Kapan kita boleh khuruj (keluar untuk memerangi) pemerintahan yang murtad? Apa Dalil yang menjadi landasan untuk khuruj kepada pemerintah jika ia kafir (murtad) ? Apakah khuruj dicontohkan oleh salafus sholeh umat ini ?
Kewajiban khuruj kepada penguasa yang murtad landasannya adalah hadits dari Ubadah Ibnush Shomit Radliyallahu ‘anhu,:
“Rasululloh memanggil kami, lalu kami berbai’at kepadanya untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan senang atau tidak senang, baik dalam keadaan susah atau mudah, dan baik pemimpin itu lebih mengutamakan dirinya. Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Allah.” (Hadits ini Muttafaq ‘Alaih sedangkan lafadznya menggunakan lafadz Muslim).
An-Nawawi berkata: “Berkata Al-Qodli ‘Iyadl; para ulama’ berijma’ bahwasanya kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan jika seorang pemimpin itu kafir, ia dipecat – sampai perkataannya – jika pemimpin itu kafir, atau mengganti syari’at atau dia berbuat bid’ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pula kewajiban taat kepadanya. Dan kaum muslimin wajib untuk mencopot kekuasaannya lalu menggantinya dengan imam yang ‘adil jika hal itu memungkinkan.
Jika hal itu hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang, maka wajib kelompok itu untuk menggulingkan penguasa yang kafir. Sedangkan pemimpin yang melakukan bid’ah tidak wajib digulingkan kecuali jika mereka memperkirakan mampu untuk menggulingkannya. Namun jika mereka benar-benar tidak mampu, maka mereka tidak wajib melaksanakannya, dan orang Islam harus berhijrah dari negerinya itu ke negeri lainnya untuk menyelamatkan agamanya.” (Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi XII/229).Ijma’ yang disebutkan oleh Al-Qodli ‘Iyadl ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol (Fathul Bari XIII/7), dan dari Ibnut Tin dan Ad-Dawudi (Fathul Bari XIII/8) dan dari Ibnut Tin (Fathul Bari XIII/116) dan Ibnu Hajar sendiri menyatakannya (Fathul Bari XIII/123).
Kewajiban khuruj kepada penguasa yang murtad landasannya adalah hadits dari Ubadah Ibnush Shomit Radliyallahu ‘anhu,:
“Rasululloh memanggil kami, lalu kami berbai’at kepadanya untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan senang atau tidak senang, baik dalam keadaan susah atau mudah, dan baik pemimpin itu lebih mengutamakan dirinya. Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Allah.” (Hadits ini Muttafaq ‘Alaih sedangkan lafadznya menggunakan lafadz Muslim).
An-Nawawi berkata: “Berkata Al-Qodli ‘Iyadl; para ulama’ berijma’ bahwasanya kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan jika seorang pemimpin itu kafir, ia dipecat – sampai perkataannya – jika pemimpin itu kafir, atau mengganti syari’at atau dia berbuat bid’ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pula kewajiban taat kepadanya. Dan kaum muslimin wajib untuk mencopot kekuasaannya lalu menggantinya dengan imam yang ‘adil jika hal itu memungkinkan.
Jika hal itu hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang, maka wajib kelompok itu untuk menggulingkan penguasa yang kafir. Sedangkan pemimpin yang melakukan bid’ah tidak wajib digulingkan kecuali jika mereka memperkirakan mampu untuk menggulingkannya. Namun jika mereka benar-benar tidak mampu, maka mereka tidak wajib melaksanakannya, dan orang Islam harus berhijrah dari negerinya itu ke negeri lainnya untuk menyelamatkan agamanya.” (Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi XII/229).Ijma’ yang disebutkan oleh Al-Qodli ‘Iyadl ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol (Fathul Bari XIII/7), dan dari Ibnut Tin dan Ad-Dawudi (Fathul Bari XIII/8) dan dari Ibnut Tin (Fathul Bari XIII/116) dan Ibnu Hajar sendiri menyatakannya (Fathul Bari XIII/123).
Bagaimana kalau pemerintahnya Zalim ?
Telah terjadi ijma ahlus sunnah akan ketidakbolehan khuruj kepada penguasa yang zalim, setelah terjadi perselisihan. Untuk itu, mengetahui status penguasa saat ini, apakah dia zalim atau telah kufur murtad menjadi penting bagi kaum muslimin, sebelum dia melakukan tindakan yang dibebankan syara’ kepadanya.Al Imam An Nawawi telah menyebutkan perselisihan yang lama ini dan kesepakatan pendapat atasnya, maka beliau berkata: “Berkata Al Qadhi Iyadh: kalau seandainya seorang khalifah dengan tiba-tiba fasiq, sebagian mereka berkata: wajib mencopotnya kecuali jika mengakibatkan fitnah dan peperangan.Jumhur ahlus sunnah dari para fuqaha’nya, para pakar haditsnya dan mutahalliminnya mengatakan bahwa khalifah tidak dicopot atau digulingkan karena fasiq, zalim dan tidak menunaikan hak-hak, dan ia tidak diturunkan dari jabatannya dan tidak boleh keluar memberontak ke atasnya dengan hal-hal itu, akan tetapi wajib menasihatinya dan menakut-nakutinya berdasarkan hadits yang ada dalam masalah itu.Berkata Al Qadhi: Abu Bakar bin Mujahid telah mengakui dalam Ijma’ ini dan sebagian mereka menolaknya dengan alasan Al Husein, Ibnu Zubair dan penduduk Madinah memberontak Bani Umayyah, demikian juga kumpulan yang besar dari para Tabi’in dan generasi pertama bersama Ibnul Asy’ats memberontak Al Hajjaj dan pihak yang berpendapat seperti ini mentafsirkan kata-katanya ‘Agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan) dari pemiliknya, adalah pada pemimpin-pemimpin yang adil, dan hujjah jumhur saja akan tetapi ketika dia merubah syari'at dan mendhahirkan kekufuran.Berkata Al Qadhi: Dikatakan bahwa perselisihan ini adalah pada mulanya, kemudian terjadilah ijma’ atas dilarangnya keluar memberontak mereka. Wallahu a'lam. (Syarah An Nawawi li Shahih Muslim 12/229).Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan bahwasanya bersabar terhadap para pemimpin yang zalim dan tidak keluar memberontak mereka adalah telah menjadi ketetapan pendapat ahlus sunnah setelah terjadi perselisihan yang lama dalam masalah ini.” Minhajus sunnah 2/241.
Kemudian pada akhirnya masalah ini ditulis dan dimasukkan dalam kandungan i’tiqad ahlus sunnah wal jama'ah sebagaimana yang sudah tetap dalam aqidah yang populer. Berkata penulis Al Aqidah At Thahawiyah: Kami tidak berpendapat boleh keluar memberontak pemimpin-pemimpin kami dan para pengurus yang mengurusi urusan-urusan kami meskipun mereka zalim dan kami tidak mendo’akan yang tidak baik ke atas mereka, dan kami tidak mencabut tangan dari mentaati mereka dan kami berpendapat bahwa mentaati mereka adalah termasuk mentaati Allah Azza wa Jalla dan hukumnya wajib selama tidak memerintahkan maksiat, dan kami mendoakan kebaikan dan perlindungan dari segala yang tidak baik untuk mereka. (Syarhul Aqidatith Thahawiyah)Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththal ijma’ atas masalah ini juga, berkata Ibnu Hajar: Dan Ibnut Tin menukil dari Ahludh dhalal' Dawudi berkata: Yang dipegangi oleh para ulama dalam masalah para amir yang zalim bahwasanya jika mampu mecopotnya tanpa ada fitnah dan kezaliman wajib dilakukan, jika tidak (mampu tanpa fitnah dan kezaliman) maka wajib bersabar.
Sebagian ulama berpendapat : tidak boleh memilih atau memberikan kepemimpinan kepada orang fasiq (sejak semula), maka jika terjadi kezaliman sesudah dia adil, maka mereka berselisih pendapat dalam masalah boleh keluar memberontak ke atasnya atau tidak, yang benar adalah dilarang kecuali jika kufur maka wajib keluar memberontak ke atasnya.” (Fathul Bari juz13/7,8)Meskipun demikian Ibnu Hazm mengambil pendapat dengan keumuman hadits-hadits amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagai penasakh terhadap hadits-hadits yang menyuruh diam (tidak memberontak) – Al Muhalla 9/362 – pendapat Ibnu Hazm dilemahkan dengan ijma yang telah di aqadkan yaitu bersabar atas pemimpin-pemimpin yang zalim. Dan pendapat beliau tentang nasakh tersebut perlu mengetahui tarikh, dan yang betul adalah pendapat Al’ am dan ikhlas, adapun yang khas (yaitu hadits-hadits bersabar terhadap pemimpin yang zalim) didahulukan atas yang ‘am (umum) (yaitu keumuman hadits-hadits amar ma’ruf dan nahi mungkar) sesuai dengan qaidah-qaidah ushul. (Rujuk Al Umdah fi I’dadil Uddah- masalah jama’ah minal muslimin, hal 111)
Kemudian pada akhirnya masalah ini ditulis dan dimasukkan dalam kandungan i’tiqad ahlus sunnah wal jama'ah sebagaimana yang sudah tetap dalam aqidah yang populer. Berkata penulis Al Aqidah At Thahawiyah: Kami tidak berpendapat boleh keluar memberontak pemimpin-pemimpin kami dan para pengurus yang mengurusi urusan-urusan kami meskipun mereka zalim dan kami tidak mendo’akan yang tidak baik ke atas mereka, dan kami tidak mencabut tangan dari mentaati mereka dan kami berpendapat bahwa mentaati mereka adalah termasuk mentaati Allah Azza wa Jalla dan hukumnya wajib selama tidak memerintahkan maksiat, dan kami mendoakan kebaikan dan perlindungan dari segala yang tidak baik untuk mereka. (Syarhul Aqidatith Thahawiyah)Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththal ijma’ atas masalah ini juga, berkata Ibnu Hajar: Dan Ibnut Tin menukil dari Ahludh dhalal' Dawudi berkata: Yang dipegangi oleh para ulama dalam masalah para amir yang zalim bahwasanya jika mampu mecopotnya tanpa ada fitnah dan kezaliman wajib dilakukan, jika tidak (mampu tanpa fitnah dan kezaliman) maka wajib bersabar.
Sebagian ulama berpendapat : tidak boleh memilih atau memberikan kepemimpinan kepada orang fasiq (sejak semula), maka jika terjadi kezaliman sesudah dia adil, maka mereka berselisih pendapat dalam masalah boleh keluar memberontak ke atasnya atau tidak, yang benar adalah dilarang kecuali jika kufur maka wajib keluar memberontak ke atasnya.” (Fathul Bari juz13/7,8)Meskipun demikian Ibnu Hazm mengambil pendapat dengan keumuman hadits-hadits amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagai penasakh terhadap hadits-hadits yang menyuruh diam (tidak memberontak) – Al Muhalla 9/362 – pendapat Ibnu Hazm dilemahkan dengan ijma yang telah di aqadkan yaitu bersabar atas pemimpin-pemimpin yang zalim. Dan pendapat beliau tentang nasakh tersebut perlu mengetahui tarikh, dan yang betul adalah pendapat Al’ am dan ikhlas, adapun yang khas (yaitu hadits-hadits bersabar terhadap pemimpin yang zalim) didahulukan atas yang ‘am (umum) (yaitu keumuman hadits-hadits amar ma’ruf dan nahi mungkar) sesuai dengan qaidah-qaidah ushul. (Rujuk Al Umdah fi I’dadil Uddah- masalah jama’ah minal muslimin, hal 111)
Contoh khurujnya Ahlus sunnah.
Apakah khuruj (keluar memerangi pemerintahan yang murtad) pernah dilakukan oleh salafus sholeh umat ini ? Kalau ya, apa saja atau kapan ?
Contoh khurujnya Ahlus Sunnah adalah, misalnya, pemberontakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan radliallahu 'anhu dan para pengikutnya terhadap kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib radliallahu 'anhu, demikian juga pemberontakan Ummul Mukminin Aisyah, Thalhah, Zubair dan lain-lain terhadap Ali radliallahu 'anhu, pemberontakan yang dilakukan oleh al Husain bin Ali bin Abi Thalib (61 H) terhadap khalifah Bani Ummayyah Yazid bin Mu’awiyyah. (Lihat Fathul Bari 13/63).
Selain itu, ada pemberontakan Ahlul Madinah yang dipimpin oleh Ash Shalabi Abdullah bin Handholah (63 H) terhadap Yazid bin Mu’awiyyah. (Lihat Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir 8/217 dan Fathul Bari, 6/118, 13/63).Pemberontakan Abdur Rahman bin Al Asy Syari'ah’ats terhadap Al Hajjaj Ats Tsaqafi kemudian terhadap Abdul Malik bin Marwan (81-82 H). (Lihat Al Bidayah wan Nihayah, 9/35-42).
Pemberontakan Zaid bin Ali bin al Husain bin Ali bin Abi Thalib (121 H) terhadap khalifah Hisyam bin Abdul Malik. (Lihat Al Bidayah wan Nihayah 9/35-42).
Pemberontakan Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib terhadap Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz – Amir Iraq - lihat Al Bidayah wan Nihayah 10/25. Dan lain sebagainya, rujuk Al Bidayah wan Nihayah.
Dari sebagian contoh tersebut menjadi jelaslah bagi orang yang mau membuka mata dan telinganya bahwasanya berlaku keras dan memberontak (khuruj) juga merupakan amalan ahlus sunnah, bukan khawarij saja, hanya perbedaannya, keras dan berontaknya golongan khawarij batil karena diasaskan di atas kebatilannya, mereka mengkafirkan dengan segala dosa baik yang mukaffirah (mengkufurkan) maupun yang tidak mukaffirah, karena menurutnya dosa adalah satu martabat misalnya berzina disamakan dengan menyembah berhala. Maka seluruh pemimpin yang melakukan dosa-dosa al kabair mereka vonis telah kafir dan wajib diperangi, sehingga mereka memberontak pemimpin yang sebenarnya masih sah di sisi syari'at dan tidak boleh diperangi.
Adapun kekerasan dan pemberontakan yang dilakukan Ahlus Sunnah adalah berdasarkan ilmu yang benar bukan ngawur sebagaimana khawarij. Ahlus sunnah memberontak penguasa dalam dua keadaan:
1.Terhadap penguasa yang kafir dan hal ini disepakati oleh jumhur ulama akan wajibnya.
Penguasa yang kafir kalau disimpulkan ada 3 bentuk:
a.Penguasanya kafir asli dan pemerintahannya juga kafir, contohnya negara-negara Barat, seperti ; Singapura, Thailand, Philipina dan sebagainya.
b.Penguasa yang mengaku beragama Islam tetapi pemerintahannya tidak berdasarkan Islam, didilantik menjadi pemimpin bukan di atas Al Kitab dan As Sunnah, bukan juga untuk menegakkan dien
c.Penguasa yang sah menurut syari'at Islam (bukan sekedar mengaku beragama Islam), kemudian dalam perjalanan pemerintahannya ternyata melakukan kufur akbar yang jelas. Penguasa yang seperti ini wajib diturunkan berdasarkan hadits Ubadah bin Ash Shamit radliallahu 'anhu yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni ada dalil syar’iy yang jelas dari ayat al Qur’an maupun al Hadits yang tidak mengandung takwil bahwasanya perbuatan atau amal yang dilakukan oleh penguasa itu mukaffir. (lihat Al Jami’ fie Thalabil Ilmisy Syarif, 8/31 dan Nailul Authar 7/361)
2.Pemberontakan yang dilakukan ahlus sunnah (bukan khawarij) terhadap penguasa muslim (sesuai dengan istilah syar’i) yang fasiq atau yang zalim.
Jenis pemberontakan inilah yang banyak terjadi di zaman abad yang terbaik yaitu pada tiga abad pertama Hijriyah, yang dilakukan antara lain oleh shahabat-shahabat yang mulia radliallahu 'anhuma ajma’in sebagaimana yang telah di sampaikan sebagiannya di atas, yakni contoh khurujnya Ahlus Sunnah.
I’dad Sebelum Jihad
Dari keterangan di atas menjadi jelaslah kesalahan orang-orang yang menisbahkan kekerasan dan pemberontakan hanya kepada ahlul bid'ah dan ahlul ahwa' yaitu golongan khawarij sehingga terkesan seolah-olah ahlus sunnah wal jama'ah itu kelompok sufi dan jabari yang berusaha menangisi kemungkaran termasuk kemungkaran penguasa dengan tasbih, bersemedi, dan mentarbiyah, sedangkan sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash-nash termasuk hadits-hadits Ubadah bin Shamit radliallahu 'anhu dan lain sebagainya. Dan berpuluh-puluh qaul ulama salaf bahwasanya penguasa yang kafir asli maupun yang murtad wajib diperangi bahkan yang tadinya benar-benar pemimpin yang sah menurut syar’iy memenuhi semua syarat sebagai seorang khalifah, kemudian tiba-tiba melakukan kekufuran yang jelas, maka wajib hukumnya bagi rakyat yang beriman keluar memberontaknya untuk menggulingkannya. Camkan sekali lagi kata-kata Ibnu Hajar tersebut di atas. (Fathul Bari 13/7,8). Siapa yang menjadi pelopor untuk menunaikan perintah-perintah tersebut jika seandainya ahlus sunnah telah merubah jati dirinya menjadi ahlush shufiyah, ahlul jabar dan ahlul irja’?
Karena Islam menuntut kepada setiap pemeluknya bersikap kepada penguasanya sesuai dengan syari'atnya, maka wajib setiap muslim mengetahui kedudukan penguasanya menurut syari'at, apakah ia seorang penguasa yang sah atau tidak sah, dan ataukah ia seorang kafir asli, ataukah seorang kafir murtad, dan ataukah ia seorang penguasa yang sah tetapi fasiq atau zalim? Semua ini baik bentuk-bentuk penguasa maupun tata cara menyikapi masing-masing telah diatur dalam syari'at dan telah dijelaskan oleh ahlul ilmi kita dengan sedetail-detailnya. Untuk dapat memahami keadaan penguasa yang sebenarnya menurut syari'at caranya bukan ngawur seenaknya sendiri, dengan goyang kaki mengikuti cara yang mudah mengikut hawa nafsu dan selera, misalnya: karena KTP penguasa tersebut beragama Islam, berarti dia penguasa muslim yang sah, maka semua rakyat yang muslim wajib taat. Cara dan kesimpulan seperti ini adalah jahil dan dhalal. Bagaimana cara yang benar? Yaitu dengan merujuk kepada Al Kitab dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf.
Lalu, bagaimana jika kita tidak mampu atau belum mampu meelaksanakannya, yaitu melakukan khuruj kepada pemerintahan kufur murtad, maka wajib untuk melakukan persiapan (I’dad).
Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagaimana mengadakan persiapan untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan itu wajib ketika jihad tidak mampu dilaksanakan karena lemah. Karena sesungguhnya kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sebuah sarana, maka sarana itu pun hukumnya juga wajib.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/259).
Allah SWT. berfirman:
“Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah). Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (QS. 8:59-60)
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda:
“Ingatlah bahwa kekuatan itu adalah melempar.”
Beliau mengatakan tiga kali. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Uqbah bin Amir.Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwasanya kewajiban kaum muslimin terhadap para thogut itu telah ditetapkan berlandaskan nash syar’i, sehingga tidak boleh seorang muslim pun keluar dari ketetapan itu. Nash itu adalah :
“Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Allah.”
Telah terjadi ijma’ atas wajibnya memberontak mereka, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian maka tidak diperbolehkan untuk berijtihad dalam masalah cara untuk menghadapi para thoghut itu, karena ada nash dan ijma’ dalam masalah itu. Sesungguhnya orang yang berijtihad dalam permasalahan ini yang mana masalah ini telah ada nash dan ijma’, maka orang tersebut telah benar-benar sesat. Sebagaimana orang yang berusaha untuk merealisasikan syari’at Islam melalui kesyirikan parlemen dan cara yang semacam itu. Jika ada orang yang mengatakan bahwa ketidakmampuan menghalangi kita untuk memberontak, maka kami katakan kepadanya, sesungguhnya kewajiban kita ketika tidak mampu adalah melakukan persiapan, bukan mengikuti mereka dalam kesyirikan parlemen mereka. Jika benar-benar tidak mampu maka wajib untuk hijrah. Jika tidak mampu untuk hijrah maka tinggallah dia sebagaimana orang yang lemah yang tunduk berdo’a kepada Allah, :
“Orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a:"Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". (QS. 4:75)
Seorang muslim tidak akan ikut dalam parlemen perundang-undangan mereka. Karena ikut serta di dalamnya berarti rela dengan sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Artinya pendapat mayoritas rakyat itulah yang menjadi syari’at yang harus diikuti oleh umat. Ini adalah kekafiran yang disebutkan dalam firman Allah:
“Dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Robb selain Allah. (QS. 3: 64)
Anggota-anggota parlemen ini adalah Robb-robb (tuhan-tuhan) yang disebutkan dalam ayat ini, dan ini adalah kekafiran. Dan barang siapa yang tidak mengetahui hal ini wajib untuk diberi tahu. Allah berfirman:Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. 4: 140)
Jadi, barang siapa yang duduk bersama mereka dan menyaksikan kekufuran mereka, maka ia kafir seperti mereka. Naudzubillah min dzalik.
Wallahu’alam bis Showab!
Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagaimana mengadakan persiapan untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan itu wajib ketika jihad tidak mampu dilaksanakan karena lemah. Karena sesungguhnya kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sebuah sarana, maka sarana itu pun hukumnya juga wajib.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/259).
Allah SWT. berfirman:
“Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah). Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (QS. 8:59-60)
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda:
“Ingatlah bahwa kekuatan itu adalah melempar.”
Beliau mengatakan tiga kali. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Uqbah bin Amir.Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwasanya kewajiban kaum muslimin terhadap para thogut itu telah ditetapkan berlandaskan nash syar’i, sehingga tidak boleh seorang muslim pun keluar dari ketetapan itu. Nash itu adalah :
“Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Allah.”
Telah terjadi ijma’ atas wajibnya memberontak mereka, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian maka tidak diperbolehkan untuk berijtihad dalam masalah cara untuk menghadapi para thoghut itu, karena ada nash dan ijma’ dalam masalah itu. Sesungguhnya orang yang berijtihad dalam permasalahan ini yang mana masalah ini telah ada nash dan ijma’, maka orang tersebut telah benar-benar sesat. Sebagaimana orang yang berusaha untuk merealisasikan syari’at Islam melalui kesyirikan parlemen dan cara yang semacam itu. Jika ada orang yang mengatakan bahwa ketidakmampuan menghalangi kita untuk memberontak, maka kami katakan kepadanya, sesungguhnya kewajiban kita ketika tidak mampu adalah melakukan persiapan, bukan mengikuti mereka dalam kesyirikan parlemen mereka. Jika benar-benar tidak mampu maka wajib untuk hijrah. Jika tidak mampu untuk hijrah maka tinggallah dia sebagaimana orang yang lemah yang tunduk berdo’a kepada Allah, :
“Orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a:"Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". (QS. 4:75)
Seorang muslim tidak akan ikut dalam parlemen perundang-undangan mereka. Karena ikut serta di dalamnya berarti rela dengan sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Artinya pendapat mayoritas rakyat itulah yang menjadi syari’at yang harus diikuti oleh umat. Ini adalah kekafiran yang disebutkan dalam firman Allah:
“Dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Robb selain Allah. (QS. 3: 64)
Anggota-anggota parlemen ini adalah Robb-robb (tuhan-tuhan) yang disebutkan dalam ayat ini, dan ini adalah kekafiran. Dan barang siapa yang tidak mengetahui hal ini wajib untuk diberi tahu. Allah berfirman:Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. 4: 140)
Jadi, barang siapa yang duduk bersama mereka dan menyaksikan kekufuran mereka, maka ia kafir seperti mereka. Naudzubillah min dzalik.
Wallahu’alam bis Showab!