04 Oktober 2007

Thaghut Hidup Lebih Bebahaya Daripada Thaghut Mati...

Thoghut Hidup Lebih Berbahaya Daripada Thoghut Mati: Syaikh ‘Abdul Qodir ‘Abdul ‘Aziz Panduan Fikih Jihad Fii Sabiilillah
Maksud saya thoghut hidup di sini adalah aimmatul-kufr (pemimpinpemimpinkekufuran) dan penguasa murtad yang memberlakukan bagi kaummuslimin syari’at pengganti, menyebarluaskan kekufuran dan perbuatan keji ditengah-tengah mereka.Sedang saya sebut thoghut mati adalah kuburan-kuburan, bebatuan, pohonpohonandan benda mati lain yang disembah selain Alloh SWT dengan beragamritual ibadah mulai dari berdo’a, minta tolong, menyembelih bernadzar dan lainlain.Maka tidak bisa dibantah bahwa thoghut yang hidup lebih besar fitnah dankerusakannya daripada benda-benda tadi.Oleh karena itu, Nabi SAW memerangi thoghut yang hidup dahulu sebelummemberantas thoghut yang mati, Nabi SAW tidak memusnahkan berhala-berhalakecuali setelah Penaklukan Mekah sebagaimana riwayat Bukhori, dari Ibnu Mas’udra. ia berkata: Nabi SAW memasuki Mekah pada saat ditaklukkan, di sekitar Ka’bahada 360 patung, maka beliau menghantam patung-patung itu dengan tongkat yangada di tangan beliau sambil bersabda:“Telah datang kebenaran dan telah lenyap kebatilan, telah datang kebenaran dan kebatilan itu tidak kokoh dan tidak akan terulang.”Setelah itu Rosululloh SAW memerintahkan para sahabatnya untukmelenyapkan patung yang masih tersisa di Jazirah Arab, hal itu beliau lakukansetelah membasmi kekuasaan thoghut hidup, beliau mengingkari mereka danpatung-patungnya dan bersikap baro’ (berlepas diri) dari mereka sejak awal diutus.Inilah Millah Ibrohim ‘Alaihis Salam, berlepas diri dari orang-orang kafir yanghidup sebelum berlepas diri dari sesembahan-sesembahan mereka. Alloh SWTberfirman:“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrohim dan orangorang yang bersama dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Alloh.”Sebelumnya sudah kita terangkan perkataan Syaikh Hamd bin ‘Atiq seputarayat-ayat ini di bagian kelima, Alloh SWT juga berfirman:Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ”Ikutilah agama Ibrahimseorang yang hanif.”Penjelasan ini bukan menerangkan urutan, tetapi menerangkan prioritas,jadi bukan berarti diam terhadap thoghut yang mati beserta para penyembahnyadibenarkan secara syar’i menunggu kita basmi thoghut yang hidup. Sebab syari’atsudah sempurna, siapa diantara Anda melihat kemungkaran hendaknya merubahsemampunya.Adapun prioritas yang hendak saya terangkan adalah: Efek kerusakan yangditimbulkan thoghut hidup pada agama manusia hampir-hampir mengancambanyak kaum muslimin dengan kemurtadan global, bisa berupa teror, makar dantipu daya. Kerusakan seperti ini jauh lebih berbahaya dibandingkan thoghut mati.Maka mengherankan sekali kalau ada orang yang mengaku ulama, ahliagama dan bermadzhab salaf yang tulisan mereka sekarang ini lebih terfokuskepada thoghut mati kemudian lupa atau pura-pura lupa dengan thoghut hidup.Anda lihat ada diantara mereka hidup di negeri berundang-undang positifyang kafir serta menggunakan sistem demokrasi yang kufur sementara dia benarbenartidak tahu dan menutup mata darinya, di waktu yang sama dia menghunuspedangnya melalui media cetak (buku) menentang thoghut mati dan penyembah penyembahnya yang jelas tidak bersenjata. Alloh SWT berfirman:“Dan (ingatlah), ketika Alloh menjanjikan kepadamu bahwa satu dari duagolongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu sedangkan kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah untukmu, dan Alloh menghendaki untuk membenarkan dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir,”Coba renungkan semua ini, niscaya Anda akan tahu sebab-sebab munculnyaujian dan bala dalam diri kita, yaitu ketika orang-orang dipercaya memegang ilmudan dien tidak melaksanakan peran mereka dalam menyampaikan danmengingatkan, lantas bagaimana dengan orang yang ridho dan ikut? Bagaimanapula dengan orang yang memberikan pembenaran kepada para thoghut itu?Kalaulah ada yang berbicara tentang jihad, Anda lihat ia hanya menyebutjihad Palestina dan Afghanistan, karena hanya inilah kadar yang diperbolehkan disebagian negara. Padahal jihad melawan penguasa murtad itu lebih wajib daripadajihad melawan Yahudi, memang kedua-duanya musuh kafir yang menginjak negerikaum muslimin, hanya saja penguasa murtad itu lebih tinggi tingkatannya daripadaYahudi karena dua hal: Pertama mereka lebih dekat, kedua mereka murtad. Keduaperkara ini menjadikan memerangi penguasa tersebut lebih dahulu wajibhukumnya.Sebagaimana bukan menjadi rahasia bahwa orang yang berjihad di Palestinadan Afghanistan disebut pahlawan dan syahid, harta dan berbagai bantuandikucurkan kepadanya, tapi jika selain di dua tempat tersebut, maka dia penjahatdan teroris yang keluar dari undang-undang, undang-undang kafir. Renungkanlah ini.Renungkan pula hadits di bawah ini, Anda akan tahu bahaya thoghut hidup,yaitu hadits riwayat Bukhori dari Qois bin Abi Hazim bahwasanya ada seorangwanita dari Ahmas bertanya kepada Abu Bakar: “apa yang menjadikan kita tetapberada di atas urusan baik ini (Islam), dimana Alloh mendatangkannya setelahjahiliyah?” Beliau mengatakan: ”Kelangsungan kalian di atasnya adalah selama parapemimpin kalian istiqomah (konsisten).” Ia bertanya: “Siapa para pemimpin itu?”Beliau mengatakan: “Bukankah kaummu memiliki pemimpin dan orang-orangterpandang dimana mereka memerintah dan ditaati?” Ia berkata: “Benar.” Beliauberkata: “Merekalah yang akan menjadi tumpuan manusia.”Ibnu Hajar berkata dalam Syarah-nya: (Perkataan wanita itu),”Apa yangmenjadikan kita tetap berada di atas urusan baik ini?” maksudnya adalah agamaIslam dan keadilan, persatuan kalimat, menolong orang dzalim dan meletakkansesuatu pada tempatnya yang terkandung dalam ajarannya. “…selama parapemimpin kalian istiqomah,” artinya, karena manusia tergantung kepada agamapenguasa mereka, maka ketika para pemimpin jauh dari tugas semestinya, ia akansesat dan menyesatkan orang.”Abdulloh bin Mubarok berkata:“Adakah yang merusak agama selain para raja, para ulama jahat dan ahli ibadahnya?”Saya katakan:Yang menyedihkan lagi, sikap diam orang yang mengaku ulama terhadapthoghut hidup tadi berubah menjadi hujjah untuk membenarkan sikap diam parapemuda dan menjadi alasan terhadap sikap duduk mereka dari jihad yanghukumnya fardhu ‘ain.Jihad bagi mereka menjadi terbatas pada jihad melawan orang-orangpenyembah kubur dan penganut ajaran tasawwuf?Padahal, bukankah para penyembah kubur dan kaum sufi itu tidak hidupkecuali di pundak para thoghut hidup tersebut?
Renungkanlah...!
Wallahu'alam bis showab!

Kapan kewajiban Khuruj (Memerangi) Pemerintahan Murtad Boleh Dilakukan?

Kapan kita boleh khuruj (keluar untuk memerangi) pemerintahan yang murtad? Apa Dalil yang menjadi landasan untuk khuruj kepada pemerintah jika ia kafir (murtad) ? Apakah khuruj dicontohkan oleh salafus sholeh umat ini ?
Kewajiban khuruj kepada penguasa yang murtad landasannya adalah hadits dari Ubadah Ibnush Shomit Radliyallahu ‘anhu,:
“Rasululloh memanggil kami, lalu kami berbai’at kepadanya untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan senang atau tidak senang, baik dalam keadaan susah atau mudah, dan baik pemimpin itu lebih mengutamakan dirinya. Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Allah.” (Hadits ini Muttafaq ‘Alaih sedangkan lafadznya menggunakan lafadz Muslim).
An-Nawawi berkata: “Berkata Al-Qodli ‘Iyadl; para ulama’ berijma’ bahwasanya kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan jika seorang pemimpin itu kafir, ia dipecat – sampai perkataannya – jika pemimpin itu kafir, atau mengganti syari’at atau dia berbuat bid’ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pula kewajiban taat kepadanya. Dan kaum muslimin wajib untuk mencopot kekuasaannya lalu menggantinya dengan imam yang ‘adil jika hal itu memungkinkan.
Jika hal itu hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang, maka wajib kelompok itu untuk menggulingkan penguasa yang kafir. Sedangkan pemimpin yang melakukan bid’ah tidak wajib digulingkan kecuali jika mereka memperkirakan mampu untuk menggulingkannya. Namun jika mereka benar-benar tidak mampu, maka mereka tidak wajib melaksanakannya, dan orang Islam harus berhijrah dari negerinya itu ke negeri lainnya untuk menyelamatkan agamanya.” (Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi XII/229).Ijma’ yang disebutkan oleh Al-Qodli ‘Iyadl ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol (Fathul Bari XIII/7), dan dari Ibnut Tin dan Ad-Dawudi (Fathul Bari XIII/8) dan dari Ibnut Tin (Fathul Bari XIII/116) dan Ibnu Hajar sendiri menyatakannya (Fathul Bari XIII/123).
Bagaimana kalau pemerintahnya Zalim ?
Telah terjadi ijma ahlus sunnah akan ketidakbolehan khuruj kepada penguasa yang zalim, setelah terjadi perselisihan. Untuk itu, mengetahui status penguasa saat ini, apakah dia zalim atau telah kufur murtad menjadi penting bagi kaum muslimin, sebelum dia melakukan tindakan yang dibebankan syara’ kepadanya.Al Imam An Nawawi telah menyebutkan perselisihan yang lama ini dan kesepakatan pendapat atasnya, maka beliau berkata: “Berkata Al Qadhi Iyadh: kalau seandainya seorang khalifah dengan tiba-tiba fasiq, sebagian mereka berkata: wajib mencopotnya kecuali jika mengakibatkan fitnah dan peperangan.Jumhur ahlus sunnah dari para fuqaha’nya, para pakar haditsnya dan mutahalliminnya mengatakan bahwa khalifah tidak dicopot atau digulingkan karena fasiq, zalim dan tidak menunaikan hak-hak, dan ia tidak diturunkan dari jabatannya dan tidak boleh keluar memberontak ke atasnya dengan hal-hal itu, akan tetapi wajib menasihatinya dan menakut-nakutinya berdasarkan hadits yang ada dalam masalah itu.Berkata Al Qadhi: Abu Bakar bin Mujahid telah mengakui dalam Ijma’ ini dan sebagian mereka menolaknya dengan alasan Al Husein, Ibnu Zubair dan penduduk Madinah memberontak Bani Umayyah, demikian juga kumpulan yang besar dari para Tabi’in dan generasi pertama bersama Ibnul Asy’ats memberontak Al Hajjaj dan pihak yang berpendapat seperti ini mentafsirkan kata-katanya ‘Agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan) dari pemiliknya, adalah pada pemimpin-pemimpin yang adil, dan hujjah jumhur saja akan tetapi ketika dia merubah syari'at dan mendhahirkan kekufuran.Berkata Al Qadhi: Dikatakan bahwa perselisihan ini adalah pada mulanya, kemudian terjadilah ijma’ atas dilarangnya keluar memberontak mereka. Wallahu a'lam. (Syarah An Nawawi li Shahih Muslim 12/229).Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan bahwasanya bersabar terhadap para pemimpin yang zalim dan tidak keluar memberontak mereka adalah telah menjadi ketetapan pendapat ahlus sunnah setelah terjadi perselisihan yang lama dalam masalah ini.” Minhajus sunnah 2/241.

Kemudian pada akhirnya masalah ini ditulis dan dimasukkan dalam kandungan i’tiqad ahlus sunnah wal jama'ah sebagaimana yang sudah tetap dalam aqidah yang populer. Berkata penulis Al Aqidah At Thahawiyah: Kami tidak berpendapat boleh keluar memberontak pemimpin-pemimpin kami dan para pengurus yang mengurusi urusan-urusan kami meskipun mereka zalim dan kami tidak mendo’akan yang tidak baik ke atas mereka, dan kami tidak mencabut tangan dari mentaati mereka dan kami berpendapat bahwa mentaati mereka adalah termasuk mentaati Allah Azza wa Jalla dan hukumnya wajib selama tidak memerintahkan maksiat, dan kami mendoakan kebaikan dan perlindungan dari segala yang tidak baik untuk mereka. (Syarhul Aqidatith Thahawiyah)Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththal ijma’ atas masalah ini juga, berkata Ibnu Hajar: Dan Ibnut Tin menukil dari Ahludh dhalal' Dawudi berkata: Yang dipegangi oleh para ulama dalam masalah para amir yang zalim bahwasanya jika mampu mecopotnya tanpa ada fitnah dan kezaliman wajib dilakukan, jika tidak (mampu tanpa fitnah dan kezaliman) maka wajib bersabar.

Sebagian ulama berpendapat : tidak boleh memilih atau memberikan kepemimpinan kepada orang fasiq (sejak semula), maka jika terjadi kezaliman sesudah dia adil, maka mereka berselisih pendapat dalam masalah boleh keluar memberontak ke atasnya atau tidak, yang benar adalah dilarang kecuali jika kufur maka wajib keluar memberontak ke atasnya.” (Fathul Bari juz13/7,8)Meskipun demikian Ibnu Hazm mengambil pendapat dengan keumuman hadits-hadits amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagai penasakh terhadap hadits-hadits yang menyuruh diam (tidak memberontak) – Al Muhalla 9/362 – pendapat Ibnu Hazm dilemahkan dengan ijma yang telah di aqadkan yaitu bersabar atas pemimpin-pemimpin yang zalim. Dan pendapat beliau tentang nasakh tersebut perlu mengetahui tarikh, dan yang betul adalah pendapat Al’ am dan ikhlas, adapun yang khas (yaitu hadits-hadits bersabar terhadap pemimpin yang zalim) didahulukan atas yang ‘am (umum) (yaitu keumuman hadits-hadits amar ma’ruf dan nahi mungkar) sesuai dengan qaidah-qaidah ushul. (Rujuk Al Umdah fi I’dadil Uddah- masalah jama’ah minal muslimin, hal 111)

Contoh khurujnya Ahlus sunnah.
Apakah khuruj (keluar memerangi pemerintahan yang murtad) pernah dilakukan oleh salafus sholeh umat ini ? Kalau ya, apa saja atau kapan ?
Contoh khurujnya Ahlus Sunnah adalah, misalnya, pemberontakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan radliallahu 'anhu dan para pengikutnya terhadap kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib radliallahu 'anhu, demikian juga pemberontakan Ummul Mukminin Aisyah, Thalhah, Zubair dan lain-lain terhadap Ali radliallahu 'anhu, pemberontakan yang dilakukan oleh al Husain bin Ali bin Abi Thalib (61 H) terhadap khalifah Bani Ummayyah Yazid bin Mu’awiyyah. (Lihat Fathul Bari 13/63).
Selain itu, ada pemberontakan Ahlul Madinah yang dipimpin oleh Ash Shalabi Abdullah bin Handholah (63 H) terhadap Yazid bin Mu’awiyyah. (Lihat Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir 8/217 dan Fathul Bari, 6/118, 13/63).Pemberontakan Abdur Rahman bin Al Asy Syari'ah’ats terhadap Al Hajjaj Ats Tsaqafi kemudian terhadap Abdul Malik bin Marwan (81-82 H). (Lihat Al Bidayah wan Nihayah, 9/35-42).
Pemberontakan Zaid bin Ali bin al Husain bin Ali bin Abi Thalib (121 H) terhadap khalifah Hisyam bin Abdul Malik. (Lihat Al Bidayah wan Nihayah 9/35-42).
Pemberontakan Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib terhadap Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz – Amir Iraq - lihat Al Bidayah wan Nihayah 10/25. Dan lain sebagainya, rujuk Al Bidayah wan Nihayah.
Dari sebagian contoh tersebut menjadi jelaslah bagi orang yang mau membuka mata dan telinganya bahwasanya berlaku keras dan memberontak (khuruj) juga merupakan amalan ahlus sunnah, bukan khawarij saja, hanya perbedaannya, keras dan berontaknya golongan khawarij batil karena diasaskan di atas kebatilannya, mereka mengkafirkan dengan segala dosa baik yang mukaffirah (mengkufurkan) maupun yang tidak mukaffirah, karena menurutnya dosa adalah satu martabat misalnya berzina disamakan dengan menyembah berhala. Maka seluruh pemimpin yang melakukan dosa-dosa al kabair mereka vonis telah kafir dan wajib diperangi, sehingga mereka memberontak pemimpin yang sebenarnya masih sah di sisi syari'at dan tidak boleh diperangi.

Adapun kekerasan dan pemberontakan yang dilakukan Ahlus Sunnah adalah berdasarkan ilmu yang benar bukan ngawur sebagaimana khawarij. Ahlus sunnah memberontak penguasa dalam dua keadaan:
1.Terhadap penguasa yang kafir dan hal ini disepakati oleh jumhur ulama akan wajibnya.
Penguasa yang kafir kalau disimpulkan ada 3 bentuk:
a.Penguasanya kafir asli dan pemerintahannya juga kafir, contohnya negara-negara Barat, seperti ; Singapura, Thailand, Philipina dan sebagainya.
b.Penguasa yang mengaku beragama Islam tetapi pemerintahannya tidak berdasarkan Islam, didilantik menjadi pemimpin bukan di atas Al Kitab dan As Sunnah, bukan juga untuk menegakkan dien
c.Penguasa yang sah menurut syari'at Islam (bukan sekedar mengaku beragama Islam), kemudian dalam perjalanan pemerintahannya ternyata melakukan kufur akbar yang jelas. Penguasa yang seperti ini wajib diturunkan berdasarkan hadits Ubadah bin Ash Shamit radliallahu 'anhu yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni ada dalil syar’iy yang jelas dari ayat al Qur’an maupun al Hadits yang tidak mengandung takwil bahwasanya perbuatan atau amal yang dilakukan oleh penguasa itu mukaffir. (lihat Al Jami’ fie Thalabil Ilmisy Syarif, 8/31 dan Nailul Authar 7/361)
2.Pemberontakan yang dilakukan ahlus sunnah (bukan khawarij) terhadap penguasa muslim (sesuai dengan istilah syar’i) yang fasiq atau yang zalim.
Jenis pemberontakan inilah yang banyak terjadi di zaman abad yang terbaik yaitu pada tiga abad pertama Hijriyah, yang dilakukan antara lain oleh shahabat-shahabat yang mulia radliallahu 'anhuma ajma’in sebagaimana yang telah di sampaikan sebagiannya di atas, yakni contoh khurujnya Ahlus Sunnah.

I’dad Sebelum Jihad
Dari keterangan di atas menjadi jelaslah kesalahan orang-orang yang menisbahkan kekerasan dan pemberontakan hanya kepada ahlul bid'ah dan ahlul ahwa' yaitu golongan khawarij sehingga terkesan seolah-olah ahlus sunnah wal jama'ah itu kelompok sufi dan jabari yang berusaha menangisi kemungkaran termasuk kemungkaran penguasa dengan tasbih, bersemedi, dan mentarbiyah, sedangkan sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash-nash termasuk hadits-hadits Ubadah bin Shamit radliallahu 'anhu dan lain sebagainya. Dan berpuluh-puluh qaul ulama salaf bahwasanya penguasa yang kafir asli maupun yang murtad wajib diperangi bahkan yang tadinya benar-benar pemimpin yang sah menurut syar’iy memenuhi semua syarat sebagai seorang khalifah, kemudian tiba-tiba melakukan kekufuran yang jelas, maka wajib hukumnya bagi rakyat yang beriman keluar memberontaknya untuk menggulingkannya. Camkan sekali lagi kata-kata Ibnu Hajar tersebut di atas. (Fathul Bari 13/7,8). Siapa yang menjadi pelopor untuk menunaikan perintah-perintah tersebut jika seandainya ahlus sunnah telah merubah jati dirinya menjadi ahlush shufiyah, ahlul jabar dan ahlul irja’?
Karena Islam menuntut kepada setiap pemeluknya bersikap kepada penguasanya sesuai dengan syari'atnya, maka wajib setiap muslim mengetahui kedudukan penguasanya menurut syari'at, apakah ia seorang penguasa yang sah atau tidak sah, dan ataukah ia seorang kafir asli, ataukah seorang kafir murtad, dan ataukah ia seorang penguasa yang sah tetapi fasiq atau zalim? Semua ini baik bentuk-bentuk penguasa maupun tata cara menyikapi masing-masing telah diatur dalam syari'at dan telah dijelaskan oleh ahlul ilmi kita dengan sedetail-detailnya. Untuk dapat memahami keadaan penguasa yang sebenarnya menurut syari'at caranya bukan ngawur seenaknya sendiri, dengan goyang kaki mengikuti cara yang mudah mengikut hawa nafsu dan selera, misalnya: karena KTP penguasa tersebut beragama Islam, berarti dia penguasa muslim yang sah, maka semua rakyat yang muslim wajib taat. Cara dan kesimpulan seperti ini adalah jahil dan dhalal. Bagaimana cara yang benar? Yaitu dengan merujuk kepada Al Kitab dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf.
Lalu, bagaimana jika kita tidak mampu atau belum mampu meelaksanakannya, yaitu melakukan khuruj kepada pemerintahan kufur murtad, maka wajib untuk melakukan persiapan (I’dad).
Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagaimana mengadakan persiapan untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan itu wajib ketika jihad tidak mampu dilaksanakan karena lemah. Karena sesungguhnya kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sebuah sarana, maka sarana itu pun hukumnya juga wajib.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/259).
Allah SWT. berfirman:
“Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah). Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (QS. 8:59-60)
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda:
“Ingatlah bahwa kekuatan itu adalah melempar.”
Beliau mengatakan tiga kali. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Uqbah bin Amir.Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwasanya kewajiban kaum muslimin terhadap para thogut itu telah ditetapkan berlandaskan nash syar’i, sehingga tidak boleh seorang muslim pun keluar dari ketetapan itu. Nash itu adalah :
“Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Allah.”
Telah terjadi ijma’ atas wajibnya memberontak mereka, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian maka tidak diperbolehkan untuk berijtihad dalam masalah cara untuk menghadapi para thoghut itu, karena ada nash dan ijma’ dalam masalah itu. Sesungguhnya orang yang berijtihad dalam permasalahan ini yang mana masalah ini telah ada nash dan ijma’, maka orang tersebut telah benar-benar sesat. Sebagaimana orang yang berusaha untuk merealisasikan syari’at Islam melalui kesyirikan parlemen dan cara yang semacam itu. Jika ada orang yang mengatakan bahwa ketidakmampuan menghalangi kita untuk memberontak, maka kami katakan kepadanya, sesungguhnya kewajiban kita ketika tidak mampu adalah melakukan persiapan, bukan mengikuti mereka dalam kesyirikan parlemen mereka. Jika benar-benar tidak mampu maka wajib untuk hijrah. Jika tidak mampu untuk hijrah maka tinggallah dia sebagaimana orang yang lemah yang tunduk berdo’a kepada Allah, :
“Orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a:"Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". (QS. 4:75)
Seorang muslim tidak akan ikut dalam parlemen perundang-undangan mereka. Karena ikut serta di dalamnya berarti rela dengan sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Artinya pendapat mayoritas rakyat itulah yang menjadi syari’at yang harus diikuti oleh umat. Ini adalah kekafiran yang disebutkan dalam firman Allah:
“Dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Robb selain Allah. (QS. 3: 64)
Anggota-anggota parlemen ini adalah Robb-robb (tuhan-tuhan) yang disebutkan dalam ayat ini, dan ini adalah kekafiran. Dan barang siapa yang tidak mengetahui hal ini wajib untuk diberi tahu. Allah berfirman:Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. 4: 140)
Jadi, barang siapa yang duduk bersama mereka dan menyaksikan kekufuran mereka, maka ia kafir seperti mereka. Naudzubillah min dzalik.
Wallahu’alam bis Showab!

"Kufrun Duna Kufrin"--Fenomena Pengkaburan Haq Dengan Kebathilan

Berdalih Atas Keabsahan undang-undang yang mengganti syari’at Allah dan atas penghalalan apa yang diharamkan Allah dengan atsar dari salaf ”kufrun duna kufrin”.
Ini Demi Allah adalah pentahrifan/pengkaburan dalil dari keadaan yang selayaknya, dan menempatkan hukum bukan pada tempatnya serta berdusta (mengada-ada) dan aniaya terhadap Habrul Ummah Turjumanul Qur’an (Ibnu Abbas) dan terhadap generasi terbaik umat ini. Mereka (salaf ini) tidak berbicara tentang masa kita ini dan mereka sama sekali tidak memaksudkan undang-undang pengganti syari’at Allah (sekarang ini). Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan dan hanya kepada-Nyalah tempat mengadu.

PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Rabul ‘alamin, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Sayyidul Mursalin Muhammad Ibnu Abdillah, keluarganya, dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap komitmen diatas ajarannya hingga hari kiamat.
Setelah mushannif menjelaskan tiga sebab pengkaburan hak dengan kebathilan yaitu fitnah syubhat, fitnah syahwat, serat fitnah syubhat yang bercampur syahwat sekaligus. Dan setelah beliau menjelaskan wasilah-wasilah yang digunakan dalam pengkaburan kebenaran dengan kebatilan, yaitu penta’wilan yang rusak dan mengikuti hal-hal yang samar (mutasyabih), penyembunyian ilmu dan menutupinya, serta mentahrif (memalingkan) dalil-dalil dari hal yang sebenarnya dan tidak menempatkan dalil itu pada posisi yang semestinya, setelah itu semua beliau (penulis Syaikh Abdul Azis Ibnu Nashir Al Julayyil) berkata:

FENOMENA PENGKABURAN YANG HAQ DENGAN KEBATIHILAN
Setelah menjelaskan sebab-sebab yang bisa menghantarkan pada pengkaburan kebenaran dengan kebathilan, yang di mana pada akhirnya menjerumuskan kepada kesesatan dan penyesatan setelah menjelaskan makna labs1 dan talbis2 yaitu memoles kebatilan dan syahwat dengan polesan syar’i dengan mentahrif dalil-dalil atau menyembunyikannya. Sekarang kami akan menyebutkan beberapa fenomena pengkaburan dan penyesatan itu dengan tujuan agar kita hati-hati supaya tidak jatuh kedalamnya, dan menghati-hatikan saudara-saudara kita kaum muslimin agar mereka tidak terjerat dan terpedaya dengannya. Saya tidak begitu mementingkan susunan materi-materinya, tapi susunannya sesuai apa yang ingin saya sampaikan. Saya meminta kepada Allah taufiq dan kelurusan dalam ucapan dan amalan. Di antara fenomena-fenomena adalah:
Berdalih Atas Keabsahan undang-undang yang mengganti syari’at Allah dan atas penghalalan apa yang diharamkan Allah dengan atsar dari salaf ”kufrun duna kufrin”.
Ini Demi Allah adalah pentahrifan/pengkaburan dalil dari keadaan yang selayaknya, dan menempatkan hukum bukan pada tempatnya serta berdusta (mengada-ada) dan aniaya terhadap Habrul Ummah Turjumanul Qur’an (Ibnu Abbas) dan terhadap generasi terbaik umat ini. Mereka (salaf ini) tidak berbicara tentang masa kita ini dan mereka sama sekali tidak memaksudkan undang-undang pengganti syari’at Allah (sekarang ini). Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan dan hanya kepada-Nyalah tempat mengadu.
Di antara bantahan yang paling baik yang pernah saya lihat akan talbis ini adalah apa yang ditulis Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah ta’ala, saya akan nukilkan seluruhnya karena sangat penting sekali:
Syaikh Ahmad Syakir berkata dalam Umdatut Tafsir:
“Dan atsar-atsar ini -dari Ibnu Abbas dan yang lainnya adalah di antara sekian atsar yang sering dipermainkan oleh mudlalliluun (orang-orang yang menyesatkan) pada zaman kita sekarang ini dari kalangan yang menisbatkan diri kepada ilmu dan dari kalangan yang lainnya yang sangat berani terhadap agama ini, mereka menjadikan atsar-atsar ini sebagai alasan atau pembolehan bagi qawaniin watsaniyyah maudluu’ah (undang-undang buatan yang syirik) yang telah merambah negeri-negeri Islam”.
Ada juga atsar dari Abu Mijlaz saat orang-orang Khawarij Ibadllyyah mendebatnya, tentang perlakuan dlalim yang dilakukan oleh sebagian para penguasa, mereka (para penguasa itu) dalam sebagian keputusannya menyalahi syari’’at karena mengikuti hawa nafsunya atau karena jahil akan hukum. Sedangkan dalam madzhab Khawarij bahwa pelaku dosa besar itu adalah kafir, maka mereka mendebat seraya menginginkan agar Abu Mijlaz itu merestui pendapat mereka akan kafirnya para penguasa tersebut, ini supaya menjadi alasan bagi mereka untuk memberontak para penguasa itu.
Dua atsar ini telah diriwayatkan oleh Ath Thabariy: 12025, 12026. Saudara saya As Sayyid Mahmud Muhammad Syakir telah memberikan atas kedua atsar itu ta’liq yang sangat berbobot sekali, kuat dan tegas. Dan saya merasa perlu untuk menyebutkan teks riwayat pertama Ath Thabariy ini berikut ta’liq saudara saya atas kedua riwayat itu.
Ath Thabary meriwayatkan (12025) dari Imran Ibnu Hudair, berkata: “Beberapa orang dari Bani Amr Ibnu Saduus mendatangi Abu Mijlaz, mereka berkata: Wahai Abu Mijlaz beritahu kami tentang firman Allah:
Apakah itu benar?
Abu Mijlaz berkata: Ya, benar.
Mereka berkata: Apakah itu benar?
Abu Mijlaz Berkata: Ya, benar.
Mereka berkata: Apakah itu benar?
Beliau berkata: Ya, benar”.
Berkata (perawi): “Mereka berkata Wahai Abu Mijlaz, apakah mereka (penguasa saat itu) memutuskan dengan apa yang Allah turunkan?”
Beliau berkata: “Dia (Islam) adalah agama yang mereka yakini, dan dengannya mereka memegang, dan kepada Islam-lah mereka itu mengajak, bila mereka meninggalkan sesuatu darinya mereka mengetahui bahwa mereka itu melakukan dosa”
Maka mereka berkata: Tidak, demi Allah, namun engkau merasa takut...!!!
Beliau berkata: Kalian lebih layak akan hal ini daripada saya...! Saya tidak melihatnya dan kalian melihat hal ini sedang kalian tidak merasa berdosa...! Namun ayat itu berkenaan dengan orang-orang Yahudi, Nashrani dan orang-orang musyrik, atau yang sejalan dengannya”
Kemudian Ath Thabari meriwayatkan (12026) hampir sama maknanya dengan yang tadi, dan kedua sanadnya adalah shahih.
Saudara saya As Sayyid Mahmud telah menulis hal yang berkenaan dengan dua atsar ini, dan ini teksnya:
“Ya, Allah saya berlepas diri kepada Engkau dari kesesatan. Waba’du, sesungguhnya para penebar keraguan dan fitnah dari kalangan yang berbicara dalam masalah ini pada masa sekarang ini telah mencarikan alasan (udzur) bagi para penguasa dalam meninggalkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, dan dalam memutuskan hukum yang berkenaan dengan darah, kehormatan dan harta dengan selain syari’at Allah yang telah Dia turunkan dalam kitab-Nya, serta (mencarikan alasan) dalam keberanian mereka mengambil undang-undang orang-orang kafir yang mereka terapkan di negeri-negeri Islam. Tatkala dia mendapatkan kedua atsar ini, langsung mereka jadikan sebagai pendapat (pegangan) yang dengannya dia menganggap benar memutuskan hukum dalam masalah harta, kehormatan, dan darah dengan selain apa yang telah Allah turunkan, dan bahwa menyalahi syari’at Allah dalam masalah qadlaa ‘aam (ketentuan/hukum umum atau tasyri ‘aam) tidak membuat kafir orang yang ridla dengannya dan yang melaksanakannya.
Orang yang mengamati dua khabar (atsar) ini pasti ingin mengetahui siapa orang yang bertanya dan siapa yang ditanya, Abu Mijlaz (Lahiq Ibnu Hurnald Asy Syaibaniy As Sadusiy) adalah tabi’in tsiqah, dan beliau itu sangat mencintai Ali sedangkan kaum Abu Miljaz yaitu Banu Syaiban dahulunya adalah pendukung Ali pada kasus perang Jamal dan Shiffin, dan tatkala terjadi tahkim pada perang Shiffin dan Khawarij memisahkan diri, maka termasuk yang menentang Ali adalah sekelompok orang dari Banu Syaiban dan dari Bani Saduus Ibnu Syaiban Ibnu Dzuhl.
Orang-orang yang bertanya kepada Abu Mijlaz adalah kelompok orang dari Bani Amr Ibnu Saduus (sebagaimana dalam AI Atsar 12025), dan mereka itu adalah golongan dari firqah Ibadliyyah (sebagaimana dalam atsar 12026), sedangkan lbadliyyah adalah bagian dari jama’ah Khawarij Haruriyyah pengikut Abdullah Ibnu lbadl At Tamimiy. Mereka itu sepaham dengan kelompok Khawarij lain dalam masalah tahkim, dalam pengkafiran Ali karena beliau melakukan tahkim kepada dua orang (sahabat), dan, bahwa Ali itu tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah dalam masalah tahkim.
Kemudian Abdullah Ibnu Ibadl ini berpendapat bahwa orang yang bersebrangan dengan Khawarij adalah kafir bukan musyrik, namun para pengikutnya tidak sependapat dengannya. Dan Khawarij menetapkan bahwa hukum-hukum (yang diberlakukan kepada) orang-orang musyrik berlaku pula bagi orang-orang yang bersebrangan dengan mereka.
Kemudian setelah sepeninggal Abdullah Ibnu Ibadl orang-orang Ibadliyyah ini pecah banyak (sekali), kami tidak mengetahui dari kelompok mana orang-orang yang ada dalam dua atsar ini, namun yang jelas bahwa orang-orang Ibadliyyah seluruhnya mengatakan: Sesungguhnya negeri orang-orang yang berseberangan dengan mereka adalah negeri Tauhid kecuali kelompok penguasa, sesungguhnya itu adalah darul kufur menurut mereka. Kemudian mereka mengatakan juga: Sesungguhnya semua yang Allah wajibkan atas makhluknya adalah iman dan sesungguhnya setiap dosa besar itu adalah kufur nikmat, bukan kufur syirik dan bahwa pelaku dosa besat itu adalah kekal di neraka selama-lamanya.
Jadi jelaslah bahwa orang-orang yang bertanya kepada Abu Mijlaz itu adalah orang-orang Ibadliyyah, mereka bertanya hanya karena ingin memaksakan hujjah mereka kepada beliau dalam masalah pengkafiran para pejabat pemerintah (saat itu), karena mereka berada dilingkungan penguasa (sutlhan), dikarenakan mereka itu mungkin saja maksiat dan melakukan apa yang telah diharamkan Allah. Dan oleh sebab itu beliau berkata kepada mereka dalam khabar yang pertama (no: 12025): Bila mereka meninggalkan sesuatu darinya mereka mengetahui bahwa mereka telah melakukan dosa dan berkata dalam khabar yang kedua: Sesungguhnya mereka itu mengamalkan apa yang mereka amalkan dan mereka mengetahui bahwa itu dosa.
Jadi, pertanyaan mereka itu bukan tentang apa yang dijadikan hujjah oleh para ahli bid’ah zaman kita ini, berupa memutuskan hukum dalam masalah harta, kehormatan, dan darah dengan undang-undang yang bertentang dengan syariat Islam, dan bukan tentang menggulirkan undang-undang (peraturan-peraturan) yang mengharuskan umat Islam berhukum kepada hukum selain hukum Allah dalam Kitab-Nya dan lewat lisan Nabi-Nya. Maka perbuatan ini adalah (bentuk) berpaling dari hukum Allah, enggan akan agamanya, dan lebih mengutamakan hukum-hukum orang-orang kafir daripada hukum-hukum Allah, ini merupakan kekafiran yang tidak diragukan oleh seorangpun, dari kalangan Ahli kiblat dengan berbagai macam golongannya akan pengkafiran orang yang menyatakannya dan orang yang mendakwahkannya.
Dan yang sedang kita hadapi sekarang adalah bentuk menjauhkan atau meninggalkan akan hukum-hukum Allah seluruhnya tanpa kecuali, mengutamakan hukum-hukum yang lain atas hukum-hukum-Nya yang terdapat dalam Kitab-Nya dan sunnah-sunnah Nabi-Nya, dan menelantarkan semua syari’at-syari’at Allah, bahkan masalahnya sudah melebihi itu semua sampai-sampai mereka itu lebih mengunggulkan hukum-hukum undang-undang buatan atas hukum-hukum yang diturunkan Allah, dan klaim orang yang berhujah akan hal itu bahwa hukum-hukum syari’at hanyalah turun untuk zaman yang bukan zaman kita ini, dan turun untuk alasan-alasan dan hikmah-hikmah tertentu yang telah tiada sehingga hukum-hukum itu pun otomatis gugur karena telah tiadanya hal itu. Apakah ini bisa dibandingkan dengan apa yang telah kami jelaskan dalam perbincangan Abu Mijlaz bersama segolongan orang-orang Ibadliyyah dari kaum Bani Amr Ibnu Suddus…???!!!
Seandainya masalah ini sesuai dengan apa yang mereka (para mubthilun) duga dalam khabar Abu Mijlaz bahwa mereka maksudkan penyimpangan penguasa pada hukum-hukum dari hukum syari’at maka sesungguhnya belum pernah terjadi dalam sejarah Islam bahwa ada hakim yang membuat hukum dan menjadikannya sebagai ketentuan (undang-undang) yang harus dipatuhi dalam penentuan keputusan, ini satu. Dan yang lain lagi adalah bahwa si hakim yang memutuskan hukum dalam qodliyyah mu’ayyanah (kasus tertentu) dengan selain hukum Allah, maka sesungguhnyaa dia melakukan itu bisa karena ketidaktahuan, dan ini statusnya sama dengan orang yang jahil akan syari’at. Dan bisa juga dia memutuskan itu karena hawa nafsu dan maksiat, maka ini adalah dosa yang ditaubati dan mendapatkan ampunan karenanya. Bisa juga memutuskan hukum itu karena ta’wil yang menyalahi ulama lainnya, maka ini statusnya sama dengan status orang yang melakukan ta’wil yang menyadarkan ta’wilnya dari pengakuan dia akan nash Al Kitab dan Sunnah Rasullah.
Adapun pada zaman Abu Mijlaz atau sebelumnya atau sesudahnya ada hakim yang memutuskan hukum dalam sesuatu hal seraya mengingkari hukum dari hukum-hukum syari’at atau lebih mengutamakan hukum-hukum orang kafir atas hukum-hukum Islam, maka ini tidak pernah terjadi, sehingga tidak mungkin memalingkan perkataan Abu Mijlaz dan orang-orang Ibadliyyah kepadanya. Maka barangsiapa berhujjaah dengan dua atsar ini dan yang lainnya dalam bukan tempatnya, dan memalingkannya kepada selain maknanya dalam rangka membela penguasa atau sebagai hillaah (cari-cari alasan) untuk memperbolehkan memutuskan hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah dalam memaksanya kepada hamba-hambaNya, maka status dia dalam syari’at ini adalah sebagai orang yang mengikangkari hukum dari hukum-hukum Allah: Disuruh bertaubat, bila dia bersikeras, keras kepala dan mengingkari hukum Allah, serta rela dengan penggantian hukum-hukum itu, maka dia itu berstatus sebagai orang kafir yang bersikeras diatas kekufurannya (yang dimana) hukumannya sudah ma’ruf di kalangan para ulama agama ini”. Ini ditulis oleh Mahmud Muhammad Syakir. 3
Setelah penukilan ini yang tidak memerlukan tambahan lagi, apakah masih boleh orang mengatakan: “Sesungguhnya Ibnu Abbas atau Abu Mijlaz dengan perkataan mereka berdua, dimaksudkan kepada orang-orang pada masa kita ini yang mengganti syari’at Allah dan berpaling dari memutuskan dengannya dan dari berhukum kepadanya dengan alasan tidak selaras dengan zaman mereka ini -begitu mereka mengklaim-?!”
Ya Allah sesungguhnya kami berlepas diri dari pengkaburan ini, dan kami membebaskan sahabat-sahabat Rasulullah, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan dari talbis dan mughalathah ini, dan sesungguhnya tidak seorangpun yang menempatkan perkataan Ibnu Abbas atau perkataan Abu Mijlaz terhadap orang-orang yang membabat syari’at Allah pada masa sekarang ini kecuali orang yang bodoh akan kenyataan, sehingga dia tidak mengetahui apa yang terjadi di sekelilingnya, atau orang munafiq yang sengaja menyesatkan yang di mana dia itu tahu akan kenyataan disekelilingnya dan (tahu bahwa kenyataan itu) tidak sama dengan kenyataan yang dibicarakan oleh salaf radliyallahu‘anhum, namun dia sengaja mengkaburkan masalah dan mencampurkan yang haq dengan kebathilan dalam rangka mengikuti hawa nafsu atau karena dunia yang dia harapkan.
----------------
Diambil dari Kitab Waqafat Tarbawiyyah Fi Dlauil Qur’anil Karim Penterjemah: Al Ustadz Al Asiir Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
--------------------------------------------------------------------------------
1 Samar, kabur, tidak jelas. (pent)
2 Mengaburkan permasalahan, Ibnul Jauziy rahimahullah berkata: Talbis adalah menampakkan kebatilan dalam bentuk kebenaran. (Talbis Iblis: 36) dari Waqafat 1/399)
3 Umdatur Tafsir 4/156-158 dalam Tafsir Ath Thabariy 10/348 - 349

Tikaman Terhadap Jihad Fie Sabilillah

Perang tak hanya melibatkan dua pasukan berseragam militer bersenjata tempur yang saling berhadapan. Lebih dari itu, suatu peperangan memiliki dimensi yang lebih luas, menembus batas wilayah konflik. Sisi lain dari sebuah peperangan tersebut adalah opini, perang opini. Begitu hebatnya sebuah perang opini dilancarkan, sehingga al-Haq akan menjadi kabur di mata mereka yang tidak mempunyai kacamata yang benar dalam memandang. Sebaliknya, kebatilan akan dianggap sebagai suatu solusi bagi sebuah permasalahan.
Adalah al-Jihad fii Sabilillaah, sebuah nama yang selalu diperebutkan dalam pertarungan opini oleh beberapa kelompok manusia. Kelompok pertama, terdiri dari kaum muslimin yang memahami betul seluk-beluk Dienul Islam, sekaligus berusaha mengamalkan setiap perintah yang ada di dalamnya. Atas nikmat Allah, mereka dapat melakukan semuanya itu. Kelompok ini merujuk kepada sumber yang benar (Al-Qur`an dan as-Sunnah) yang mengatakan bahwa al-Jihad fii Sabilillaah adalah perang melawan orang-orang kafir. Sementara kelompok kedua terdiri dari sekian banyak kepentingan pribadi atau golongan, ditambah dengan kebodoh. Mereka, kebalikan kelompok pertama, selalu menafikan kewajiban memerangi orang-orang kafir. Tentu dengan sekian macam dalih dan pertimbangan yang jauh dari bimbingan wahyu Allah. Target utama perang kedua kelompok tersebut satu : ummat Islam. Sama-sama ingin meraih dominasi opini umat Islam terhadap makna al-Jihad fii Sabilillaah.
Sementara perang opini berlangsung, perang fisik pun terus berkecamuk. Pada saat yang bersamaan, sebagian kaum Muslimin ~atas rahmat Allah ta`ala~ mulai menemukan titik terang sebuah kebenaran. Pemahaman sebagian ummat Islam tentang makna al-Jihad fii Sabilillah berangkat menuju sebuah titik kebenaran. Hal tersebut berjalan seiring dengan tumbuhnya kebutuhan masyarakat akan seubah tatanan kehidupan yang mampu memberikan jawaban atas seabrek permasalahan kehidupan manusia. Muncullah nama : Syari`at Islamiyah. Selanjutnya, berkembang menjadi wacana yang terus bergulir di tengah-tengah masyarakat, baik yang pro maupun kontra. Suatu gejala yang sebelumnya amat tabu untuk diadakan. Namun, benarkah semua gejala tersebut membawa suatu efek positif yang jelas terhadap Islam ? Pertanyaan ini kemudian memunculkan kebutuhan akan koreksi dari semua perkembangan yang ada, terutama dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan jihad dan atau penegakan syari`at Islamiyah.
Ternyata terdapat sekian penyelewengan terhadap makna jihad dan tujuan penegakan syari`at Islamiyah, yang justru diusung oleh tokoh atau organisasi Islam yang mendengung-dengungkan kedua istilah tadi. Penyelewengan tersebut berujung kepada sebuah tindakan yang sebenarnya sungguh amat keji: tikaman terhadap jihad. Berikut ini gambaran beberapa fakta yang disadari atau tidak adalah sebuah tikaman terhadap Jihad fii Sabilillah.
Tidak Ada Jihad Tanpa Khalifah
Sebagian kaum muslimin yang rindu tegaknya syari`at Islamiyah memandang kedudukan Khilafah Islamiyah (sentral kekuasaan Islam sedunia) sebagai tuntunan mutlak, dan menganggapnya sebuah satu-satunya solusi atas pelbagai problem ummat ini. Mereka menganggap titik tolak (starting point) seluruh kegiatan ummat ini adalah Khilafah tersebut. “Khilafah dulu.. baru yang lain”, prinsipnya. Ini kemudian berkembang kepada prinsip lain,"Khilafah dulu.. baru kemudian berjihad”.
Memang benar, wujud Khilafah Islamiyah adalah payung yang melindungi seluruh ummat Islam di dunia, membereskan segala tetek-bengek persoalan yang dihadapinya. Tetapi, sebuah pertanyaan besar berselip pada pemahaman ini. “Dari mana datangnya khilafah?”. Apalagi kalau kedudukan jihad dikesampingkan, menunggu tegaknya khilafah tersebut. Ini mengandung konsekuensi, khilafah yang nantinya akan berdiri tidak dibangun melalui proses Jihad fii Sabilillah. Bila khilafah identik dengan kekuasaan politik, maka ada beberapa cara yang bisa ditempuh selain Jihad fii Sabilillah. Tetapi harap diingat, seluruh cara tersebut adalah sia-sia, kalau tidak sampai pada kebatilan. Dakwah dan demokrasi adalah contohnya. Dakwah memang mutlak sebagai sebuah kewajiban, di samping menjadi strategi dalam pendirian khilafah atau penegakan syariat Islamiyah. Tetapi dakwah harus dikawal oleh Jihad fii SAbilillah. Sehingga ketika dihadapkan kepada kekuasaan yang menentangnya, para da`i sanggup “berbicara”. Sementara demokrasi, adalah contoh dari sebuah kebatilan. Sudah banyak telaah dan kajian yang menyebar di kalangan kita tentang hal ini.
Tidak ada Jihad tanpa Tarbiyah
“Luruskan pemahaman tentang dienul Islam, baru berjihad. Bagaimana bisa berjihad, kalau Islamnya saja tidak betul.”
Kalimat-kalimat di atas adalah pisau beracun yang mempunyai dua mata. Mata pertama mengakibatkan urungnya seseorang menjalankan kewajiban Jihad fii Sabilillah. Sementara mata kedua memisahkan antara Jihad dan Islam itu sendiri. Padahal dua hal tadi adalah sebuah kesatuan yang tak terpisah.
Mereka yang mempunyai pemahaman ini adalah orang-orang yang lalai. Lalai dan lupa bahwa sesungguhnya takaran akhir dari benar tidaknya Islam seseorang adalah pelaksanaan Jihad fii Sabilillaah. Tanpa jihad, kesempurnaan Islam masih berupa tanda tanya besar. Adalah Rasulullah Salallaahu `alaihi wassalam menjadikan Jihad fii SAbilillaah sebagai puncak dari urusan dien ini. Beliau juga bersabda,"Barangsiapa yang tidak pernah berperang, dan tidak pernah pula menginginkan untuk perang, maka orang tersebut mati dalam keadaan jahiliyyah”
Justru dua sifat yang disindir oleh Rasulullaah adalah lambang kebodohan. Seseorang tokoh populer dalam dunia Jihad, Dr. Abdullah Azzam Rahimahullah menandaskan bahwa sebaik-baik tarbiyah adalah parit-parit jihad.Sibuk mentarbiyah diri dengan buku-buku dan kajian-kajian serta seminar hanya akan melumpuhkan potensi seorang Muslim, menjadikan hatinya keras dan mempertinggi potensi konflik.
Memang benar, buku dan wasilah lain di atas adalah sarana untuk memahamkan seorang awam terhadap Islam. Tetapi perkataan DR. Abdullah Azzam rahimahullah di atas adalah sebagai reaksi atas munculnya fenomena sekelompok orang Islam yang mendakwahkan dirinya sebagai faqih, lulusan universitas ini dan itu, lalu menilai sebuah jihad yang dilakukan ummat Islam tidak sah, tanpa mau turun langsung ke medan jihad.
Di sisi lain, perkataan DR. Abdullaah Azzam rahimahullah tersebut memperingatkan kepada kita agar jangan menyibukkan diri dengan telaah tentang islam tanpa ada usaha untuk mengamalkan Islam itu sendiri.
Kembali kepada mereka yang berpaham “tak ada jihad tanpa tarbiyah”. Di antara mereka ada yang mengkhawatirkan keabsahan seseorang yang pergi berjihad sebelum pemahaman Islamnya sempurna, akan berdampak batil-lah jihad yang dilakukan. Ini adalah kekhawatiran palsu yang dipakai untuk menutupi keengganan mereka berjihad. Mestinya, mereka juga khawatir akan sia-sianya ibadah haji yang dilakukan seseorang tanpa tahu benar tata cara ibadah haji yang dilakukannya. Bahkan sebagian jama`ah haji negeri ini berangkat dengan bekal yang tidak benar, semisal meminta izin kepada Wali Songo dan orang-orang yang sudah mati, meratap di makam Rasulullaah dan berbagai penyimpangan lain. Mengapa ini tak pernah solusi?
Intinya, minimnya pemahaman seseorang tidak menggugurkan kewajibannya melakukan jihad. Bukankah Rasulullah pernah mengijinkan seorang yang baru saja masuk Islam dengan mengucapkan syahadat untuk pergi berperang? Ketika orang tersebut syahid, Rasulullah berkomentar. “Ia beramal sedikit, tetapi diberi ganjaran banyak.”
Mencela Mujahidin
Nama Ja`far Umar Thalib tentu masih hangat dalam ingatan kita. Oleh beberapa kalangan tertentu ummat ini, nama Ja`far begitu agung dan ditokohkan sebagai panglima (laskar) jihad. Tetapi Ja`far pernah melakukan tindakan tercela yang juga menikam jihad itu sendiri. Dalam mengomentari Usamah bin Ladin, ia menilai Usamah sebagai seseorang bodoh, beraqidah khawarij, bahkan seorang agen CIA. Naudzubillah… sebuah celaan yang amat besar terhadap seorang tokoh Mujahidin.
Bagaimana mungkin seseroang Usamah bin ladin yang menjadi buronan nomor satu Amerika (lambang utama musuh Islam) dinilai sebagai bodoh dan tak berilmu oleh seseorang yang tidak pernah berkecimpung dalam parit jihad ? Kalaupun “berjihad”. dalam konteks yang keliru: memberangus RMS, membela kedaulatan NKRI. Ulama` mana yang berani mengatakan membela NKRI sebagai sebuah jihad ?
Sedikit apapun dampak negatif ucapan Ja`far terhadap penilaian ummat Islam terhadap Usamah bin Ladin, tetap mengandung tikaman terhadap Jihad fii Sabilillah.
Ja`far tidak sendirian. Masih ada sederet nama tokoh Islam yang mencela pemimpin Mujahidin, entah Usamah bin Ladin, Syaikh Ahmad Yassin, Mulla Muhammad Umar atau yang lainnya. Memang mereka bukan orang-orang maksum yang terbebas dari kekurangan dan kesalahan. Tetapi apakah kemudian mencaci mereka adalah tindakan yang dianggap sah sebagai “nasehat” atau “islah” ? Alih-alih sebuah nasehat, cacian tersebut malah menjadi amunisi gratis bagi musuh-musuh Islam, untuk terus mengkerdilkan Jihad fii Sabilillah.
Memilah-milah Tempat Jihad
Meletupnya titik-titik jihad, semisal di Chechnya, Afghanistan dan Palestina, bila kita tidak hati-hati dalam mensikapinya, akan membuat hati kita lebih condong ke salah satunya. Seperti menganggap jihad di Chechnya lebih baik daripada di Afghan dan Palestina, dengan alasan media publikasi Mujahidin Chechnya lebih baik. Atau menganggap jihad di Afghan lebih hebat daripada di Palestina. Atau di Palestina lebih afdhal, karena ada motivasi membela al-Aqsha.
Gejala ini muncul bukan dari seorang Muslim yang telah siap perbekalannya untuk berangkat ke medan jihad, lalu memilih medan mana yang paling seru berkecamuk sehingga kemungkinan syahid lebih besar. Tetapi muncul dari kalangan masyarakat kita yang tidak lebih dari sekedar “pemirsa”. Disadari atau tidak, kebiasaan para pemirsa yang menganggap jihad di satu tempat lebih mulia dari tempat lain, adalah tindakan tikaman terhadap jihad itu sendiri. Awalnya mungkin berupa gejala simpati yang lebih besar terhadap jihad di tempat A daripada B. Lalu muncul sikap meremehkan jihad di bumi B. Tahapan ini kalau tidak segera diatasi akan mengakibatkannya memandang jihad di bumi B bukanlah jihad. Padahal kenyataannya, baik di bumi A maupun B, sama-sama sebuah peperangan melawan orang-orang kafir, demi tegaknya dienul Islam. Inilah sikap yang harus diwasapdai oleh setiap “pemirsa” jihad.
Tegakkan Syariat Tanpa Jihad
Di negeri ini, perubahan peta politik yang demikian drastis membuat sesuatu yang dulunya tabu menjadi sebuah tuntutan. Syariat islamiyah, misalnya. Dewasa ini bermunculan pribadi atau institusi yang menuntut diberlakukannya syariat Islamiyah. Tuntutan ini semakin kuat, dengan digulirkannay kebijakan otonomi daerah (otda).
Bila tuntutan pemberlakuan syariat Islamiyah di bawah payung otda dijadikan sebagai titik akhir usaha pemberlakuan syariat Islamiyah, adalah sebuah kekeliruan besar. Titik kekeliruannya adalah menjadikan Islam sebagai sebuah sub sistem dari sistem utama di negeri ini: Pancasila. Pola perjuangan semacam ini ibarat menegakkan benang basah. Sebab, dengan posisi semacam itu, hanya syariat Islam yang tidak melanggar Pancasila saja yang boleh dilakukan. Kalau begitu, sama saja dengan sebelum adanya ribut-ribut otda. Padahal syariat islam akan menjalankan fungsinya sebagai rahmatan lil `alamin bila ia berdiri paking tinggi di atas sistem-sistem kehidupan lainnya. Sistem-sistem yang ada dibawahnya pun harus tidak bertentangan dengan sistem Islam.
Pertanyaan penting yang harus dijawab oleh pengusung ide syariat Islamiyah, adalah bagaimana menegakkan syariat Islamiyah itu ? Kalau terpulang kepada tata-cara selain Jihad fii Sabilillah, jangan-jangan kita terperosok ke dalam tipologi kekafiran: mengimani sebagian isi al-Qur`an dan mengkufuri sebagian lainnya. Merindukan tegaknya syariat Islamiyah, setelah mencampakkan Jihad fii Sabilillaah dari induk besar syariat Islamiyah. Lalu, syariat Islam macam mana yang bakal tegak ?
Celakanya, gejala ini pun menghinggapi sebagian para penuntut pemberlakuan syariat Islamiyah. Ketika diajak bicara indahnya syariat Islamiyah, mereka sangat getol. Tetapi ketika pembicaraan menyangkut jihad sebagai upaya pemberlakuan syariat, mereka sangat gatal.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah introspeksi atas maraknya gelora jihad dan tuntutan pemberlakuan syariat Islamiyah. Semoga menjadi sumbangan yang konstruktif bagi perjalanan perjuangan menegakkan `izzul Islam wal Muslimin. Amiin.


Sumber: gurobabersatu.blogspot.com

Tiada Kemuliaan Tanpa Islam

Sesungguhnya Umar bin Khattab r.a. sebagai sahabat besar Nabi Muhammad SAW., berkata tentang haq (kebenaran), dalam ucapannya beliau berkata : “Kami adalah orang-orang yang Allah beri kemuliaan dengan Islam dan jika kami mencari kemuliaan yang lain selain daripada Islam, maka Allah akan menghinakan kami.” (Hayyat us Shahabbah dan Usud ul Ghaab oleh Ibnu Katsir)
Arti dari hadits ini (perkataan ini) adalah bahwa tidak ada kemuliaan, kekuatan, kekuasaan, kehormatan, keagungan atau perhatian melainkan dalam Islam. Dan barangsiapa yang mencari kemuliaan, perhatian dan kehormatan dari selain Islam maka Allah akan menghinakan dan mempermalukannya dalam kehidupan dunia dan akhirat nanti.
Orang-orang yang beriman (orang muslim) memiliki hak istimewa yang khusus, kehormatan dan kemuliaan, karena dapat melihat wajah Tuhan mereka di surga (Insya Allah). Adapun orang-orang yang tidak beriman (orang-orang non muslim) dan orang-orang munafik (orang-orang yang dusta dalam menyatakan diri mereka sebagai muslim) tidak akan pernah dapat melihat Allah dan tidak akan dapat berjalan dengan wajah-wajah mereka di hari pengadilan nanti, yang menyebabkan mereka masuk ke dalam kobaran api neraka, dimana mereka akan tinggal di sana untuk selamanya. Bagaimanapun, orang-orang yang tidak beriman dan orang-orang munafik tidak menyadari akan fakta-fakta hukum (syariah) tersebut dan tidak mempercayainya. Ini disebabkan karena kekufuran mereka (mengingkari dan tidak beriman kepada Allah dan terhadap apa-apa yang telah Allah turunkan) yang menjadi sebab kehinaan mereka dan perbuatan merekalah yang merintangi/menghalangi mereka dari kebenaran.
Sayang sekali, sungguh menyedihkan melihat umat Islam di Barat (maupun di Timur) yang mencari kemuliaan, kehormatan, dan perhatian dari orang-orang kafir, walaupun telah diketahui bahwa kekuasaan yang terbesar hanya milik Allah SWT. semata. Beberapa tahun yang lalu, kami menyaksikan ribuan umat muslim, (bahkan mungkin jutaan) berpartisipasi dalam pemilihan umum dan voting untuk memilih para pembuat hukum, yaitu orang yang menyimpangkan kemurnian kekuasaan Allah dalam hal membuat hukum (yang merupakan hak Allah semata). Dan juga kini, dalam pemilihan-pemilihan di tingkat yang lebih rendah, seperti memilih kepada daerah, gubernur, atau sejenisnya.
Orang yang berpikir bahwa mereka muslim setelah melewati beberapa tahun, dan mereka mengharapkan ada ‘perubahan’ setelah mereka melakukan voting. Mereka telah mengacuhkan hadits nabi Muhammad SAW. yang menyatakan bahwa :“orang-orang yang beriman tidak berada pada dua tempat yang sama.”
Setelah voting untuk anggota Dewan dan Badan Koservatif, kemudian mempercayai janji-janji palsu mereka dan kebohongan mereka, dan mereka berada pada tempat yang sama di setiap tahun untuk melaksanakan pemilihan umum. Orang-orang tersebut menyebut diri mereka muslim yang sekali lagi berada di tempat voting untuk sebuah partai yang baru dan untuk pemimpin-pemimpin palsu mereka. Satu hal yang aneh, bagaimana voting untuk pemilu berbeda dengan voting untuk kekufuran yang lain (bukan islami) berupa partai demokrasi seperti anggota Dewan atau Badan Konservatif, padahal mereka semua memiliki agenda yang sama, yang pada akhirnya pemerintahan yang berhukum dengan hawa nafsu dan ideologi yang buruk (demokrasi).
Allah SWT. telah mempermalukan orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai muslim dan mereka yang menyekutukan Allah SWT. dalam banyak kesempatan, sebagaimana skandal-skandal seks dan korupsi-korupsi yang dilakukan oleh anggota-anggota dewan yang ‘terhormat’. Mereka juga seringkali melakukan pesta-pesta yang berisi semua penyimpangan terhadap hukum Allah, yaitu semua yang dilarang seperti pergaulan bebas, perzinahan, minum-minuman keras, memamerkan aurat (telanjang), bersumpah dengan nama selain Allah dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya. Macam dari program-program menarik tersebut hanyalah mencerminkan akhlaq yang rendah dari yang mencari ketenaran dalam arti yang dimungkinkan.
Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kehoramatan, perhatian atau kemuliaan dan hanya dapat digambarkan sebagai binatang. Bahkan, tidak sedikit yang mereka jagokan sebagai kandidat dalam pemilihan adalah orang-orang yang kenyataannya adalah musuh-musuh Islam, mereka selalu memerangi Islam dan mujahidin, menolak untuk menerapkan syari’at dan ridho dengan hukum-hukum kufur di tengah-tengah mereka. Jadi, bagaimana mungkin sebuah partai yang mengatasnamakan partai Islam, atau aktivis-aktivis yang juga mengaku sebagai pejuang-pejuang syari’ah dan khilafah mau duduk-duduk bersama apalagi mengharapkan para kandidat yang memusuhi Islam ini agar menerapkan syari’at Islam. Sungguh, bagaikan menegakkan benang basah.
Masalahnya kemudian, Apakah kaum muslimin ridho bila kaum kuffar ini mereka jadikan sebagai Tuhan di selain Allah SWT. ??? Apakah hewan ini adalah orang yang mereka pilih untuk berteman dengan orang-orang yang beriman ??? Apakah hewan ini adalah orang yang mereka pilih untuk mewakili mereka di dunia ini dan di akherat kelak ??? Apakah hewan ini adalah orang yang mereka kampanyekan dan serukan kepada muslim lain untuk memilihnya ??? Apakah hewan ini yang mereka tunjuk untuk menjadi pemimpin mereka dan meliberalisasikan tanah-tanah muslim ??? Apakah hewan ini adalah orang mereka nyatakan telah memeluk Islam ??? Berapa banyak janji yang telah mereka penuhi ??? Peperangan manakah yang telah dia hentikan ??? Berapa banyak kaum muslimin dan mujahidin yang telah dibantai ???
Jadikanlah ini sebagai sebuah pelajaran bagi kita semua, kemuliaan, kehormatan dan perhatian hanya dapat dicari dan didapatkan dari Allah SWT. dan jalan hidup yang telah Dia (Allah SWT) pilih untuk umat manusia, yaitu Islam. Barangsiapa yang mencari ‘izzah (kemuliaan) dari orang-orang kafir atau dari jalan hidup mereka hanyalah akan dihinakan dan dipermalukan oleh Allah dalam kehidupan dunia dan akhirat kelak.
“padahal kekuatan itu hanya milik Allah bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS Al Munaafiqun (63) : 8)
“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS An Nisaa (4) : 139)


Sumber : gurobabersatu.blogspot.com