16 Agustus 2008

Definisi Jihad...Oleh Syaikh Ibnu Qudamah


· Ibnu Mandzur berkata: “Wa Jaahadal ‘Aduwwu mujaahadatan wa jihaadan, artinya: qootalahuu (memeranginya), dan berjihad di jalan Alloh. Di dalam hadits
disebutkan:
« َ لا هِ  جرَة ب  ع  د ْالَفتحِ  وَلكِ  ن جِ  هاد  ونِيٌة »
“Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tinggallah jihad dan niat.”


Al-Jihad (di sini) artinya memerangi musuh; yaitu berusaha sekuat tenaga, mencurahkan segala potensi dan kemampuan berupa kata-kata maupun tindakan. Sedangkan yang dimaksud niat adalah: “Mengikhlaskan amal karena Alloh; artinya tidak ada hijrah lagi setelah penaklukan kota Makkah, sebab sekarang kota itu telah berubah menjadi negara Islam, yang ada tinggal ikhlas dalam jihad dan memerangi orang-orang kafir. Sedangkan jihad maknanya adalah berusaha keras dan mencurahkan segala kemampuan dalam rangka perang, bisa dilakukan juga dengan lisan atau apa saja yang ia mampu.” Selesai perkataan Ibnu Mandzûr.


· Adapun pengertian jihad secara syar‘i adalah memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh dan bahu membahu dalam mengerjakannya, sebagaimana ditafsirkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada sebuah riwayat dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari ‘Amru bin ‘Abasah ia berkata:
“Seorang lelaki bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rosululloh, apakah Islam itu?” beliau bersabda, “Hatimu pasrah kepada Alloh ‘azza wa jalla dan kaum muslimin selamat dari (gangguan) lidah dan tanganmu.” Ia berkata lagi, “Bagaimanakah Islam yang paling sempurna?” beliau bersabda, “Iman.” Ia berkata, “Iman bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Engkau beriman kepada Alloh, malaikatmalaikat- Nya, kitab-kitab-Nya, para rosul-Nya dan hari berbangkit setelah kematian.” Ia berkata lagi, “Iman bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Hijroh.” Ia bertanya, “Apakah hijroh itu?” beliau bersabda, “Engkau jauhi keburukan.” Ia berkata, “Hijroh bagaimana yang paling utama?” beliau bersabda, “Jihad.” Ia bertanya, “Apakah jihad itu?” beliau bersabda, “Engkau perangi orang-orang kafir jika engkau bertemu dengan mereka.” Ia berkata, “Jihad bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Siapa saja yang kuda terbaiknya terluka dan darahnya tertumpah.” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kemudian dua amal yang keduanya merupakan amalan terbaik kecuali kalau ada yang melakukan yang semisal; hajji mabrur dan umroh.”( HR.Ahmad dan Ibnu Majah)


Dengan tafsiran tentang jihad seperti tertera dalam hadits Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di atas inilah para ulama Islam menafsirkan jihad, di antaranya:
- Ibnu Hajar rahimahullah berkata (mengenai definisi jihad): “Mencurahkan semua kemampuan dalam rangka memerangi orang-orang kafir.”
- Al-Qosthalani rahimahullah berkata, “Memerangi orangorang kafir untuk membela Islam dan untuk meninggikan kalimat Alloh.”
- Al-Kasani Rahimahullah berkata: “Dalam kebiasaan penggunaan istilah syara‘, jihad dipakai untuk makna mencurahkan semua potensi dan kekuatan dengan membunuh (perang) di jalan Alloh ‘azza wa jalla, baik dengan jiwa, harta, lisan dan lain sebagainya, ataupun mengerahkan tenaga dalam hal itu.”
- Penulis Ad-Durrul Mukhtaar berkata, “Mengajak kepada agama yang benar serta memerangi orang yang tidak mau menerimanya.”


Terkadang, jihad di dalam nash-nash syar‘i digunakan untuk selain makna memerangi orang-orang kafir. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mujahid adalah yang berjihad melawan nafsunya dalam rangka taat kepada Alloh, dan muhajir adalah yang meninggalkan semua yang Alloh larang.”


Demikian juga sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terhadap orang yang meminta izin kepada beliau ikut berjihad, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” ia berkata, “Masih.” Beliau bersabda, “Berjihadlah untuk keduanya.”


Hanya saja, lafadz jihad jika disebut secara mutlak, maka maksudnya adalah memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh ta‘ala dan tidak dibawa kepada makna lainnya kecuali bila ada qorinah (bukti pendukung) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan itu, contohnya seperti dalam dua hadits tadi.


- Ibnu Rusyd berkata di dalam Muqoddimat-nya (I/ 369):
“Dan jihad pedang adalah memerangi orang-orang musyrik demi diin (agama). Maka, siapa saja yang melelahkan dirinya karena Alloh berarti ia telah berjihad di jalan-Nya. Hanya saja, jika kata jihad disebut secara mutlak, maka maknanya tidak dibawa kecuali kepada makna berjihad
melawan orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam, atau memberikan jizyah dari tangan sementara mereka dalam keadaan hina.”


Di antara dalil yang menunjukkan bahwa jihad jika disebut secara mutlak tidak dibawa kepada makna selain memerangi orang-orang kafir adalah sebagai berikut:


1. Dari Abu Huroiroh RA ia berkata:
“Datang seorang lelaki kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu ia berkata, “Tunjukkan kepadaku amalan yang menyamai jihad.” Beliau bersabda, “Aku tidak menemukannya.”. “Mampukah salah seorang dari kalian apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk ke masjidmu kemudian sholat dan tidak pernah berhenti dan puasa serta tidak berbuka?” lanjut beliau. Ia berkata, “Siapa yang mampu melakukannya.”

Abu Huroiroh berkata, “Sungguh kuda mujahid benarbenar akan terus ditulis kebaikan-kebaikan sepanjang hidupnya.” (HR. Bukhori – Muslim).


Bukti petunjuk hadits ini terhadap makna jihad sangatlah jelas; sholat dan puasa termasuk jihad melawan hawa nafsu, meskipun demikian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku tidak temukan amalan yang menyamai jihad.”


Sehingga ini menunjukkan bahwa yang dimaksud jihad apabila disebut secara mutlak adalah berjihad melawan orang-orang kafir, bukan melawan hawa nafsu.


2. Dari Abu Sa‘id Al-Khudhri RA berkata:
“Dikatakan: “Wahai Rosululloh, siapakah manusia terbaik?” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Para shahabat mengatakan, “Kemudian siapa?” beliau bersabda, “Orang mukmin yang berada di lembah-lembah; bertakwa kepada Alloh dan menjauhi kejahatan manusia.” (HR. Bukhori dan Muslim)


Orang yang bertakwa kepada Alloh di satu lembah itu berjihad terhadap nafsunya, bersamaan dengan itu, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membawa makna jihad kepada artian memerangi orang-orang kafir.


3. Dari Abu Huroiroh RA ia berkata:
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Alloh dan rosul-Nya, menegakkan sholat dan berpuasa di bulan Romadhon, maka menjadi hak Alloh memasukkannya ke dalam surga; ia berjihad di jalan Alloh, atau duduk di tanah di mana ia dilahirkan.” Para shahabat mengatakan, “Tidakkah kita beri kabar kembira kepada manusia wahai Rosululloh?” Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya di surga ada seratus derajat, Alloh siapkan bagi para mujahidin di jalan-Nya, antara kedua derajat seperti antara langit dan bumi. Maka jika kalian meminta kepada Alloh, mintalah surga firdaus, sesungguhnya itulah tengah dan puncaknya surga, di atasnya ada ‘Arsy Ar- Rohman, dan dari sanalah sungai-sungai surga mengalir.” (HR. Ahmad dan Bukhori)


Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyebut orang yang duduk di tanah kelahirannya bukan sebagai mujahid, padahal ia berjihad terhadap hawa nafsunya dengan cara sholat dan berpuasa serta jihad nafs lainnya dalam rangka memikul beban-beban syar‘i.


Semua ayat dan hadits yang menunjukkan keutamaankeutamaan jihad, maka arti jihad tersebut adalah jihad yang benar-benar jihad; yaitu memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh ta‘ala, tidak dibawa kepada makna jihad melawan hawa nafsu.

Demikian juga para ulama Islam; para muhadditsin dan fuqoha, jika mereka meletakkan bab jihad dalam buku-buku mereka maka yang dimaksud adalah jihad melawan orangorang kafir dalam artian perang, bukan berjihad melawan hawa nafsu. Satu hal yang mesti diperhatikan: Jihad melawan nafsu bukanlah jihad terbesar secara mutlak sebagaimana klaim kaum Tasawwuf dan orang-orang yang mengaku berilmu yang mereka menarik-narik manusia untuk tidak berjihad sebenarnya.

Mengenai hadits yang berbunyi: “Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar…” ini adalah hadits dho‘if, tidak shohih; Al-Baihaqi, Al-Iroqi serta As-Suyuthi menilainya dho‘if, demikian juga Al-Albani di dalam Dho‘if Al-Jaami‘ Ash- Shoghiir, juga ulama-ulama lainnya –rahimahumullah–. Amirul Mukminin fil Hadits, Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan di dalam kitab Tasdiidul Qous bahwa hadits tersebut masyhur dibicarakan padahal sebebarnya itu berasal dari kata-kata Ibrohim bin ‘Ablah –seorang Tabi‘i `t-Tabi‘in—.

Al-Iroqi berkata dalam takhrij hadits-hadits Al-Ihya’: “Dirawayatkan Al-Baihaqi dengan sanad dho‘if dari Jabir.” Bukti paling jelas yang menunjukan bahwa hadits ini tidak benar adalah bahwa yang mengucapkannya (kalau memang ini hadits) yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –di mana mereka menisbatkan hadits tadi kepada beliau— sama sekali tidak duduk berpangku tangan dari berperang. Namun beliau terjun berperang selama di Madinah sebanyak tiga kali tiap tahunnya, belum lagi berbicara sariyah-sariyah. Demikian juga dengan murid-murid beliau; mereka terdidik dengan jihad yang sambung menyambung. Seandainya yang mereka katakan benar, orang berakal itu akan memulai latihan menanggung yang kecil-kecil dulu, lalu yang besar, lalu yang lebih besar. Sehingga ia meningkat dari yang terendah hingga yang tertinggi. Maka, mulailah dari jihad terkecil –menurut kalian tadi— baru yang besar.


Hanya saja, kami katakan: jihad pedang dan jihad melawan hawa nafsu tidaklah saling mengganggu, keduaduanya tetap bagian dari Islam, salah satu tidak boleh ditinggalkan dengan alasan sibuk dengan yang lain, sama halnya dengan belajar ilmu yang fardhu ain yang tidak boleh
ditinggalkan dengan alasan sibuk mentarbiyah diri.


Hadits (dho‘îf) tadi juga menyelisihi firman Alloh ta‘ala:
َ لا ي  ستوِى اْلَقاعِ  دو َ ن مِ  ن اْل  م  ؤمِنِ  ين َ غير ُأ  ولِى ال  ضررِ  واْل  م  جاهِ  دو َ ن فِي  سبِيلِ
اللهِ بَِأ  م  والِهِ  م  وَأنُفسِهِ  م َف  ض َ ل اللهُ اْل  م  جاهِدِي  ن بَِأ  م  والِهِ  م  وَأنُفسِهِ  م  عَلى
اْلَقاعِدِي  ن د  ر  جًة  و ُ ك  لا  و  ع  د اللهُ اْل  ح  سنى  وَف  ض َ ل اللهُ اْل  م  جاهِدِي  ن  عَلى
اْلَقاعِدِي  ن َأ  جرا  عظِي  ما
“Tidaklah sama antara orang-orang yang hanya duduk dari kalangan mukminin yang tidak memiliki uzur dan orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwanya. Alloh lebih utamakan orang yang berjihad dengan harta dan nyawanya di atas orang-orang yang duduk satu derajat. Dan masing-masing Alloh janjikan pahala yang baik. Dan Alloh lebihkan para mujahid di atas orang-orang yang duduk berupa pahala besar.” (An-Nisa’: 95)


Menyebut perang melawan orang-orang kafir sebagai jihad kecil juga tidak ditunjukkan oleh satu dalil pun dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lagi pula, orang yang berjihad terhadap hawa nafsu dengan sungguh-sungguh sampai berhasil menaklukkannya pasti akan bersegera untuk melaksanakan perintah Alloh ‘azza wa jalla untuk memerangi orang-orang kafir. Sedangkan orang yang tidak ikut dalam memerangi orang-orang kafir, pada dasarnya ia bukanlah orang yang berjihad melawan hawa nafsu dalam rangka melaksanakan perintah Alloh. Maka berdalih dengan jihad melawan nafsu untuk membenarkan sikap berpangku tangan termasuk kilah syetan yang ujung-ujungnya akan memalingkan kaum muslimin untuk berjihad melawan musuh-musuh mereka.


Inilah Sayyidah Aisyah RA, ia pernah bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah wanita ada kewajiban jihad?” beliau bersabda, “Mereka ada kewajiban jihad yang tanpa perang: hajji dan umroh.” (Isnadnya shohih, riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).

Sedangkan di dalam riwayat Bukhori disebutkan: Aisyah berkata: “Kami melihat jihad adalah sebaik-baik amalan, lantas mengapa kami (kaum wanita) tidak berjihad?”


Jadi, ‘Aisyah memahami bahwa jihad adalah perang. Dan, apakah maksud para shahabat yang mulia ketika mereka mengatakan kalimat yang cukup masyhur:
ن  ح  ن الَّذِي  ن بايع  وا م  ح  م  دا  عَلى اْلجِ  هادِ ما بقِينا َأبدًا
Kami adalah orang-orang yang berbaiat kepada Muhammad… Untuk berjihad selama kami masih hidup…Apakah mereka memiliki maksud lain selain jihad bermakna
perang?!


Dengan kata lain: Orang yang meninggalkan hal-hal haram disebut orang berpuasa karena ia puasa dari perkara-perkara haram, akan tetapi apakah maknanya ia diperbolehkan tidak berpuasa dalam arti sebenarnya yaitu puasa Romadhon?!

Padahal, Robb kita berfirman:
ُ كتِ  ب  عَلي ُ ك  م اْلقِتا ُ ل
“Diwajibkan atas kalian berperang…”(QS. Al Baqoroh: 216)

Sebagaimana Dia berfirman:
ُ كتِ  ب  عَلي ُ ك  م ال  صيام
“Diwajibkan atas kalian berpuasa…”(QS. Al Baqoroh: 183)


“…Apakah kalian beriman dengan sebagian kitab dan
mengkufuri sebagian yang lain.”? (QS. Al Baqoroh: 85)


Sebagian orang bersikeras untuk mengkaburkan makna jihad ini dengan mengatakan, “Kami juga sedang berjihad ini!!” mereka bertujuan membenarkan sikap duduk mereka dari perang. Setelah Anda lihat kehidupannya, ternyata ada yang jadi pegawai untuk menghidupi keluarganya, yang satu lagi jadi pedagang, yang lain jadi karyawan, yang ini jadi petani, yang itu mengajar di Fakultas Syariah, Kedokteran, Ekonomi, Ilmu Politik atau…dst, semuanya mengklaim dirinya sebagai mujahid (orang yang berjihad) dan berarti boleh meninggalkan perang…! Benar, mereka menganggap dirinya sebagai mujahid sementara di negerinya ia makan minum, mengajar dan bekerja.

Bahkan, tanpa malu-malu ada juga yang menganggap apa yang ia lakukan sekarang lebih baik daripada perang itu sendiri!


Orang-orang berpefikiran rusak dan biasa menyimpangkan makna seperti mereka mesti diberi penjelasan kembali dari Al- Qur’an dan As-Sunnah serta sejarah para tabi‘in yang mengikuti para pendahulunya dengan kebaikan.
Seandainya benar klaim mereka, Alloh SWT dan nabi-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir, tidak akan memotivasi agar melaksanakannya, tidak akan ada keterangan tentang wajibnya berperang, tidak ada pengobaran semangat kaum muslimin untuk berperang dengan menyebutkan pahala para mujahidin dan para syuhada, tidak ada ancaman keras, janji hukuman dan siksa pedih bagi orang yang tidak ikut berjihad.

Fase-Fase Turunnya Jihad...Oleh Sulaiman Ibnu Walid Damanhuri



Para ulama’ menyebutkan bahwa ibadah jihad disyari’atkan melalui empat tahapan sebagai berikut :

[1]- Tahapan larangan untuk berperang dan perintah untuk bersabar menghadapi gangguan dan cercaan orang-orang musyrik sembari terus menyebarkan dakwah.

Selama 13 tahun masa dakwah di Makkah, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk memaafkan seluruh gangguan orang-orang musyrik. Beliau dan para sahabat dilarang untuk membalas atau memerangi mereka. Meski siksaan dan gangguan orang-orang musyrik sudah kelewat batas dan banyak sahabat jatuh menjadi korban, Rasulullah tetap memerintahkan seluruh sahabat untuk bersabar.

عَنْ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ رَضِي اللَّه عَنْهمَا أَخْبَرَهُ (...وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ يَعْفُونَ عَنِ الْمُشْرِكِينَ وَأَهْلِ الْكِتَابِ كَمَا أَمَرَهُمُ اللَّهُ وَيَصْبِرُونَ عَلَى الْأَذَى. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَلَتَسْمَعُنَّ مِنِ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنِ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا ) الْآيَةَ. وَقَالَ اللَّهُ (وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ ) إِلَى آخِرِ الْآيَةِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَأَوَّلُ الْعَفْوَ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ بِهِ حَتَّى أَذِنَ اللَّهُ فِيهِمْ ..)
Usamah bin Zaid radiyallahu 'anhu berkata,” Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam dan para sahabat memaafkan orang-orang musyrik dan ahlu kitab sebagaimana perintah Allah kepada mereka (untuk memaafkan). Beliau dan para sahabat bersabar atas gangguan (orang-orang musyrik dan ahlu kitab).

Allah berfirman (artinya)” Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan."[QS. Ali Imran :186].

Allah berfirman (artinya),” Banyak orang-orang ahli kitab yang sangat ingin sekali memurtadkan kalian dikarenakan kedengkian pada diri mereka.” [QS. Al Baqarah :109]. Beliau melasanakan perintah Allah untuk memaafkan, sampai Allah mengizinkan beliau (untuk membalas).”[1]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَأَصْحَابًا لَهُ أَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي عِزٍّ وَنَحْنُ مُشْرِكُونَ فَلَمَّا آمَنَّا صِرْنَا أَذِلَّةً فَقَالَ إِنِّي أُمِرْتُ بِالْعَفْوِ فَلَا تُقَاتِلُوا. فَلَمَّا حَوَّلَنَا اللَّهُ إِلَى الْمَدِينَةِ أَمَرَنَا بِالْقِتَالِ فَكَفُّوا فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ).
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Abdurahman bin Auf dan beberapa sahabat mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam saat masih di Makkah dan berkata,”Wahai Rasulullah, kami dahulu ketika masih musyrik adalah orang-orang yang mulia, tetapi setelah kami beriman kami justru menjadi orang-orang yang hina.” Maka beliau menjawab,” Aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah kalian memerangi mereka.”

Ketika Allah memindahkan kami ke Madinah dan Allah memerintakan kami untuk berperang, kami justru tidak berperang. Maka Allah menurunkan ayat (Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka:"Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari takutnya…"[2]

Hadits-hadits ini menunjukkan, larangan berperang selama masa dakwah di Makkah disebutkan dalam firman Alloh :

فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
“ Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai datang perintah Allah (untuk memerangi / membalas ).” [QS. Al Baqarah :109].

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًىكَثِيرًا وَإِن تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُورِ
" Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan." [QS. Ali Imran :186]

أَلَمْ تر إلى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقُُ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لولا أخرتنا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلُُ والآخرة خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً
“ Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka:"Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari takutnya. Mereka berkata:"Ya Rabb kami, mengapa engkau wajibkan berperang kepada kami Mengapa tidak engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi" Katakanlah:"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun."(QS. An-Nisa’: 77).

قُل لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لاَيَرْجُونَ أّيَّامَ اللهِ لِيَجْزِيَ قَوْمًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“ Katakanlah kepada orang-orang yang beriman untuk memaafkan orang-orang (musyrik) yang tidak mengharapkan hari (perjumpaan dengan) Allah.” [QS. Al Jatsiyah :14].
Dalam fase dakwah Makkah ini tidak ada jihad dalam artian perang. Yang ada sebatas jihad dakwah, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

فَلاَ تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“ Maka janganlah kau mentaati orang-orang kafir itu dan lawanlah mereka secara sungguh-sungguh dengan Al Qur’an.” [QS. Al Furqan :52].


[2]- Diperbolehkan berperang untuk membela diri dan tidak diwajibkan.

Hal ini disebutkan dalam firman Alloh :

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“ Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (Al-Hajj: 39)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا أُخْرِجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَكَّةَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَخْرَجُوا نَبِيَّهُمْ لَيَهْلِكُنَّ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ ) الْآيَةَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ سَيَكُونُ قِتَالٌ
Dari Ibnu Abbas ia berkata,” Ketika Nabi diusir dari Makkah, sahabat Abu Bakar berkata,” Mereka mengusir nabi mereka. Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un. Mereka benar-benar akan binasa.” Maka turunlah ayat [QS. Al Hajj:39]. Abu Bakar berkata setelah turunnya ayat ini,” Aku tahu setelah ini akan terjadi perang.”[3]

[3]- Diwajibkan berperang hanya jika kaum muslimin diserang.

وَ قَاتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللهِ الذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَكُمْ
“ Dan berperanglah di jalan Alloh melawan orang-orang yang memerangi kalian.” (QS. Al-Baqoroh: 190)

فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلاً {90} سَتَجِدُونَ ءَاخَرِينَ يُرِيدُونَ أَن يَأْمَنُوكُمْ وَيَأْمَنُوا قَوْمَهُمْ كُلَّ مَارُدُّوا إِلَى الْفِتْنَةِ أُرْكِسُوا فِيهَا فَإِن لَّمْ يَعْتَزِلُوكُمْ وَيُلْقُوا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ وَيَكُفُّوا أَيْدِيَهُمْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأُوْلاَئِكُمْ جَعَلْنَا لَكُمْ عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا مُّبِينًا
“ Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum,yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka. (90)
Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman(pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun ke dalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dimana saja kamu menemui mereka, dan merekalah orang-orang yang kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka. " [QS. An Nisa’ :90-91].

[4]- Diwajibkan memerangi seluruh orang musyrik meskipun mereka tidak memerangi kaum muslimin, termasuk memerangi mereka di negeri mereka, sampai mereka mau masuk Islam atau membayar.

Inilah fase terakhir perintah jihad yang turun sebelum Rasulullah wafat. Fase ini merupakan fase niha’i (final, terakhir) perintah jihad, yang ditandai dengan turunnya ayat saif (pedang), yaitu firman Alloh :

فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ
“ Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.” (At-Taubah: 5).
Allah juga berfirman :

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“ Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29)
Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“ Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka menyaksikan tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Bila mereka telah melakukan hal itu, maka mereka telah menjaga darah dan harta mereka, sementara perhitungan amal mereka di sisi Allah.”[4]

اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا
“ Berperanglah di jalan Allah, dengan nama Allah, perangilah orang yang kafir (tidak beriman kepada Allah), berperanglah dan janganlah kalian mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan, jangan mengkhianati perjanjian, jangan mencincang, jangan membunuh anak-anak!.”[5]
Imam Ibnu Qoyyim meringkasnya dalam perkataan beliau :

وَكَانَ مُحَرَّماً ثُمَّ مَأْذُوناً بِهِ ثُمَّ مَأْمُوراً بِهِ لِمَنْ بَدَأَهُمْ بِالْقتِاَلِ ثُمَّ مَأْمُوراً بِهِ لِجَمِيعِ اْلمُشْرِكِينَ
“ Jihad itu awalnya diharamkan, lalu diijinkan, lalu diperintahkan melawan orang yang menyerang terlebih dahulu, lalu diperintahkan untuk memerangi seluruh orang-orang musyrik.”[6]
Ibnu Qoyyim berkata,“ Maka keadaan orang kafir setelah turun surat At-Taubah ditetapkan menjadi tiga kelompok, yaitu Muharibin, Ahlu ‘Ahdin dan Ahlu Dzimmah. Ahlul ‘Ahdi wash Shulhi (dianggap) tergabung ke dalam negara Islam, maka orang kafir tinggal dua macam saja yaitu Muharibin dan Ahludz Dzimmah.”[7]
Ketika menafsirkan firman Alloh (فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ) Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu..”(At-Taubah: 5), imam Ibnul ‘Arobi berkata,“ Ayat ini menasakh seratus empat belas ayat.”[8]
Imam Ibnu Athiyah berkata tentang ayat saif :

وَهَذِهِ اْلآيَةُ نَسَخَتْ كُلَّ مُوَادَعَةٍ فِي اْلقُرْآنِ أَوْ مَا جَرَى مَجْرَى ذَلِكَ، وَهِيَ عَلَى مَا ذُكِرَ مِائَةُ آيَةٍ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ آيَةً
“ Ayat ini menaskh seluruh ayat Al Qur’an yang memerintahkan perjanjian damai dan hal yang semakna dengannya, yang menurut para ulama berjumlah 114 ayat.”[9]
Imam Ath Thabari mengatakan tentang QS. Al Baqarah :109 :

فَنَسَخَ اللهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ الْعَفْوَ عَنْهُمْ وَالصَّفْحَ بِفَرْضِ قِتَالِهِمْ حَتىَّ تَكُونَ كَلِمَتُهُمْ وَكَلِمَةُ اْلمُؤْمِنِينَ وَاحِدَةً أَوْ يُؤَدُّوا اْلجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ صِغَاراً
“ Allah Ta’ala menaskh perintah memaafkan dan membiarkan dengan mewajibkan mereka memerangi orang-orang musyrik sampai kalimat (dien) mereka dan kalimat (dien) kaum muslimin satu atau mereka membayar jizyah dalam keadaan hina.” Beliau kemudian menyebutkan bahwa perkataan Ibnu Abbas, Qatadah, dan Rabi’ bin Anas yang menunjukkan ayat saif telah menaskh ayat-ayat yang memerintahkan untuk memaafkan."[10]
Imam Al Qurthubi mengatakan tentang QS. Al Baqarah ;109 :

هَذِهِ اْلآيَةُ مَنْسُوخَةٌ بِقَوْلِهِ : ]قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ[، عَنِ بْنِ عَبَّاٍس وَقِيلَ : النَّاسِخُ لَهَا: ] فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ [
“ Ayat ini telah dinaskh oleh ayat “ Perangilah orang-orang yang tidak beriman..dalam keadaan hina.” [QS. At Taubah :28]. Inilah pendapat Ibnu Abbas. Ada juga yang berpendapat bahwa yang menaskh adalah firman Allah,” Maka bunuhlah orang-orang musyrik.” [QS. At Taubah :5].[11]
Tentang firman Allah QٍS. At Taubah 73 :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“ Wahai nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik dan perlakuan mereka secara keras (tegas).” Imam Al Qurthubi mengatakan :

وَهَذِهِ اْلآيَةُ نَسَخَتْ كُلَّ شَيْءٍ مِنَ اْلعَفْوِ وَالصَّفْحِ
“ Ayat ini menaskh setiap ayat yang memerintahkan untuk memaafkan dan membiarkan.”[12]
Begitu juga dengan imam Ibnu Katsir. Setelah menyebutkan pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan ayat saif telah menaskh seluruh ayat yang memerintahkan bersabar dan tidak melawan, beliau berkata :

وَكَذَا قَالَ أَبُو ْالعَالِيَةَ وَالرَّبِيعُ بْنُ أَنَسٍ وَقَتَادَةُ وَالسُّدِّيُّ :إِنَّهَا مَنْسُوخَةٌ بِآيَةِ السَّيْفِ،وَيُرْشِدُ إِلَى ذَلِكَ أيَْضاً قَولُهُ تَعَالَى: ] حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ [
“ Demikian juga pendapat imam Abu Aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah dan As Sudi bahwa ayat-ayat memaafkan telah dinaskh oleh ayat saif. Hal ini juga ditunjukkan oleh ayat,” Sampai datangnya perintah Allah.”[13]
Imam Ibnu Hazm juga mengatakan :

وَنُسِخَ اْلمَنْعُ مِنَ الْقِتَالِ بِإِيجَابِهِ
“ Larangan berperang telah dinaskh oleh perintah yang mewajibkan perang.”[14]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan ;

… فَأَمْرُهُ لَهُمْ بِالْقِتَالِ نَاسِخٌ ِلأَمْرِهِ لَهُمْ بِكَفِّ أَيْدِيهِمْ عَنْهُمْ
“ Perintah Allah kepada mereka untuk berperang merupakan naskh atas perintah-Nya untuk menahan tangan mereka.”[15]
Tentang QS. Ali Imran ayat 186, beliau berkata ;

إِنَّ هَذِهِ اْلأَيَةَ وَمَا شَابَهَهَا مَنْسُوخٌ مِنْ بَعْضِ الْوُجُوهِ
“ Ayat ini dan ayat-ayat serupa telah dinaskh dari berbagai alasan.”[16]
Imam As Suyuthi di dalam kitabnya Al-Iklil fis Timbatit Tanziil dan At-Tahbir Fii ‘ilmit Tafsiir juga menyatakan ayatus saif telah menasakh ayat-ayat yang memerintahkan untuk memaafkan, berlapang dada dan berdamai. Ketika menerangkan QS. At Taubah :5 “…maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian jumpai mereka.” beliau berkata:

هَذِهِ آيَةُ السَّيْفِ النَّاسِخَةِ ِلآيَاتِ اْلعَفْوِ وَالصَّفْحِ وَاْلإِعْرَاضِ وَالْمُسَالَمَةِ، وَاسْتَدَلَّ بِعُمُومِهَا اْلجُمْهُورُ عَلَى قِتَالِ التُّرْكِ وَالْحَبَشَةِ
” Ayat ini adalah ayatus saif yang telah menasakh ayat-ayat yang berkenaan dengan memberikan maaf, berlapang dada, berpaling dan berdamai. Berdasar keumuman ayat ini, mayoritas ulama berpendapat untuk memerangi bangsa Turki dan Habasyah.”[17]
Para ulama salafu sholih yang menyatakan bahwa ayat saif telah menasakh (menghapus seluruh fase ayat-ayat jihad sebelumnya) adalah :
- Imam Adh-Dhohak bin Muzahim (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Adzim 4/134),
- Imam Ar-Robi’ bin Anas (Al-Baghowi, Ma’alimu Tanzil 2/269, Multan, Idaarotu Ta’lifat Asyrafiyah, tahqiq ; Marwan Suwar dan Khalid Abdurahman Al ‘Ak),
- Imam Mujahid dan Abul ‘Aliyah (Asy-Syaukani, Fathul Qodir 1/162, Beirut, Daarul Kutub Al Ilmiyah, cet 1:1415 /1994),
- Imam Al-Hasan ibnul Fadl (Al-Qurthubi, Al Jami’u li Ahkamil Qur’an 13/73, Al Baghawi 2/269),
- Imam Ibnu Zaid (Al-Qurthubi, 2/339),
- Imam Musa bin ‘Uqbah, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan, ‘Ikrimah, dan Qotadah (Asy Syaukani, Fathul Qodir I/497, Mahmud Al Alusi, Ruuhul Ma’ani Fi tafsiri Al Qur’anil Adzim wa Sab’il Matsani 1/357, Beirut, Daarul Fikr, 1408 /1987),
- Imam Ibnul Jauzi dan ‘Atho’ (Al-Baghowi 3/122).
Pendapat ini juga dikatakan oleh ;
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Ibnu Taimyah, Al-Ihtijaj bil Qodar hal. 36),
- Imam Asy-Syaukani (Fathul Qodir 1/162),
- Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi 2/331),
- Imam As Suyuthi (Ad Durul Mantsur fi Tafsir Al Ma’tsur 1/262, Beirut, Daarul Fikr, 1993/1414), dan para ulama’ dari berbagai masa.
Beberapa ulama’ salaf sholih bahkan telah menyatakan adanya ijma’ (kesepakatan seluruh ulama mujtahidin) tentang mansukh (telah dihapusnya) hukum-hukum jihad sebelum hukum yang terakhir.
Imam Al Jashash mengatakan tentang QS. An Nisa’ 90:

وَلاَ نَعْلَمُ أَحَداً مِنَ الْفُقَهَاءِ يَحْظَرُ قِتَالَ مَنِ اعْتَزَلَ قِتَالَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، وَإِنَّمَا اْلخِلاَفُ فِي جَوَازِ تَرْكِ قِتَالِهِمْ لاَ فِي حَظَرِهِ. فَقَدْ حَصَلَ اْلاِتِّفَاقُ مِنَ اْلجَمِيعِ عَلَى نَسْخِ حَظَرِ الْقِتَالِ لِمَنْ كَانَ وَصْفُهُ مَا ذَكَرْنَا
“ Kami tidak mengetahui ada seorang ulamapun yang melarang memerangi orang-orang kafir yang tidak memerangi kita. Justru yang diperselisihkan adalah boleh tidaknya tidak memerangi mereka, bukan larangan memerangi mereka. Karena telah menjadi kesepakatan semua ulama tentang dinaskhnya larangan memerangi orang kafir yang keadaannya seperti kami sebutkan tadi.”[18]
Imam Shodiq Hasan Khan Al-Bukhori mengatakan :

وَمَا وَرَدَ فِي مُوَادَعَتِهِمْ أَوْ فِي تَرْكِهِمْ إِذَا تَرَكُوا اْلمُقَاتَلَةَ فَذَلِكَ مَنْسُوخ ٌباِتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ
“ Adapun riwayat tentang berdamai dan membiarkan (tidak memerangi) orang-orang kafir apabila mereka tidak memerangi (kaum muslimin), maka hal itu telah mansukh berdasar kesepakatan seluruh kaum muslimin.” [19]
Syaikhul mufasirin imam Ibnu Jarir ketika menafsirkan QS. Al Jatsiyah 14, berkata :

وَهَذِهِ اْلآيَةُ مَنْسُوخَةٌ بِأَمْرِ اللهِ بِقِتَالِ اْلمُشْرِكِينَ، وَإِنَّمَا قُلْنَا هِيَ مَنْسُوخَةٌ ِلإِجْمَاعِ أَهْلِ التَّأْوِيلِ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ كَذَلِكَ
” Ayat ini telah mansukh dengan perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik, sesuai dengan ijma’ ulama takwil (mufasirin) atas hal itu.”[20]
Imam Asy-Syaukani mengatakan :

أَمَّا غَزْوُ الْكُفَّارِ وَمُنَاجَزَةُ أَهْلِ الْكِتَابِ وَحَمْلُهُمْ عَلَى ْالإِسْلاَمِ أَوْ تَسْلِيمِ الْجِزْيَةِ أََوِ الْقَتْلِ فَهُوَ مَعْلُومٌ مِنَ الضَّرُوْرَةِ الدِّيْنِيَّةِ ... وَمَا وَرَدَ فِي مُوَادَعَتِهِمْ أَوْ تَرْكِهِمْ إِذَا تَرَكُوا ْالمُقَاتَلَةَ فَذَلِكَ مَنْسُوخٌ بِإِجْمَاعِ اْلمُسْلِمِينَ بِمَا وَرَدَ مِنْ إِيْجَابِ الْمُقَاتَلَةِ لَهُمْ عَلَى كُلِّ حَالٍ مَعَ ظُهُورِ الْقُدْرَةِ عَلَيهِمْ وَالتَّمَكُّنِ مِنْ حَرْبِهِمْ وَقَصْدِهِمْ إِلَى دِيَارِهِمْ
” Menyerang orang-orang kafir dan ahli kitab serta membawa mereka (untuk memilih salah satu dari tiga pilihan, pent) : masuk kepada agama Islam, atau membayar jizyah atau bunuh (perang), merupakan al-ma'lum min ad-dien bi-dharurah (perkara yang sangat jelas dalam agama, diketahui oleh orang awam maupun ulama) … dalil yang menyebutkan meninggalkan dan membiarkan mereka jika mereka tidak memerangi, sudah mansukh berdasar ijma’ kaum muslimin dengan dalil yang mewajibakn memerangi mereka apapun kondisinya selama memiliki kemampuan dan sanggup memerangi mereka di negeri mereka.”[21]


Catatan Penting

Perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan naskh ketiga fase jihad pertama, adalah wajib hukumnya memerangi orang-orang musyrik setelah sebelumnya dilarang atau diperbolehkan sekedar untuk membela diri saja.

Jadi, yang dimansukh adalah mencukupkan diri dengan dakwah lisan dan jihad membela diri semata (jihad defensif). Dengan adanya hukum naskh ini, maka memerangi orang-orang musyrik hukumnya wajib sekalipun mereka tidak memerangi umat Islam. Meski demikian, hukum berdakwah dengan lisan dan jihad defensif tetap berlaku, hanya saja ditambah dengan satu kewajiban baru yaitu memerangi orang-orang musyrik sekalipun mereka tidak memerangi umat Islam (jihad ofensif).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
“ Sebagian orang mengatakan ayat-ayat yang memerintahkan mendebat orang kafir telah dinaskh oleh ayat saif karena mereka meyakini bahwa perintah untuk memerangi berarti meniadakan perintah mendebat. Pendapat ini salah, karena sebuah naskh terjadi bila hukum yang menaskh bertolak belakang dengan hukum yang dimansukh, sebagaimana perintah menghadap ke masjidil haram dalam sholat bertolak belakang dengan perintah menghadap ke Masjidil Aqsho, dan seperti firman Allah (tahanlah tangan-tangan kalian…) yang bertolak belakang dengan perintah (perangilah mereka…),
Sebagaimana firman Allah (Tidakkah kau melihat orang-orang yang diperintahkan untuk menahan tangan-tangan mereka, mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Ketika diwajibkan atas mereka berperang, mereka takut kepada manusia sebagaimana takutnya mereka kepada Allah atau bahkan lebih takut lagi…” (QS. An Nisa’ :77). Perintah Allah Ta’ala untuk berperang menaskh perintah-Nya untuk menahan tangan-tangan mereka.

Adapun perintah Allah,” Serulah mereka kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang baik dan debatlah mereka dengan debat yang lebih baik” (QS. An Nahl :125) dan firman-Nya,” dan janganlah kalian mendebat ahlu kitab kecuali dengan cara yang lebih baik…” (QS. Al Ankabut :46), maka kedua ayat ini tidak bertolak belakang dengan perintah berjihad melawan orang-orang yang diperangi. (Yang ada) Perintah jihad itu bertolak belakang dengan larangan berjihad dan perintah untuk sekedar berdebat saja.”

Beliau lalu menyebutkan beberapa cara mengkompromikan antara perintah berjihad dan perintah berdebat. Cara kelima adalah :
“ Cara kelima : Yang dimasukh adalah (perintah untuk) mencukupkan diri dengan sekedar berdebat saja.”[22]

[1] - HR. Bukhari : Tafsirul Qur'an no. 4566.
[2] - HR. Nasa’i ; Al-Jihad 6/3, Baihaqi 9/11, Al-Hakim dalam Mustadrok 2/307 dan beliau berkata shahih sesuai dengan Syarthul Bukhori namun Bukhori dan Muslim tidak meriwayatkannya, dan hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shaih Nasa’i no. 2891.

[3] - Tirmidzi 3171, Nasa’i 6/2 dengan tambahan perkataan Ibnu Abbas di akhirnya,” Ini adalah ayat yang pertama kali turun tentang perang.” Juga Al Hakim 3/7, tanpa tambahan perkataan Ibnu Abbas. Hadits shahih dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih Nasa’I no. 2890 dan Shahih Tirmidzi no. 2535.
[4] - HR. Bukhari no. 25, Muslim no. 22, Tirmidzi 2606, Abu Daud 1656, Ahmad 1/19.
[5] - HR. Muslim no 1731, Abu Daud 2612, Tirmidzi 1617, Ibnu Majah 2858.
[6]- Zaadul Ma’ad II/58. Lihat pembahasan fase-fase ini dalam Abdu-Akhir Hammad Al-Ghunaimi: Marohilu Tasyri’il Jihad, hal. 2 dan Naqdhu Ara-i Al Buthi Fi Kitabihi ‘Anil Jihad hal. 27-31. Dr. Muhammad Khair Haikal, Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah 1/371-460, Beirut, Daarul Bayariq, cet 1 ; 1414 / 1993 M. Dr. Ali Nufai’ Al Ulyani, Ahammiyatul Jihad Fi Nasyri Dakwah Islamiyah hal. 147-149. Dan buku-buku fikih secara umum.
[7] - Zaadul Ma’ad 3/160.
[8] - Ibnul ‘Arobi, Ahkamul Qur’an I/201, Beirut, Daarul Ma’rifah, cet 3 : 1392, 1972.
[9] - Abu Muhammad Abdul Haq bin Athiyah Al Andalusi, Al Muharraru Al Wajiizu Fi tafsiril Kitabil ‘Aziz 6/412, Dauhah, Muassatu Daaril Ulum, 1401 /1981 M.
[10] - Ath Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an 1/626-630, Beirut, Daarul Fikr, cet 1: 1421 / 2001 M.
[11] - Al Qurthubi, Al Jami’u Li Ahkamil Qur’an 2/71, Kairo, Darul Kutub Al ‘ilmiyah, 1373 H /1954 M.
[12] - Al Qurthubi, 8/205.
[13] - Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Adzim 1/133-134, Beirut, Al Maktabatu Al ‘Ashriyatu, cet 3 : 1420 / 2000 M.
[14] - Ibnu Hazm, Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam 4/82, dinukil dari Marahilu Tasyri’il Jihad hal. 5.
[15] - Ibnu Taimiyah, Al Jawabu Ash Shahih Liman Badala Dienal Masih 1/66, Kairo, Mathba’atul Madani.
[16] - Ibnu Taimiyah, Ash Shorimul Maslul ‘Ala Syatimi Rasul hal. 239, Beirut, Daarul Kitab Al ’Arabi, cet 1 : 1416 / 1996 M. Tahqiq : Khalid Abdul lathif As Saba’u Al ‘Alami.
[17]- As Suyuthi, Al Iklilu Fi Istinbathi Tanzil hal 138, Beirut, Daarul Kutub Al Ilmiyah, cet 2 : 1405 / 1985 M.
[18] - Ahkamul Qur’an 2/222, dinukil dari Marahilu Tasyri’il Jihad hal. 5.
[19]- Lihat Ahammiyatul Jihad hal. 147-149.
[20]- Tafsir Ah-Thobari 25/167 cet. Darul Fikr, Bairut.
[21]- Asy Syaukani, As-Sailul Jarror Al Mutadafaq “ala Hadaiqil Azhar 5/519, Beirut, Daarul Kutub Al Ilmiyah , 1405 H, tahqiq Mahmud Ibrahim Zayid.
[22] - Ibnu Taimiyah, Al Jawabu Shahih 1/66-74.