Rambu ke empat:
Jihad tidak tergantung dengan hasil pertempuran
Jihad tidak tergantung dengan hasil pertempuran
Di antara musibah yang merusak keyakinan banyak umat Islam adalah mengkaitkan jihad dengan pertem-puran, artinya jika kita menang dalam pertempuran tersebut berarti prinsip dan landasan jihad kita benar, tapi jika kita mengalami kekalahan berarti prinsip dan manhaj kita keliru.
Keyakinan seperti ini tentu saja batil, baik secara akal maupun syar‘i. Keyakinan ini lahir dari lemahnya kepercayaan diri, minimnya iman dan ketidak mampuan untuk bersabar dan mempertahankan kesabaran tersebut.
Mengapa secara akal batil? Karena tidak ada hubungan baik menurut pendapat orang dan akal antara prinsip dan hasil yang dicapai, sehingga kegagalan hasil sebuah perjuangan tidak bisa menunjukkan batil tidaknya suatu prinsip atau manhaj.
Adapun kebatilannya secara syar‘i, ditunjukan oleh sebuah hadits Nabi SAW di dalam Shohih Bukhori Muslim bahwa beliau bersabda:
(عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ وَالنَّبِيَّانِ يَمُرُّوْنَ مَعَهُمُ الرَّهْطُ وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ)
“Ditampakkan kepadaku umat-umat manusia, ada nabi yang lewat hanya dengan beberapa kelompok orang, bahkan ada nabi yang tidak membawa pengikut sama sekali.”
Lihat, nabi yang tidak membawa pengikut sama sekali, ia datang tanpa membawa hasil sedikitpun dari dak-wahnya. Tidak adanya seorangpun yang masuk Islam bersamanya tentu tidak menunjukkan bahwa dakwah yang ia emban itu batil atau salah –Mahatinggi Alloh dari itu—ketika ia diutus pada waktu dan tempat yang sudah sesuai. Keyakinan kalau berarti dakwah Nabi ini batil tidaklah diyakini selain oleh orang zindiq.
Dalam pentas sejarah, kita banyak memiliki contoh kekalahan, sampai-sampai seorang muslim akan menganggap kekalahan itu menjadi-kan Islam tidak akan tegak kembali. Yang paling dahsyat adalah kekalahan kaum muslimin ketika melawan bangsa Tartar di awal tahun 656 H ketika mereka menyerang Irak dan Syam. Di Irak saja, mereka membu-nuh lebih dari satu juta orang dalam tempo 40 hari, berarti satu hari mereka rata-rata membunuh 25.000 orang. Kerusakan yang mereka timbulkan kian hari kian merajalela, mereka merangsek ke negeri-negeri Islam lainnya dan berhasil meme-nangkan setiap peperangan melawan kaum muslimin.
Ketika Alloh telah menyaring kaum muslimin dan kaum muslimin-pun mulai sadar untuk mematuhi Alloh, pasukan Tartar kembali bertem-pur melawan kaum muslimin di peperangan ‘Ain Jalut, akhirnya Tartar mengalami kekalahan terburuk walau-pun sebelumnya mereka selalu meme-nangkan setiap peperangan. Pada peperangan ‘Ain Jalut ini bisa dipastikan pasukan Tartar lebih kuat daripada ketika awal mula datang, sedangkan kaum muslimin jauh lebih lemah dibandingkan sebelum bangsa Tartar datang ke Baghdad.
Kondisi yang sama terjadi ketika orang-orang Qoromithoh menyerang Irak dan Hijaz di awal abad ketiga hijriyah.
Sebelum semua itu, di Uhud pun tidak jauh berbeda. Ketika perang Uhud terjadi, kaum muslimin kalah menghadapi orang kafir. Setelah itu pada perang Ahzab mereka lagi-lagi ditimpa kesusahan dan kesempitan serta ditimpa kegoncangan. Setelah lewat beberapa waktu, barulah mereka berhasil memenangkan pepe-rangan-peperangan setelahnya, pun-caknya adalah ketika Fathu Mekkah.
Dari penjelasan ini, berarti menggantungkan jihad dengan per-tempuran termasuk hal yang bisa melemahkan moral, dan merupakan penyebab terbesar lemahnya kaum muslimin hari ini. Sebab, baik dulu maupun sekarang, kita tidak pernah memerangi musuh atas dasar jumlah dan persenjataan yang banyak. Lagi pula, kita tidak mungkin akan mengukur peperangan yang kita lakukan atas ukuran-ukuran materi. Yang penting, kalau kita sudah memaksimalkan diri dalam melakukan I‘dad (persiapan, latihan) tanggungan kita sudah selesai walaupun ketika nanti kita berperang kita mengalami kekalahan.
Jadi, menggantungkan kemena-ngan Islam dengan peperangan saja akan mengakibatkan sikap apatis dan meninggalkan jihad hanya lantaran kekalahan tersebut. Kita benar-benar harus mengerti bahwa kita tidak pernah berperang atas dasar jumlah dan perlengkapan yang banyak.
Bisa saja suatu ketika nanti kita banyak dan lebih berposisi di atas angin daripada musuh kita, tetapi kita belum memenuhi syarat standar keimanan untuk meraih kemenangan, sehingga Alloh menimpakan kekalahan dalam rangka tamhish (penyaringan), supaya jiwa kaum muslimin menjadi lebih suci dan barisan mereka tersaring.
Nah, ketika sebuah peperangan kita ukur dengan ukuran materi dan kita menggantungkan harapan kita dengannya, maka ketika perang itu kalah jiwa kita akan menjadi lemah, tekad menjadi kendur dan akhirnya jihadpun ditinggalkan.
Yang benar adalah kita berjihad karena jihad itu ibadah yang wajib dilakukan, tidak peduli apakah kita akan kalah ataukah menang.
Terakhir sebelum mengakhiri pembahasan bagian ini, saya merasa perlu menyampaikan sebuah perkara yang penting, saya khawatir dari semua penjelasan saya tadi orang memahami diri saya meremehkan peperangan antara Islam versus kekuatan kufur internasional yang terjadi di Afghanistan. Tidak, sekali kali tidak. Kita lihat saja nanti apa yang terjadi pasca pertempuran. Kalau kita menang berarti kita berhasil membebaskan leher kaum muslimin dari belenggu perbudakan Amerika dan barat. Tapi jika Alloh takdirkan kita kalah, sesungguhnya seorang muslim yang tulus keislamannya di manapun ia berada di dunia ini cita-cita adalah lebih baik mati sebelum semua ini terjadi, lebih baik ia menjadi makhluk yang tak digubris dan dilupakan orang, hal ini mengingat bagaimana nanti kekejaman Amerika yang bakal dialami kaum muslimin di negerinya sendiri. Oleh karena itu, peperangan kita melawan Amerika di Afghanistan adalah peperangan sa-ngat-sangat menentukan. Kita harus mengkonsentrasikan semua peralatan dan kemampuan agar kita bisa meme-nangkannya dengan izin Alloh Ta‘ala.
Yang kami katakan ini tidak ada sangkut pautnya dengan masalah menggantungkan jihad atau arti sebuah kemenangan dengan pepera-ngan. Karena kalau dalam perang ini kita nanti kalah, orang yang ikut dalam pertempuran itu mundur karena pemahaman seperti ini, dan syiar jihadpun akan melemah, perasaan lemah itu bisa terungkap dari perkataan dan perbuatannya, atau ia sembunyikan dalam batinya sendiri. Sesungguhnya Alloh menintahkan kebenaran dan Dia-lah Dzat yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.