31 Oktober 2008

Prinsip Jihad...syaikh Yusuf bin Sholih Al 'Uyairi rahimahullah...bagian 3

RAMBU KE – TIGA:
JIHAD TIDAK BERGANTUNG DENGAN NEGERI


Setelah kami sebutkan dalil-dalil pada dua pembahasan di atas yang menegaskan bahwa jihad tetap sesuai untuk semua zaman dan bahwa tidak ada satu zamanpun sejak Alloh syariatkan jihad kepada Nabi-Nya Muhammad SAW hingga menjelang hari kiamat kecuali pasti ada panji jihad fi sabilillah yang ditegakkan, akan semakin lengkap jika di sini kami sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa jihad tidak bergantung dengan satu negeri saja, asal sebab syar‘inya ada dan penghalang (mani‘)-nya tidak ada maka jihad bisa dilakukan.

Di antara kekeliruan memahami jihad sehingga pemahanam itu menyimpang adalah menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, ketika di bumi tersebut jihad telah runtuh atau mengalami kehancuran maka secara otomatis akan mengakibatkan ibadah jihad ditinggalkan, ini akibat menggunakan cara memahami jihad yang keliru seperti ini, selanjutnya pemahaman itu akan mengkaburkan arti jihad, atau orang yang memiliki pemahaman tersebut akan menga-takan jihad belum waktunya dilaku-kan.

Sebelum kita lebih dalam menyelami apa itu ibadah jihad, ada satu pemahaman agung yang mesti kita tancapkan dengan kokoh dalam rangka menggembleng diri dengan ibadah yang satu ini, yaitu bahwa jihad ini bersifat ‘alami (global, mendunia), tidak dibatasi oleh garis negara dan sekat-sekat tertentu.

Harus dipahami juga bahwa orang Islamlah yang memerlukan ibadah jihad ini jika ia konsisten dalam menyampaikan agama Alloh Ta‘ala dan menyeru manusia untuk kembali kepada robbnya. Seperti yang dilakukan para shahabat –Radhiyallohu ‘Anhum— ketika mereka merambah berbagai pelosok dunia sejak dari ujung barat hingga ujung timur. Mereka membawa risalah yang isinya seperti yang diungkapkan seorang sahabat bernama Rib‘i bin ‘Amir ketika ia ditanya panglima Rustum dari Romawi:
“Apa yang mendorong kalian datang ke mari?”
Rib‘i menjawab:
“Allohlah yang mengirimkan kami, Allohlah yang menakdirkan kami datang dalam rangka membebaskan orang-orang yang Dia kehendaki dari peribadatan kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Alloh saja, membebaskan mereka dari sempitnya dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam, kami dikirim Alloh dengan mengemban agama-Nya untuk kami ajak manusia memeluknya, jika ia menerima maka kamipun terima dia, siapa yang tak mau terima kami perangi dia sampai kapanpun hingga kami menjumpai janji Alloh.”
“Apa itu janji Alloh?” tanya Rustum, “Surga bagi yang mati ketika meme-rangi orang-orang yang membang-kang masuk Islam, dan kemenangan bagi yang masih hidup.” Jawab Rib‘i.
Jadi, para shahabat datang dengan membawa pedang sekaligus Al-Qur’an untuk menaklukkan negeri-negeri di dunia. Karena seorang muslim harus selalu sadar kalau dirinya mengemban risalah Nabi Mu-hammad, maka ia juga harus paham bahwa jihad ini cocok untuk segala zaman dan tempat.

Maksud kami cocok untuk segala tempat, bukan berarti seorang muslim itu melulu berfikir untuk menyulut api peperangan di mana mana, bukan seperti itu maksudnya. Maksud kami cocok untuk segala tempat adalah tempat yang memenuhi syarat dan tidak ada penghalang untuk ditegakkan jihad di sana. Sementara itu, syarat dan penghalang (atau dalam istilah syar‘inya adalah mani‘, penerj.) ini memiliki kaidah-kaidah syar‘i yang tidak akan kita bahas di sini, barangkali akan kita sendirikan pembahasannya nanti.

Intinya, yakin bahwa jihad ini akan terus berlangsung hingga menjelang hari kiamat dan bahwa jihad cocok untuk segala zaman –yang sudah kita bicarakan pada bagian pertama—akan membuat kita yakin bahwa jihad pada hari ini ada di kebanyakan negara di dunia. Maknanya, jihad tidak tergantung dengan negeri di mana ia ada, tetapi tergantung dengan syarat-syaratnya, baik syarat itu berupa sebab dari disyariatkannya jihad atau syarat berupa teknis-teknis yang bisa mendukung operasi jihad. Jihad juga tergantung dengan mani‘-nya ada atau tidak. Maka kapan saja sebab ada dan mani‘-nya tidak ada, maka jihad itu pasti akan membuahkan hasil positif. Dan, tidak mungkin di dunia ini –di negeri manapun—tidak ada sama sekali sebab yang menjadikan jihad disyariatkan dan tidak mungkin di dunia ini penopang-penopang teknis terlaksananya jihad tidak ada sama sekali.

Memahami jihad dari titik tolak ini akan menjadikan seorang muslim bebas dalam menerapkan ibadah jihad, ia tidak akan terpancang dengan negara tertentu, ia tidak akan menggantungkan jihad dengan sebuah negara, ia hanya menggantungkan jihad dengan terpenuhinya syarat dan tidak adanya mani‘, kapan syaratnya ada dan mani‘ nya tidak ada berarti tempat itu cocok untuk menggulirkan jihad.

Hal ini akan semakin jelas kalau kita buka kembali lembaran sejarah.

Dulu, di awal-awal Islam kaum muslimin harus rugi dengan kehi-langan tempat tinggal, kehilangan negeri dan hartanya –yaitu Mekkah—. Meskipun demikian, kaum muslimin tidak kemudian merasa bahwa Islam hanya akan berkembang dari negeri suci tersebut lantaran di sanalah pusat pendukung kemenangan Islam, di antaranya karena Kiblat bangsa arab kala itu adalah Mekkah, Mekkahlah negeri yang disegani bangsa Arab, Mekkahlah negeri terpandang dan penduduknya terkenal. Akan tetapi, Nabi SAW atas perintah Alloh harus keluar dari negeri tersebut untuk me-nyebarkan Islam bukan dari negeri tersebut. Tak pernah Nabi SAW berfikir untuk berhijrah, saat itu beliau berencana untuk pergi ke Yamamah atau Hijir, beliau berdakwah menawarkan dirinya kepada penduduk Thaif (yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Mekkah, penerj.) agar dakwah Islam bisa tersebar dari sana, tapi ternyata Alloh mewahyukan kepada beliau untuk hijrah ke Tayibah (nama lain Madinah, penerj.), maka berhij-rahlah beliau ke sana dan membangun pondasi, membangun penopang jihad dan pertahanan di sana. Mulailah beliau berjuang di negeri hijrah yang beliau tempati, seolah-olah itulah negeri kelahiran beliau. Akhirnya, Islampun menyebar dari selain jengkal tanah yang paling dicintai Alloh dan Nabi-Nya SAW. Inilah kata-kata Rosululloh SAW ketika beliau keluar dari Mekkah dengan berjalan kaki menuju gua Tsur seraya memandang ke arah Mekkah –seperti diriwayatkan Qurthubi dalam buku Tafsir-nya dari Ibnu ‘Abbas ra—: “Ya Alloh…, wahai Mekkah, sungguh engkau adalah tanah yang paling dicintai Alloh, kalau bukan karena orang-orang musyrik yang mendudukimu itu mengusirku, aku tidak akan pernah keluar darimu.”
Setelah itu turunlah ayat:
{وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً{
“Dan betapa banyaknya negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari (penduduk) negerimu(Muhammad),” [1]
(Disebutkan oleh Ats-Tsa‘labi dan ini adalah hadits shohih.)

Tirmizi juga meriwayatkan, demikian juga Al-Hakim dan Ibnu Hibban serta yang lain, bahwa Nabi SAW berujar kepada negeri Mekkah: “Sungguh, engkau adalah negeri terbaik, engkau negeri yang paling kucintai, kalau bukan karena kaumku mengusirku darimu, aku tidak akan tinggal di negeri selainmu.” Dalam riwayat lain: “Demi Alloh, aku tahu bahwa engkau adalah bumi Alloh terbaik dan paling disukai Alloh, kalau bukan karena pendudukmu mengusir-ku darimu, aku tidak akan keluar.”

Demikianlah, beliau tidak mengi-kat dirinya dengan negeri, beliau me-ngikat dirinya dengan syiar-syiar Islam, beliau siapkan tempat dan kondisi di manapun asal bisa me-nerapkan syiar tersebut. Seperti inilah karakter Nabi SAW baik dalam dakwah maupun jihad serta syiar Islam lain-nya.

Sepeninggal beliau, para shaha-bat mengemban panji yang beliau wariskan, mereka mengerjakan seper-ti yang dikerjakan oleh pimpinan mereka. Maka para shahabat merambah ke berbagai penjuru dunia, mereka keluar dari Madinah bukan untuk menyelamatkan agamanya seperti tatkala mereka keluar dari Mekkah, mereka keluar dari negeri paling suci setelah Mekkah itu dalam rangka menyebarkan agama Islam dan menegakkan syiar jihad di belahan bumi timur dan barat.

Ini dijelaskan oleh sebuah hadits riwayat Imam Malik dalam kitab Muwatho’­-nya, beliau menuturkan bahwa Abu `d-Darda’ ra menulis surat kepada Salman Al-Farisi ra untuk bergabung dengan beliau di Madinah sebagai tanah suci, maka Salman membalas dengan kata-kata: “Tanah (negeri) bukan yang menjadikan seorang menjadi suci, yang menja-dikan seseorang suci adalah amalan-nya.”

Jadi, para shahabat tidak meng-gantungkan jihad dengan Mekkah atau Madinah, tidak juga dengan Baitul Maqdis (Palestina), tapi mereka menganggap jihad sebagai ibadah yang mereka beribadah kepada Alloh dengannya di manapun mereka bera-da asal sebab-sebab untuk melaksa-nakan ibadah itu ada.

Seandainya kaum muslimin menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, tentu jihad ini sudah berhenti sejak lama. Karena, kaum muslimin dalam pentas sejarah sudah sekian kali kehilangan kontrol kekuasaan di tempat-tempat yang mereka kuasai sebelumnya.

Menggantungkan jihad demi Masjidil Aqsha saja misalnya, akan menjadikan jihad ini berhenti ketika kaum muslimin tidak mampu membebaskannya dari cengkeraman yahudi atau setelah mereka sudah berhasil membebaskannya. Kedua-duanya menihilkan manath (sebab) jihad satu-satunya sehingga jihadpun tak terlaksana. Ini menampakkan dengan jelas kesalahan orang yang mengatakan bahwa perseteruan antara kita dan yahudi disebabkan memperebutkan tanah. Sungguh tidak benar orang yang mengatakan ini. Pada hakikatnya, permusuhan kita dengan yahudi adalah permusuhan akidah, artinya seandainya kaum muslimin sudah berhasil membe-baskan seluruh negeri Islam dari cengkeraman yahudi, tentu kewajiban selanjutnya adalah memburu dan memerangi mereka hingga ke tengah negerinya sebagaimana dilakukan Nabi SAW dan para shahabat sepeninggal beliau.

Memahami bahwa jihad terkait dengan negeri tertentu adalah pemahaman yang keliru, dampaknya jihad akan berhenti manakala di negeri itu tidak ada jihad lagi. Pemahaman model seperti ini juga akan menihilkan syiar Islam lainnya ketika ia digantungkan kepada sebab-sebab yang tidak diizinkan Alloh.

Inilah yang mesti dimengerti oleh semua, khususnya kita sudah tahu bahwa jihad tidak akan mungkin berhenti di zaman kapanpun. Maka siapa yang menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, mau tidak mau ia akan mengatakan tidak ada lagi jihad ketika di negeri itu jihad sudah berhenti.

[1] (QS. Muhammad: 13)