklah kalian mengangkat salah seorang sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud no 2242)
Hadits ini merupakan landasan tentang disyari’atkannya mengangkat seorang pemimpin pada setiap kondisi sedang bertiga atau lebih. Karena dengan demikian akan menghindarkan dari perselisihan yang berakibat pada kebinasaan. Sebaliknya bila tidak ada yang menjadi pemimpin maka setiap masing-masing bertindak berdasarkan keinginan hawa nafsunya hingga akhirnya berakibat pada kehancuran. Dengan adanya kepemimpinan perselisihan dapat ditekan dan keputusan dapat disatukan.
Maka bila dalam urusan safar saja yang terdiri dari tiga orang disyari’atkan untuk diorganisir secara terpimpin tentunya bagi sekelompok orang yang berdiam dalam satu desa atau kota untuk melawan kezhaliman dan meleraikan pertikaian lebih mendesak dan lebih membutuhkan diorganisir secara terpimpin.
Dan hadits ini juga sebagai landasan bagi yang mengatakan bahwa bagi kaum muslimin wajib untuk mengangkat pemimpin yang dapat mengatur dan memerintah urusan mereka. (Abdul Qadir bin Abdul Aziz, Al-Umdah Fi I’dadil ‘Uddah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Wajib untuk diketahui bahwa kepemimpinan untuk mengurus urusan ummat merupakan kewajiban Din yang paling besar, bahkan Din dan dunia ini tidak akan pernah tegak kecuali dengannya.” (Majmu’ Fatawa).
Oleh karena itu, setiap kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali harus dengan berjamaah atau terorganisasi secara terpimpin, maka hukum berjamaah dibawah komando seorang pemimpin tersebut menjadi sebuah kewajiban.
Sebagaimana kaidah usul menyebutkan;
لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبِ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبِ.
“Sebuah kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan suatu hal maka hal tersebut menjadi wajib.”
Pada kenyataannya, iqamatuddin hari ini menghadapi kekuatan musuh yang terorganisir secara internasional dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi yang terus berkembang. Tak hanya serangan militer yang secara nyata dilancarkan, namun juga serangan ide (pemikiran) yang ternyata justru tak pernah disadari oleh umat Islam.
Maka menolak makar-makar musuh dengan peperangan yang dapat melumpuhkan mereka dan melindungi kehormatan kaum muslimin tidak akan membuahkan hasil yang maksimal kecuali dengan adanya sebuah jamaah yang dipimpin oleh seorang imam. Artinya, kita memang menghajatkan sebuah organisasi yang terpimpin rapi dengan program yang jelas dan terarah.
Hal ini telah menjadi kesepakatan kaum muslimin, sebagaimana kesepakatannya para sahabat untuk mengangkat Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menggantikan peran beliau dalam iqamatuddin, mengatur urusan kaum muslimin dan menjadikan kalimat Allah paling tinggi, sebaliknya kalimat orang kafir menjadi hina. Lalu kaum muslimin dari satu generasi ke generasi berikutnya hidup di bawah sebuah kepemimpinan seorang khalifah.
Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”. [An-Nisa’ ;58]
Al Amanah dalam ayat ini yaitu tanggung jawab kepemimpinan.
Maka Nabi SAW bersabda :
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّة
"Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada baiat maka dia mati menyerupai mati jahiliyah”. (HR Muslim 3441).
Dalam hadits yang lain Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;Barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal, maka seakan-akan ia melepaskan ikatan Islam dari lehernya.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَالْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ الْجَمَاعَةِ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَّا أَنْ يَرْجِعَ
“…dan aku memerintahkan kalian dengan lima perkara yang Allah telah perintahkan kepadaku dengannya; jama’ah, mendengar, taat, hijrah dan jihad fi sabilillah. Maka sesungguhnya siapa yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal niscaya ia telah melepaskan Islam dari lehernya, kecuali bila ia kembali”. (HR. Ahmad 16542, dan Albani mengatakan hadits ini isnadnya shahih tanpa diragukan).
Al Badr Al Aini dalam mengomentari hadits-hadits ini mengatakan bahwa seperti matinya ahli jahiliyah dalam hal mereka tidak memiliki imam yang ditaati dan bukan yang dimaksud adalah mati dalam kekafiran, melainkan mati dalam kemaksiatan. (‘Umdatul Qari’ juz 24 hal 187).
Islam –dalam banyak hal- memberikan tuntunan untuk melaksanakan ibadah secara jama’i, karena hal tersebut lebih banyak mendatangkan barokah dan pahala daripada pelaksanaan secara fardi (individu). Tak hanya sholat, namun melebar hingga seluruh bentuk ibadah dan muamalat. Bahkan dalam masalah furu’ seperti makan, bepergian dan sebagainya, perintah untuk melakukannya secara jama’i sangat ditekankan.
Lantas bagaimana dalam hal menegakkan Islam secara kaffah, upaya dalam membela, memuliakan dan menghilangkan keasingannya, sedangkan kerusakan telah menggenangi bumi dan kebanyakan manusia telah menyimpang dari dien yang lurus?Iqamatuddin atau menegakkan kemuliaan Dien dengan Jihad tentunya, adalah satu amalan yang kesempurnaannya hanya akan tercapai bila dilakukan secara bersama-sama atau dengan amal jama’i.
Apalagi bila melihat dari target iqamatuddin itu sendiri yang menjadi kebutuhan umat Islam hari ini yaitu kekuasaan di muka bumi, kemenangan dan balasan terhadap serangan musuh maka adanya satu tanzhim yang terorganisir dengan baik adalah sebuah kemestian yang harus diwujudkan oleh kaum muslimin.
Syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi menyebutkan bahwa sebuah amal jama’i akan dapat melaksanakan rancangan-rancangan programnya dengan baik dalam rangka untuk meraih target sebuah iqamatuddin bila telah memenuhi dua tuntutan berikut;
Pertama: Kitman (menjaga rahasia)
Kedua: Aktivitas berkesinambungan dengan target tertentu yang terus menerus.
Demikianlah yang harus dipenuhi oleh sebuah amal jama’i. Dan ini merupakan tabiat khusus yang berbeda dengan tabiat bila itu dilakukan oleh perorangan.Sebagaimana bahwa berjihad secara perorangan juga disyari’atkan dan itu adalah sebuah amalan terbaik yang pelakunya juga termasuk penolong Dien.
Namun untuk meraih target yang strategis bagi kemenangan kaum muslimin dan pukulan terhadap musuh, berjihad secara berjama’ah dengan manhaj yang jelas serta menggunakan skala prioritas sesuai tipu daya musuh dan level peperangan mereka juga pimpinan yang menguasai ilmu syar’i dan waqi’ yang mendalam lagi terperinci sehingga ia mampu memandang realita dengan pandangan yang tajam, jeli dan jauh, itu lebih baik, lebih utama dan lebih sempurna.
Wallahu a’lam.
Refrensi:
1- Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
2- Sunan Abi Dawud
3- Al-'Umdah Fi I'dadil 'Uddah, Syaikh Abdul Qadir Abdul Aziz
4- Waqafaat Ma'a Tsamratil Jihaad, Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
5- Harokah Jihad Ibnu Taimiyah, Abdurrohman Bin Abdul Kholiq.