12 Mei 2008

50 Indikasi Destruktif Demokrasi...Oleh Syaikh Abdul Majid Bin Mahmud Ar Reimy

Dengan memohon taufiq kepada Allah, kami berusaha memaparkan beberapa indikasi destruktif (kerusakan) demokrasi, pemilihan umum dan berpartai:

1. Demokrasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya berupa partai-partai dan pemilihan umum merupakan manhaj jahiliyah yang bertentangan dengan Islam, maka tidak mungkin sistem ini dipadukan dengan Islam karena Islam adalah cahaya sedangkan demokrasi adalah kegelapan.

"Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat dan tidak (pula) kegelapan dengan cahaya." (Surat Faathir:19-20)

Islam adalah hidayah dan petunjuk sedangkan demokrasi adalah penyimpangan dan kesesatan.

"Sungguh telas jelas petunjuk daripada kesesatan." (Surat Al-Baqarah: 256)

Islam adalah manhaj rabbani yang bersumber dari langit sedangkan demokrasi adalah produk buatan manusia dari bumi. Sangat jauh perbedaan antara keduanya.

2. Terjun ke dalam kancah demokrasi mengandung unsur ketaatan kepada orang-orang kafir baik itu orang Yahudi, Nasrani atau yang lainnya, padahal kita telah dilarang untuk menaati mereka dan diperintahkan untuk menyelisihi mereka, sebagaimana hal ini telah diketahui secara lugas dan gamblang dalam dien.

Allah Ta'ala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menaati sekelompok orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah kamu beriman." (Surat Ali 'Imran: 100)

"Karena itu janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar." (Surat Al-Furqaan: 52)

"Dan janganlah kamu menaati orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung(mu)." (Surat Al-Ahzaab: 48)

Dan ayat-ayat yang senada dengan ini sangat banyak dan telah menjadi maklum.

3. Sistem demokrasi memisahkan antara dien dan kehidupan, yakni dengan mengesampingkan syari'at Allah dari berbagai lini kehidupan dan menyandarkan hukum kepada rakyat agar mereka dapat menyalurkan hak demokrasi mereka --seperti yang mereka katakan-- melalui kotak-kotak pemilu atau melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Majelis Perwakilan.

4. Sistem demokrasi membuka lebar-lebar pintu kemurtadan dan zindiq, karena di bawah naungan sistem thaghut ini memungkinkan bagi setiap pemeluk agama, madzhab atau aliran tertentu untuk membentuk sebuah partai dan menerbitkan mass media untuk menyebarkan ajaran mereka yang menyimpang dari dienullah dengan dalih toleransi dalam mengeluarkan pendapat, maka bagaimana mungkin setelah itu dikatakan, "Sesungguhnya sistem demokrasi itu sesuai dengan syura dan merupakan satu keistimewaan yang telah hilang dari kaum muslimin sejak lebih dari seribu tahun yang lalu," sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah orang jahil, bahkan (ironisnya) hal ini juga telah ditegaskan oleh sejumlah partai Islam yang dalam salah satu pernyataan resminya disebutkan:

"Sesungguhnya demokrasi dan beragamnya partai merupakan satu-satunya pilihan kami untuk membawa negeri ini menuju masa depan yang lebih baik."

5. Sistem demokrasi membuka pintu syahwat dan sikap permissivisme (menghalalkan segala cara) seperti minum arak, mabuk-mabukan, bermain musik, berbuat kefasikan, berzina, menjamurnya gedung bioskop dan hal-hal lainnya yang melanggar aturan Allah di bawah semboyan demokrasi yang populer, "Biarkan dia berbuat semaunya, biarkan dia lewat dari mana saja ia mau," juga di bawah semboyan "menjaga kebebasan individu."

6. Sistem demokrasi membuka pintu perpecahan dan perselisihan, mendukung program-program kolonialisme yang bertujuan memecah-belah dunia Islam ke dalam sukuisme, nasionalisme, negara-negara kecil, fanatisme golongan dan kepartaian. Hal ini bertentangan dengan firman Allah Ta'ala:

"Dan sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu, maka bertaqwalah kepada-Ku." (Surat Al-Mukminun: 52)

Juga bertentangan dengan firman Allah Ta'ala:

"Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (dien) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Surat Ali 'Imran: 103)

Dan firman-Nya:

"Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu gagal dan hilang kekuatanmu." (Surat Al-Anfal: 46)

7. Sesungguhnya orang yang bergelut dengan sistem demokrasi harus mengakui institusi-institusi dan prinsip-prinsip kekafiran, seperti piagam PBB, deklarasi Dewan Keamanan, undang-undang kepartaian dan ikatan-ikatan lainnya yang menyelisihi syari'at Islam. Jika ia tidak mau mengakuinya, maka ia dilarang untuk melaksanakan aktivitas kepartaiannya dan dituduh sebagai seorang ekstrim dan teroris, tidak mendukung terciptanya perdamaian dunia dan kehidupan yang aman.

8. Sistem demokrasi memvakumkan hukum-hukum syar'i seperti jihad, hisbah, amar ma'ruf nahi munkar, hukum terhadap orang yang murtad, pembayaran jizyah, perbudakan dan hukum-hukum lainnya.

9. Orang-orang murtad dan munafiq dalam naungan sistem demokrasi dikategorikan ke dalam warga negara yang potensial, baik dan mukhlis, padahal dalam tinjauan syar'i mereka tidak seperti itu.

10. Demokrasi dan pemilu bertumpu kepada suara mayoritas tanpa tolak ukur yang syar'i.

Sedangkan Allah Ta'ala telah berfirman:

"Dan jika kamu mentaati kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (Surat Al-An'am: 116)

"Akan tetapi kebanyakan manusia itu tidak mengetahui." (Surat Al-A'raf: 187)

"Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur." (Surat Saba': 13)

11. Sistem ini membuat kita lengah akan tabiat pergolakan antara jahiliyah dan Islam, antara haq dan batil, karena keberadaan salah satu di antara keduanya mengharuskan lenyapnya yang lain, selamanya tidak mungkin keduanya akan bersatu. Barangsiapa mengira bahwa dengan melalui pemilihan umum fraksi-fraksi jahiliyah akan menyerahkan semua institusi-institusi mereka kepada Islam, ini jelas bertentangan dengan rasio, nash dan sunah (keputusan Allah) yang telah berlaku atas umat-umat terdahulu.

"Tiadalah yang mereka nanti melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) atas orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapati perubahan bagi sunnatullah dan sekali-kali tidak (pula) akan mendapati perpindahan bagi sunnatullah itu." (Surat Faathir: 43)

12. Sistem demokrasi ini akan menyebabkan terkikisnya nilai-nilai aqidah yang benar yang diyakini dan diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya yang mulia, akan menyebabkan tersebarnya bid'ah, tidak dipelajari dan disebarkannya aqidah yang benar ini kepada manusia, karena ajaran-ajarannya menyebabkan terjadi perpecahan di kalangan anggota partai, bahkan dapat menyebabkan seseorang keluar dari partai tersebut sehingga dapat mengurangi jumlah perolehan suara dan pemilihnya.

13. Sistem demokrasi tidak membedakan antara orang yang alim dengan orang yang jahil, antara orang yang mukmin dengan orang kafir, dan antara laki-laki dengan perempuan, karena mereka semuanya memiliki hak suara yang sama, tanpa dilihat kelebihannya dari sisi syar'i. padahal Allah Ta'ala berfirman:

"Katakanlah! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui." (Surat Az-Zumar: 9)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

"Maka apakah orang yang beriman itu sama seperti orang yang fasiq? Mereka tidaklah sama." (Surat As-Sajdah: 18)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

"Maka apakah Kami patut menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu berbuat demikian, bagaimanakah kamu mengambil keputusan?" (Surat Al-Qalam: 35-36)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

"Dan anak laki-laki (yang ia nadzarkan itu) tidaklah seperti anak perempuan (yang ia lahirkan)." (Surat Ali Imran: 38)

14. Sistem ini menyebabkan terjadinya perpecahan di kalangan para aktivis dakwah dan jamaah-jamaah Islamiyah, karena terjun dan berkiprahnya sebagian dari mereka ke dalam sistem ini (mau tidak mau) akan membuat mereka mendukung dan membelanya serta berusaha untuk mengharumkan nama baiknya yang pada gilirannya akan memusuhi siapa yang dimusuhi oleh sistem ini dan mendukung serta membela siapa yang didukung dan dibela oleh sistem ini, maka ujung-ujungnya fatwa pun akan simpang-siur tidak memiliki kepastian antara yang membolehkan dan yang melarang, antara yang memuji dan yang mencela.

15. Di bawah naungan sistem demokrasi permasalahan wala' dan bara' menjadi tidak jelas dan samar, oleh karenanya ada sebagian orang yang berkecimpung dan menggeluti sistem ini menegaskan bahwa perselisihan mereka dengan partai sosialis, partai baath dan partai-partai sekuler lainnya hanya sebatas perselisihan di bidang program saja bukan perselisihan di bidang manhaj dan tak lain seperti perselisihan yang terjadi antara empat madzhab, dan mereka mengadakan ikatan perjanjian dan konfederasi untuk tidak mengkafirkan satu sama lain dan tidak mengkhianati satu sama lain, oleh karenanya mereka mengatakan adanya perselisihan jangan sampai merusakkan kasih sayang antar sesama!!

16. Sistem ini akan mengarah pada tegaknya konfederasi semu dengan partai-partai sekuler, sebagai telah terjadi pada hari ini.

17. Sangat dominan bagi orang yang berkiprah dalam kancah demokrasi akan rusak niatnya, karena setiap partai berusaha dan berambisi untuk membela partainya serta memanfaatkan semua fasilitas dan sarana yang ada untuk menghimpun dan menggalang massa yang ada di sekitarnya, khususnya sarana yang bernuansa religius seperti ceramah, pemberian nasehat, ta'lim, shadaqah dan lain-lain.

18. (Terjun ke dalam kancah demokrasi) juga akan mengakibatkan rusaknya nilai-nilai akhlaq yang mulia seperti kejujuran, transparansi (keterusterangan) dan memenuhi janji, dan menjamurnya kedustaan, berpura-pura (basa-basi) dan ingkar janji.

19. Demikian pula akan melahirkan sifat sombong dan meremehkan orang lain serta bangga dengan pendapatnya masing-masing karena yang menjadi ini permasalahan adalah mempertahankan pendapat. Dan Allah Ta'ala telah berfirman:

"Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (masing-masing)." (Surat Al-Mukminun: 53)

20. Kalau kita mau mencermati dan meneliti dengan seksama, berikrar dan mengakui demokrasi berarti menikam (menghujat) para Rasul dan risalah (misi kerasulan) mereka, karena al-haq (kebenaran) kalau diketahui melalui suara yang terbanyak dari rakyat, maka tidak ada artinya diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab, apalagi biasanya ajaran yang dibawa oleh para Rasul banyak menyelisihi mayoritas manusia yang menganut aqidah yang sesat dan menyimpang dan memiliki tradisi-tradisi jahiliyah.

21. Sistem demokrasi membuka pintu keraguan dan syubhat serta menggoncangkan aqidah umat Islam, terlebih lagi kita hidup di masa dimana ulama robbaninya sangat sedikit sedang kebodohan tersebar dimana-mana. Maka lantaran terbatasnya ilmu, banyak orang-orang awam yang jiwanya down dan goncang dalam menghadapi gelombang besar dan arus deras dari berbagai partai, surat kabar, dan pemikiran-pemikiran yang destruktif.

22. Melalui dewan-dewan perwakilan dapat diketahui bahwa sesungguhnya sistem demokrasi berdiri di atas asas tidak mengakui adanya Al-Hakimiyah Lillah (hak pemilikian hukum bagi Allah), maka terjun ke dalam sistem demokrasi kalau bertujuan untuk menegakkan argumen-argumen dari Al-Quran dan Sunnah maka hal ini tidak mungkin diterima oleh anggota dewan karena yang dijadikan hujjah oleh mereka adalah suara mayoritas dan andapun mau tidak mau harus mengakui suara mayoritas tersebut, maka bagaimana anda akan menegakkan hujjah dengan Al-Quran dan Sunnah sedangkan mereka tidak mengakui keduanya. Meskipun anda menguatkan (argumen anda) dengan berbagai dalil-dalil syar'i maka dalam pandangan mereka hal itu tidak lebih dari sekedar pendapat anda saja, bagi mereka dalil-dalil tersebut tidak memiliki nilai sakral sedikitpun karena mereka menginginkan --seperti yang mereka katakan-- untuk membebaskan diri dari hukum ghaib yang tidak bersumber dari suara mayoritas dan pertama kali yang mereka tentang adalah hukum Allah dan Rasul-Nya. Maka pengakuan anda terhadap prinsip thaghut ini --yakni kebijakan hukum di tangan suara mayoritas dan pengakuan anda akan hal itu demi memenuhi tuntutan massamu-- berarti meruntuhkan prinsip "hak pemilikan dan penentuan hukum mutlaq bagi Allah semata." Dan manakala anda menyepakati bahwa suara mayoritas merupakan hujjah yang dapat menyelesaikan perselisihan maka tidak ada gunanya lagi anda membaca Al-Quran dan hadits karena keduanya bukan hujjah yang disepakati di antara kalian.

23. Kita tanyakan kepada para aktivis dakwah yang tertipu dengan sistem ini: Jika kalian sudah sampai pada tampuk kekuasaan apakah kalian akan menghapuskan demokrasi dan melarang eksisnya partai-partai sekuler? Padahal kalian telah sepakat dengan partai-partai lain sesuai dengan undang-undang kepartaian bahwa pemerintahan akan dilaksanakan secara demokrasi dengan memberi kesempatan kepada seluruh partai untuk berpartisipasi aktif. Jika kalian mengatakan bahwa sistem demokrasi ini akan dihapus dan partai-partai sekuler dilarang untuk eksis berarti kalian berkhianat dan mengingkari perjanjian kalian merkipun perjanjian tersebut (pada hakekatnya) adalah bathil. Sedangkan Allah Ta'ala telah berfirman:

"Dan jika kamu mengetahui pengkhianatan dari suatu kaum (golongan), maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat." (Surat Al-Anfal: 58)

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Akan ditancapkan sebuah bendera bagi setiap orang yang ingkar pada hari kiamat kelak." (HR. Bukhary)

Adapun hadits yang menyatakan bahwa perang itu adalah tipu daya, tidak termasuk dalam pembahasan ini. Dan jika kalian mengatakan kami akan menegakkan hukum demokrasi dan mentolerir berdirinya partai-partai berarti ini bukanlah pemerintahan yang Islami.

24. Sistem demokrasi bertentangan dengan prinsip taghyir (perubahan) dalam Islam yang dimulai dari mencabut segala yang berbau jahiliyah dari akar-akarnya lalu mengishlah (memperbaiki) jiwa-jiwa manusia.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada diri mereka sendiri." (Surat Ar-Ra'du: 11)

Maka prinsip perbaikan ekonomi, politik dan sosial adalah mengikuti perbaikan jiwa manusia-manusianya, bukan sebaliknya.

25. Sistem ini bertentangan dengan nash-nash yang qath'i yang mengharamkan menyerupai orang-orang kafir baik dalam akhlaq, gaya hidup, tradisi ataupun sistem dan perundang-undangan mereka.

26. Dan yang sangat membahayakan, sistem demokrasi dan pemilu dapat mengestablishkan (mengukuhkan posisi) orang-orang kafir dan munafiq untuk memegang kendali kekuasaan atas kaum muslimin --dengan cara yang syar'i-- menurut perkiraan sebagian orang-orang yang jahil. Padahal Allah Ta'ala telah berfirman:

"Janji-Ku (untuk menjadikan keturunan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin) ini tidak mengenai orang-orang dzalim." (Surat Al-Baqarah: 124)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (Surat An-Nisaa': 141)

Berapa banyak orang-orang muslim yang awam tertipu dengan sistem seperti ini sehingga mereka mengira bahwa pemilu adalah cara yang syar'i untuk memilih seorang pemimpin!!

27. Demokrasi mengaburkan dan meruntuhkan pengertian syura yang benar, karena minimal syura itu berbeda dengan demokrasi dalam tiga prinsip dasar:

a. Dalam sistem syura, sebagai pembuat dan penentu hukum adalah Allah sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Menetapkan hukum itu adalah hak Allah." (Surat Al-An'am: 57)

Sedangkan demokrasi tidak seperti itu karena penentu hukum dan kebijaksanaan berada pada selain Allah (yakni di tangan suara mayoritas).

b. Syura dalam Islam hanya diterapkan dalam masalah-masalah ijtihadi yang tidak ada nashnya ataupun ijma', sedangkan demokrasi tidaklah demikian.

c. Syura dalam Islam hanya terbatas dilakukan oleh orang-orang yang termasuk dalam Ahlu'l-Halli wa'l-Aqdi, orang-orang yang berpengalaman dan mempunyai spesifikasi tertentu, sedangkan demokrasi tidak seperti itu sebagaimana telah dijelaskan pada point terdahulu.

28. Terjun ke dalam kancah demokrasi akan dihadapkan pada perkara-perkara kufur dan menghujat syariat Allah, mengolok-oloknya dan mencemooh orang-orang yang berusaha untuk menegakkannya, karena setiap kali dijelaskan kepada mereka bahwa hukum yang mereka buat bertentangan dengan ajaran Islam, mereka akan mencemooh syariat Islam yang bertentangan dengan undang-undang mereka dan mencemooh orang-orang yang berusaha untuk memperjuangkannya. Maka menutup erat-erat pintu yang menuju ke sana dalam hal ini sangat diperlukan. Allah Ta'ala berfirman:

"Oleh sebab itu berilah peringatan, karena peringatan itu sangat bermanfaat." (Surat Al-A'la: 9)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu memaki-maki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (Surat Al-An'am: 108)

29. Masuk ke dalam kancah demokrasi dapat menyingkap data-data tentang harakah Islamiyah dan sejauh mana peran dan pengaruhnya terhadap rakyat yang pada gilirannya harakah tersebut akan dihabisi dan dimusnahkan sampai ke markasnya. Maka jelas hal ini sangat merugikan dan membahayakan sekali.

30. Demokrasi akan membuat harakah Islamiyah dikendalikan oleh orang-orang yang tidak kufu' (yang tidak memiliki pengetahunan dan pemahaman tentang Dien yang cukup), karena yang menjadi pemimpin harus sesuai dengan hasil partai dalam sistem kerja maupun pelaksanaan programnya harus sesuai dengan asas pemilu.

31. Dari hasil kajian dan pemantauan langsung di lapangan telah terbukti gagal dan tidak ada manfaatnya sistem ini, di mana banyak para aktivis dakwah di pelbagai negara seperti Mesir, Aljazair, Tunisia, Yordania, Yaman, dan lain-lain yang telah ikut berperan dalam pentas demokrasi ini, namun hasilnya sama-sama telah diketahui "hanya sekedar mimpi dan fatamorgana" sampai kapan kita masih akan tertipu?

32. Orang yang mau memperhatikan dan mencermati akan tahu bahwa sistem demokrasi akan menyimpangkan alur shahwah Islamiyah (kebangkitan Islam) dari garis perjalanannya, melalaikan akan tujuan dasarnya dan juga akan menjurus kepada perubahan total yang mendasar dan menyeluruh, yang hanya bertumpu pada prediksi dan khayalan belaka.

33. (Diberlakukannya sistem demokrasi) berarti menafikan peran ulama dan menghilangkan kedudukan mereka di mata masyarakat padahal merekalah yang memiliki ilmu dan menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, karena mereka sudah tidak lagi ditaati dan dijadikan sebagai pemimpin lantaran kebijaksanaan hukum berada di tangan mayoritas.

34. Sistem demokrasi memupuskan minat dan semangat untuk mendalami ilmu syar'i dan tafaqquh fi'd-dien dan menyibukkan manusia dalam hal-hal yang tidak bermanfaat.

35. Sistem demokrasi menyebabkan terhentinya ijtihad, karena tidak ada istilah mujtahid dan muqollid dalam barometer demokrasi, semuanya adalah mujtahid tanpa perlu memiliki perangkat ijtihad atau melihat kepada dalil-dalil syar'i.

36. Sistem ini dapat menyebabkan hancur dan binasanya harakah Islamiyah, karena sering kali harakah-harakah ini bertikai dan berkonfrontasi dengan orang-orang yang menyelisihi mereka tanpa mempunyai kemampuan dan persiapan untuk menghadapi musuh.

37. Menurut sebagian aktivis dakwah, tujuan mereka masuk ke dalam sistem ini adalah untuk menegakkan hukum Allah. Padahal mereka tidak akan mewujudkannya kecuali dengan mengakui bahwa rakyat adalah sebagai penentu dan pembuat hukum, ini berarti ia telah menghancurkan tujuan (yang ingin dicapainya) dengan sarana yang dipergunakannya.

38. Demokrasi adalah sebuah sistem yang menipu rakyat pada hari ini, dengan propagandanya hukum berada di tangan rakyat dan rakyatlah sebagai pemegang keputusan, padahal pada hakekatnya tidaklah demikian.

39. Demokrasi menyita dan menghabiskan waktu dan tenaga para ulama dan aktivis dakwah, dan membuat mereka lalai dari membina umat dan dari berkonsentrasi untuk mengajarkan dienul Islam kepada manusia.

40. Dalam sistem demokrasi kekuasaan dibatasi sampai pada masa tertentu, jika masanya telah berakhir maka ia harus turun untuk digantikan dengan yang lainnya., kalau tidak maka akan terjadi pertikaian dan peperangan, padahal bisa jadi sebenarnya dialah yang paling berhak (karena memiliki kemampuan dan kecakapan yang memenuhi persyaratan sebagai seorang pemimpin) namun karena masa jabatannya telah habis ia diganti oleh orang lain yang tidak memiliki kemampuan seperti dirinya. Maka hal ini akan membuka pintu fitnah dan sikap membelot dari penguasa yang sah, padahal telah diketahui bahwa keluar (membelot) dari penguasa itu tidak boleh kecuali jika penguasa tersebut terlihat melakukan kekafiran yang nyata dan pembelotannya dapat mewujudkan kemaslahatan yang berarti serta memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut.

41. Dewan-dewan perwakilan adalah dewan-dewan thaghut yang tidak dapat dipercaya untuk mengakui bahwa pemilik dan penentu hukum secara mutlaq adalah Allah, maka tidak boleh duduk bersama mereka di bawah payung demokrasi, karena Allah Ta'ala telah berfirman:

"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Quran, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan dicemoohkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam." (Surat An-Nisaa': 140)

Dan juga dalam firman-Nya:

"Dan apabila kamu melihat orang-orang menghina ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini) maka janganlah kamu duduk lagi bersama orang-orang yang dzalim itu sesuadah teringat (akan larangan itu)." (Surat Al-An'am: 68)

42. Demokrasi pada hakekatnya menikam (menghujat) Allah serta melecehkan hikmah dan syariat-Nya. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, kita katakan sesungguhnya Allah telah mengutus para Rasul dan mewajibkan manusia untuk menaati mereka, mengancam orang yang tidak taat dengan neraka dan kebinasaan, menurunkan kitab-kitab suci sebagai pemutus perkara di antara manusia. Dia menghalalkan dan mengharamkan, mewajibkan, memakruhkan dan mensunnahkan, memuji dan mencela, menghinakan dan memuliakan, mengangkat suatu kaum dan menjatuhkan kaum yang lain tanpa memandang dan melihat kondisi dan keadaan yang menyelisihi ajaran para Rasul. Bahkan ketika para Rasul tersebut datang, mayoritas manusia --kalau kita tidak mengatakan semuanya--- dalam kesesatan dan dalam kungkungan kejahiliyahan yang membabi buta. Maka sekiranya demokrasi dan hak membuat dan memutuskan hukum yang berada di tangan rakyat itu benar, berarti semua perbuatan yang telah dilakukan Allah ini sia-sia belaka. Maha Suci Allah atas semua hal ini.

Kedua, kita katakan sekiranya demokrasi itu haq (benar), niscaya diturunkannya kitab-kitab suci dan diutusnya para Rasul merupakan tindakan semena-mena dan dzalim serta berbenturan dengan pendapat dan hak manusia untuk menghukumi mereka dengan hukum mereka sendiri. Maha Suci Allah dari segala bentuk kedzaliman.

Ketiga, sekiranya demokrasi itu haq, niscaya hukum tentang jihad dan tumpahnya darah orang-orang kafir yang menentang Islam serta hukum membayar jizyah dan perbudakan adalah tindak kedzaliman bagi mereka dan bertentangan dengan pendapat-pendapat mereka yang destruktif. Sikap seperti ini berarti menghujat syari'at Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Sisi lain, sekiranya demokrasi itu haq, niscaya pengusiran iblis dari surga, pembinasaan kaum Nabi Nuh, ditenggelamkannya Fir'aun dan pasukannya serta kebinasaan yang menimpa kaum Nabi Hud, Shalih, Syu'aib, dan Luth, ini semua merupakan tindak kedzaliman atas mereka karena Allah mengadzab mereka lantaran pemikiran-pemikiran dan aqidah mereka yang destruktif.

Sisi lain, sekiranya demokrasi itu haq, niscaya hukuman rajam terhadap orang yang berzina dan hukuman cambuk terhadap orang yang minum arak merupakan tindak kekerasan dan kekejaman, dan mengusik kebebasan individu seperti dikatakan oleh orang-orang dzalim.

"Alangkah busuknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta." (Surat Al-Kahfi: 5)

Maha Tinggi Allah atas apa-apa yang diucapkan oleh orang-orang yang dzalim.

43. Di bawah naungan sistem demokrasi berbagai bid'ah dan kesesatan dengan berbagai macam pola tumbuh subur dan orang-orang yang menyerukannya dari berbagai thoriqot dan firqoh seperti Syiah, Rafidlah, Sufiah, Mu'tazilah, Kebatinan, dan lain-lainnya pun bermunculan. Bahkan di bawah naungan sistem ini mereka mendapatkan dukungan dan dorongan dari orang-orang munafik yang berada di dalamnya dan juga dari kekuatan-kekuatan yang terselubung dari pihak luar. Dan Allah tetap memiliki urusan terhadap makhluk-makhluk ciptaan-Nya.

44. Sebaliknya bertubi-tubi tuduhan dan dakwaan yang ditujukan kepada para aktivis dakwah dengan menjelekkan citra mereka di mata masyarakat umum sehingga mereka dijuluki sebagai pencari kedudukan, harta dan jabatan, dan mereka juga dijuluki sebagai penjilat dan masih banyak lagi julukan-julukan dusta lainnya sebagai akibat diberlakukannya asas bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat serta menghujat harga diri orang lain.

45. Orang yang berada di dalam sistem ini dipaksa untuk bergabung dalam satu barisan bersama partai-partai murtad dan zindiq dalam mempertahankan prinsip-prinsip jahiliyah seperti deklarasi-deklarasi internasional, kebebasan pers, kebebasan berpikir, kebebasan etnis Arab,

46. Sistem ini akan mengakibatkan hancurnya perekonomian dan disia-siakannya harta rakyat, karena anggaran belanja negara akan dialokasikan oleh partai-partai berkuasa demi memenuhi ambisi mereka dengan membangun gedung-gedung dan menjalankan kampanye pemilihan umum sesuai dengan yang mereka rencanakan dan agar partai-partai tersebut dapat mewujudkan pembelian dukungan (penggalangan dan pengumpulan massa) dengan iming-iming materi yang menggiurkan.

47. Sistem ini memadukan antara haq dan bathil, jahiliyah dan Islam, serta antara ilmu dan kebodohan.

48. Demokrasi mencabik-cabik jati diri umat Islam dan menjatuhkan kewibawaan mereka melalui penghujatan atas syari'at dan tuduhan bahwa syari'at tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman, juga melalui pengebirian sejarah dan hukum Islam dan mengilustrasikan bahwa Islam itu diktator tidak seperti demokrasi. Di samping itu demokrasi berarti meleburkan umat Islam secara membabi buta ke dalam satu wadah bersama orang-orang barat dari golongan Yahudi dan Nasrani yang memendam dendam kesumat kepada umat Islam.

49. Sistem ini akan membuat labilnya keamanan suatu negeri dan terjadinya persaingan antar partai yang tidak berujung pangkal, maka manakala sistem ini diterapkan di suatu negara, niscaya akan tersebar rasa takut, cemas, persaingan antar penganut aqidah, aliran, fanatisme golongan dan keturunan, sikap oportunis dan bentuk-bentuk persaingan tidak sehat lainnya.

50. Kalaupun ada kemaslahatan yang dapat dipetik dari berkiprah dalam demokrasi dan pemilihan umum, kemaslahatan ini masih bersifat parsial dan masih samar jika dibandingkan dengan sebagian kerusakan besar yang ditimbulkannya apalagi jika dibandingkan dengan keseluruhannya. Dan orang yang mengamati secara obyektif atas sebagian yang telah disebutkan akan menjadi jelas baginya ketimpangan sistem thoghut ini dan jauhnya dari dienullah bahkan sesungguhnya demokrasi adalah aliran dan sistem yang paling berbahaya yang dipraktekkan di dunia saat ini, ia merupakan induk kekafiran, dimana memungkinkan setiap aliran dan agama baik itu Yahudi, Nasrani, Majusi, Budha, Hindu dan Islam untuk hidup di bawah naungannya. Dalam barometer demokrasi semua pendapat mereka dihargai dan didengar, mereka berhak untuk mempraktekkan dan mengamalkan aqidah mereka dengan seluruh sarana dan fasilitas yang ada. Cukuplah hal ini sebagai tanda zindiq dan keluar dari dien Islam, maka bagaimana mungkin setelah ini dikatakan sesungguhnya demokrasi itu sesuai dengan Islam atau Islam itu adalah sistem demokrasi atau demokrasi itu adalah syura sebagaimana dikatakan oleh sejumlah orang yang menggembar-gemborkan sistem ini sebagai sistem Islam.

PENUTUP

Akhirnya kami mengharap dari setiap saudara yang berambisi untuk memperjuangkan Dienullah untuk benar-benar mencermati serta mengkaji kembali kerusakan-kerusakan ini, dan melihat kepadanya secara obyektif jauh dari fanatik individu, badan, atau institusi tertentu karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti dan hikmah merupakan barang orang mu'min yang hilang dimanapun ia mendapatkannya maka ia berhak atasnya. Kami memohon kepada Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang agung agar menyatukan hati-hati kaum muslimin di atas ketaatan kepada-Nya dan menyatukan barisan mereka di atas Al-Haq dan ittiba' (mengikuti tuntunan dan garis perjuangan yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam). Karena Dialah Yang Maha Kuasa atas hal tersebut. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada penutup para Nabi dan Rasul Nabi kita Muhammad, segenap keluarganya, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang meniti jejaknya dan mengikuti sunnahnya sampai hari kiamat.

Sumber : http://www.muharridh.com

11 Mei 2008

Dilarang Mengangkat Orang Kafir Untuk Menempati Posisi Yang Penting...Oleh Syaikh Ayman Adz Dzawahiri hafidzahullah

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Imam Ahmaad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Musa Al Asy’ari radliyallahu ‘andu. Saya berkata kepada Umar radliyallahu ‘anhu, ‘Saya memiliki seorang penulis beragama Nashrani’, Umar berkata, ‘Celaka! Apakah kamu tidak mendengar firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang Yahudi dan Nashrani penolong, sebab sebagian mereka adalah penolong bagi yang lain.” (Al Ma’idah (5):51)
Kenapa kamu tidak mengambil orang yang lurus agamanya?’ Saya menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, saya hanya membutuhkan tulisannya dan baginya agamanya’, Umar berkata lagi, ‘Saya tidak akan emnghormati mereka karena Allah telah merendahkan mereka, saya tidak akan emmuliakan mereka karena Allah telah menghinakan mereka, dan saya tidak akaan mendekati mereka karena Allah menjauhi mereka.” (Iqtidha’ Shirathal Mustaqi, Ibnu Taimiyah: 1/50)
Al Qurthubi berkata, “Umar radliyallahu ‘anhu berkata, ‘Janganlah kalian menggunakan ahli kitb dalam urusan kalian, sebab mereka menghalalkan suap menyuap. Mintalah kalian bantuan untuk menyelesaikan urusan dan tanggung jawabmu kepada orang-orang yang takut kepada Allah’, Pernah pula ditanyakan kepada Umar, ‘Sesungguhnya, di sini ada seorang laki-laki Nashrani. Tidak ada seorang pun yang lebih pandai dari dia dalam urusan menulis. Bagaimana jika dia menajdi juru tulis bagi Anda?’, Umar berkata, ‘Saya tidak akan mengambil orang keprcayaan selain orang-orang yang beriman’. Maka, sesorang tidak boleh mempercayakan kepada ahlu adz Dzimmah dan selain mereka sebagai sekretaris dalam perkara jual beli, tidak boleh pula mewakilkan kepadanya.
Saya katakana bahwa kondisi hari ini telah berbalik dengan adanya orang-orang yang menjadikan ahli kitab sebagai sekretaris dan orang kepercayaan. Dengan demikian, kalian mengangkat para pemimpin dan penguasa yang bodoh lagi dungu.” (Tafsir Al Qurthubi: 4/179)
Ibnu Taimiyah rahimhaullah berkata, “Tidak boleh meminta bantuan kepada ahli adz dzimmah untuk sebuah pekerjaan dn tulis menulis karena pasti akan berakibat pada kerusakan atau paling tidak akan mengarah ke sna. Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya dalam sebuah riwayat Abu Thalib, ‘Bagaimana jika (ahli adz dzimmah) bekerja dalam urusan pajak?’ Beliau menjawab, ‘Jangan meminta bantuan kepada mereka dalm urusan apa pun. Siapa yang mengangkat salah seorang dari mereka untuk bekerja di sebuah departemen milik kaum Muslimin maka apakaah dia akan membatalkan perjanjiannya? Jika nmpak bahwa dirinya menganiaya kaum Muslimin atau berusaha mencelakainya maka tidak boleh mempergunakannya. Memilih selain mereka adalah lebih utama dalam setiap keadaan. Sesungguhnya, Abu Bakara Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu telah berjanji untuk tidak mlibatkan seorang pun dari orang-orang murtad ketika mereka telah kembali kepada Islam, karena khawatir akan kerusakan agama.” (Al Fatawa Al Kubra, Al Ikhtiyarat Al Ilmiyyah, Kitabul Jihad: 4/607)
Shape Yahoo! in your own image. Join our Network Research Panel today!

Risalah Syarah Ashlu Dinil Islam...Oleh Al Imam Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah...


Ucapan (Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahihamullaah) : Ashlu Dinil Islam Wa Qa’idatuhu ada dua:

Pertama:
*) Perintah untuk beribadah kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagiNya
*) Penekanan akan hal itu
*) Muwaalaah (melakukan loyalitas) di dalamnya
*) Dan mengkafirkan orang yang meninggalkan tauhid

Saya berkata: Dan dalil-dalil ini di dalam Al Qur’an adalah lebih banyak untuk dihitung seperti firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” (TQS: Al Imran: 64)

Allah subhaanahu wa ta’aala memerintahkan NabiNya agar mengajak ahli kitab kepada makna Laa Ilaaha Illallaah yang di mana beliau mengajak orang-orang Arab dan umat yang lainnya kepada makna kalimat itu. Sedangkan kalimat itu[1] adalah Laa ilaaha illallaah yang ditafsirkan dengan firmanNya: “Bahwa tidak kita sembah kecuali Allah.”

FirmanNya; “Bahwa tidak kita sembah,” di dalamnya terkandung makna Laa illaaha yaitu penafian ibadah dari selain Allah. Sedangkan firmanNya: “Kecuali Allah,” adalah dikecualikan dalam kalimat ikhlash (tauhid), Allah subhaanahu wa ta’ala memerintahkan NabiNya agar menyeru mereka untuk mengkhususkan ibadah hanya kepada Allah dan menafikannya dari selainNya. Dan ayat-ayat semacam ini banyak sekali.

Dia menjelaskan bahwa ilaahiyyah itu adalah ibadah, sedangkan ibadah itu tidak layak sedikt pun ditujukan kepada selain Allah, sebagaimana firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (TQS: Al Israa: 23)

Makna Qodho adalah memerintahkan dan mewasiatkan, dua penafsiran yang maknanya satu.
FirmanNya: “Supaya kamu jangan menyembah,” terkandung di dalamnya makna Laa ilaaha, sedangkan firmanNya: “Selain Dia,” terkandung di dalamnya makna Illallaah, dan ini adalah tauhid ibadah yang merupakan dakwah/ajaran semua Rasul di kala mereka mengatakan kepada kaum-kaumnya, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia,” dan di dalam ibadah ini harus menafikkan syirik secara mutlak, berlepas diri darinya dan dari pelakunya, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla entang kekasihNya Ibrahim ‘alaihis salaam:

“Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya; ‘sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhanku yang telah menjadikanku.” (TQS: Az Zukhruf: 26-27)

Mesti adanya bara’ah (berlepas diri) dari peribadatan terhadap sesuatu yang disembah selain Allah. Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman tentang Ibrahim ‘alaihis salaam:

“Dan aku akan menjauhkan diri dari padamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah,” (TQS: Maryam: 48)

Wajib menjauhi/meninggalkan syirik dan pelakuknya serta berlepas diri (bara’ah) dari keduanya, sebagaimana yang ditegaskan lebih lanjut oleh firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mreka berkata kepada kaum mereka: ‘sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kakfiran)mud an telah nyata antara kamu dan kami permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (TQS: Al Mumtahanah: 4)

Sedangkan orang-orang yang bersama Ibrahim itu adalah para Rasul sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jarir.

Ayat ini menunjukkan atas semua yang telah disebutkan oleh syaikh kami (Muhammad bin abdul wahhab) rahimhullaah, yaitu penekanan akan tauhid, penafian syirik, berlaku loyal kepada ahli tauhid dan mengkafirkan orang yang meninggalkan tauhid ini dengan sebab dia melakukan syirik yang berlawanan dengannya, karena sesungguhnya orang yang melakukan syirik[2] maka dia itu telah meninggalkan tauhid, sebab keduanya adalah hal yang kontradiksi lagi tidak mungkin bersatu, kapan saja syirik didapatkan maka berarti tauhid hilang,[3] dan Allah ‘Azza wa Jalla telah befirman tentang status orang yang berbuat syirik:

“Dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalanNya. Katakanlah: ‘bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu untuk sementara waktu, sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.’” (TQS: Az Zumar: 8)

Allah ‘Azza wa Jalla mengkafirkannya dengan sebab dia mengangkat tandingan, yaitu para sekutu dalam ibadah, dan ayat-ayat semacam ini banyak sekali, sehingga:

“Orang itu tidak dikatakan muwahhid kecuali dengan menafikkan syirik, berlepas diri darinya, dan mengkafirkan pelakunya.”[4]

Kemudian beliau rahimahullaah berkata:

Kedua:
· Peringatan dari melakukan syirik dalam ibadah kepada Allah
· Kecaman yang keras dalam hal itu
· Melakukan permusuhan di dalamnya
· Dan mengkafirkan orang yang melakukannya

Maka bangunan tauhid tidak bisa tegak kecuali dengan ini semua, ini adalah agama para Rasul, mereka memperhatikan kaumnya dari syirik, sebagaimana firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus para Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu,” (TQS: An Nahl: 36)

Dan firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasannya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku,’” (TQS: Al Anbiya: 25)

Dan firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Dan ingatlah (Hud) saudara kaum ‘Aad yaitu ketika dia memberi peringatan kepada kaumnya di Al Ahqaf dan sesungguhnya telah terdahulu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan sesudahnya (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab yang besar.” (TQS: Al Ahqaf: 21)

Perkataan syaikh: “Dalam ibadah kepada Allah” ibadah adalah nama yang mencakup segala ucapan dan perbuatan yang dicintai dan diridlai Allah, baik yang sifatnya bathin atau pun dhahir.
Perkataan syaikh: “Kecaman yang keras dalam hal itu”, ini ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah, sebagaimana firmanNya ‘Azza wa Jalla:
“Maka segeralah kembali (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (TQS: Adz Dzariyat: 50-51)

Seandainya tidak ada kecaman yang pedas (akan syirik ini) tentu tidak akan ada penyiksaan dan penindasan dahsyat yang dilakukan orang-orang Quraisy terhadap Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sebagaimana rincian dijelaskan dalam sirah (sejarah). Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memulai mengecam mereka dengan mencaci agama mereka dan menjelek-jelekkan nenek moyang mereka.

Perakataan syaikh: “Melakukan permusuhan di dalamnya”, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

“Maka bunuhlah orang-orang musyrikin di mana pun mereka berada, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah mereka di tempat pengintaian,” (TQS: At Taubah: 5)

Dan ayat-ayat yang berkenaan dengan hal ini sangat banyak sekali, seperti firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah,” (TQS: Al Anfal: 39)

Fitnah di sini adalah syirik, sedangkan:

“Allah ‘Azza wa Jalla memberi cap kafir bagi orang-orang yang menyekutukannya dalam banyak ayat-ayat yang tidak terhitung, maka harus dikafirkan juga mereka itu (oleh kita), ini adalah konsekuensi Laa ilaaha illallaah kalimat ikhlash, sehingga maknanya tidak tegak kecuali dengan mengkafirkan orang yang menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadahnya”

Sebagaimana dalam hadits yang shahih:

“Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan kafir kepada segala yang dismebah selain Allah, maka dia itu haram darahnya dan hartanya, sedangkan perhitungannnya adalah atas Allah,”

Sabdanya: “Dan kafir kepada segala yang disembah selain Allah,” merupakan penguat akan penafian. Maka orang itu tidak ma’shum (terjaga/haram) darah dan hartanya kecuali dengan hal itu, dan seandainya dia itu ragu atau bimbang amak hartanya dan darahnya tidak haram. Hal-hal ini merupakan pangkal tegaknya tauhid, karena Laa ilaaha illallaah diberi batasan/syarat di dalam hadits yang banyak dengan batasan-batasan yang sangat berat, yaitu:

*) Ilmu (mengetahui maknanya)
*) Ikhlash
*) Shidqu (jujur)
*) Yakin
*) Dan tidak ragu-ragu

Sehingga orang tidak dikatakan muwahhid kecuali dengan kumpulnya syarat-syarat ini semua dan disertai dengan:

*) Meyakininya
*) Menerimanya
*) Mencintainya
*) Melakukan mu’aadah (permusuhan) di dalamnya dan muwaalaah (loyalitas di dalamnya)

Maka dengan terkumpulnya semua yang telah disebutkan oleh syaikh kami (syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab) rahimahullaah, maka tauhid itu baru tercapai.

Kemudian beliau rahimahullaah berkata:

Orang-orang yang menyalahi dalam hal ini bermacam-macam:

Ø Orang yang paling besar penyimpangannya adalah orang yang menyalahi dalam semua itu

Dia menerima syirik dan meyakininya sebagai ajaran (keyakinan), dia mengingkari tauhid dan meyakininya sebagai kebathilan, sebagaimana halnya mayoritas manusia. Dan penyebabnya adalah kejahilan akan kandungan Al Kitab dan As Sunnah tentang ma’rifah tauhid dan apa yang menafikkannya berupa syirik, tandingan, mengikuti hawa nafsu, dan apa yang diwariskan nenek moyang, seperti keadaan orang-orang sebelum mereka dari kalangan musuh-musuh para Rasul, di mana mereka menuduh kaum muwahhidin dengan dusta, bohong, mengada-ada dan perbuatan tercela, dengan hujjah mereka adalah:

“(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapatkan nenek moyang kami berbuat demikian” (TQS: Asy Sya’araa: 74)

Macam orang ini dan macam orang sesudahnya[5], mereka itu telah mengurai makna yang ditujukan oleh kalimah ikhlash, dan tujuan darinya, serta makna yang terkandung di dalamnya yaitu agama yang di mana Allah tidak menerima agama selain itu. Itu adalah Islam yang dengannya Allah mengutus para Nabi dan para Rasul semuanya, serta seluruh dakwah mereka bersatu di atasnya, sebagaimana yang tidak samara lagi dalam kisah-kisah yang Allah ceritakan tentang mereka di dalam KitabNya.

Kemudian beliau (syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab) rahimahullaah berkata:

Ø Di antara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah saja, namun dia tidak mengingkari syirik dan tidak memusuhi pelakunya

Saya berkata: Sesungguhnya sudah termasuk hal yang maklum bahwa orang yang tidak mengingkari syirik berarti dia itu tidak mengetahui tauhid dan tidak bertauhid. Sedangkan engkau sudah mengetahui bahwa tauhid itu tidak terlaksana/terealisasi kecuali dngan menafikan syirik dan kafir terhadap thaghut yang telah dituturkan dalam ayat yang lalu.

Kemudian syaikh rahimahullaah berkata:

Ø Dan di antara mereka ada yang memusuhi orang-orang musyrik, namun tidak mengkafirkannya

Macam orang ini juga tidak merealisasikan makna Laa ilaaha illallaah berupa penafian syirik dan konsekuensinya yaitu mengkafirkan orang yang melakukannya setelah ada penjelasan[6] secara ijama’, dan ini adalah kandungan surat Al Ikhlash, Al Kafirun, dan firmanNya dalam surat Al Mumtahanah:

“Kami ingkari (kekafiran)mu”

Sedangkan orang yang tidak mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Al Qur’an, maka dia itu telah menyalahi apa yang dibawa oleh para Rasul berupa tauhid dan konsekuensinya.

Kemudian beliau rahimahullaah berkata:

Ø Dan ada di antara mereka ada orang yang tidak mencintai tauhid dan tidak pula membencinya

Penjelasannya: Bahwa orang yang tidak mencintai tauhid berrati dia itu tidak bertauhid, karena tauhid adalah agama yang diridlai bagi hamba-hambaNya, sebagaimana firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“dan telah Kuridlai Islam sebagai agama kalian” (TQS: Al Maidah: 3)

Seandainya dia itu ridla dengan apa yang diridlai Allah dan mengamalkannya, tentulah dia mencintainya. Dan kecintaan ini harus ada kerena Islam itu tidak (bisa tegak) tanpanya, sehingga tidak ada Islam kecuali dengan mencintai tauhid.

Syaikh Ibnu Taimiyyah rahimahullaah berkata: Ikhlash adalah mencitai Allah dan menginginkan wajahNya, maka siapa yang mencintai Allah, pasti dia itu mencintai agamaNya, dan bila tidak mencintainya maka dia tidak cinta kepada Allah. Dengan adanya ,ahabbah (kecintaan) itu kalimat ikhlash ada terbukti, sedangkan hal itu merupakan bagian dari syarat-syarat tauhid.


Kemudian syaikh rahimahullaah berkata:

Ø Di antara mereka ada orang yang tidak membenci syirik dan tidak mencintainya

Saya berkata: Orang yang seperti ini tidak menafikkan apa yang dinafikkan oleh Laa ilaaha illallaah, berupa syirik dan kufur kepada apa yang disembah selain Allah, serta berlepas diri (bara’ah) darinya, maka orang seperti ini sama sekali bukan orang Islam, darah dan hartanya tidak ma’shum (haram) sebagaimana yang ditujukan oleh hadits yang lalu.

Dan perkataan beliau rahimahullaah:

Ø Di antara mereka ada orangnya yang tidak mengetahui syirik dan tidak mengingkarinya, serta tidak menafikkannya

Sedangkan orang itu tidak dikatakan muwahhid kecuali:

· Menafikkan syirik
· Berlepas diri darinya
· Berlepas diri dari pelaku syirik
· Serta mengkafirkan mereka itu

Dan dengan ketidaktahuan akan syirik ini berarti dia tidak merealisasikan sedikit pun dari makna Laa ilaaha illallaah, sedangkan orang yang tidak menegakkan makna dan kandungan kalimat ini maka dia itu sama sekali bukan orang Islam, karena dia tidak mendatangkan (makna) kalimat ini dan kandungannya dari dasar ilmu, yakin, jujur, ikhlash, cinta, qabul, dan inqiyad.

Dan orang macam ini sama sekali tidak membawa sedikit pun dari syarat-syarat itu semuanya, dan bila dia itu mengucapkan Laa ilaaha illallaah maka dia itu tidak mengetahui makna dan apa yang dikandung oleh kalimat itu.

Kemudian beliau rahimahullaah berkata:

Ø Di antara mereka ada orang yang tidak mengetahui tauhid dan tidak mengingakarinya

Saya katakana: Orang ini sama seperti sebelumnya, mereka sama sekali tidak merealisasikan tauhid yang untuknya mereka diciptakan, yaitu agama yang dengannya Allah mengutus para Rasul.

Dan keadaan mereka ini sama dengan keadaan orang-orang yang Allah firmankan:

“Bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak)” (TQS: Al Furqan: 44)

Dan perkataan beliau rahimahullaah:

Ø Dan di antara mereka—dan ini yang paling berbahaya—ada orang yang mengamalkan tauhid, namun dia tidak mengetahui kedudukannya, tidak membenci orang yang meninggalkannya dan tidak mengkafirkan mereka itu

Ungkapan beliau: “dan ini paling berbahaya” karena dia itu tidak mengetahui kedudukan apa yang dia amalkan, dan dia tidak mendatangkan hal-hal yang membenarkan/meluruskan tauhidnya, berupa syarat-syarat yang berat yang harus terpenuhi, karena engkau telah mengetahui bahwa tauhid itu menuntut penafian syirik, berlepas diri darinya, memusuhi pelakunya, dan mengkafirkan mereka itu dengan tegaknya hujjah atas mereka.[7]

Orang macam ini terkadang terpedaya dengan keadaannya, padahal dia itu tidak merealisasikan syarat-syarat dan konsekuensi kalimah ikhlash tersebut nafyan wa itsabaatan.

Dan begitu juga perkataan beliau rahimahullaah:

Ø Di antara mereka ada yang meninggalkan syirik dan membencinya, namun dia tidak mengetahui kedudukannya

Ini lebih dekat daripada sebelumnya, namun dia tidak mengetahui kedudukan syirik, karena sesungguhnya dia seandainya mengetahui kedudukannya tentu dia melakukan apa yang ditujukan oleh ayat-ayat yang muhkamat, seperti ungkapan Al Khalil (Ibrahim):

“Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhanku yang telah menjadikanku,” (TQS: Az Zukhruf: 26-27)

Dan perkataanya:

“Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingakri (kekafiran)mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya,” (TQS: Al Mumtahanah: 4)

Maka orang yang telah mengetahui syirik dan meninggalkannya, dia itu harus mengambil sikap komitmen dalam walaa’ dan baraa’ dari yang menyembah dan dari yang disembah, membenci syirik, membenci pelakunya, dan memusuhinya.

Dan dua macam orang ini adalah mayoritas pada keadaan orang yang mengaku Islam, sehingga karena kejahilan mereka akan hakikat syirik ini maka muncullah dari mereka hal-hal yang menghalangi terealisasinya makna kalimah ikhlash (tauhid) dan tuntutannya sesuai dengan kadar wajibnya yang dengannya seseorang bisa dikatakan muwahhid.

Sungguh banyak sekali orang-orang yang terpedaya lagi jahil akan hakikat agama ini. Dan bila engkau telah mengetahui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla telah mengkafirkan pelaku-pelaku syirik dan memvonis mereka dengan kekafiran di dalam banyak ayat yang muhkamat, seperti firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir,” (TQS: At Taubah: 17)

Dan begitu juga di dalam As Sunnah, maka syaikhul Islam rahimahullaah berkata:

Ahlu Tauhid dan sunnah mereka itu membenarkan para Rasul dalam apa yang mereka kabarkan, mentaatinya dalam apa yang dengannya mereka diperintahkan, menjaga apa yang mereka katakana dan memahaminya serta mengamalkannya, mereka menafikkan darinya tahrif yang dilakukan oleh orangorang yang ghuluw, intihal yang dilakukan oleh mubthiluun, dan ta’wil yang dilakukan oleh orang-orang jahil, serta mereka memerangi orang-orang yang menentang mereka dalam rangka taqarrub kepada Allah dan untuk mendapatkan pahala dariNya bukan dari mereka.

Sedangkan orang-orang jahil dan yang berlebih-lebihan, mereka itu tidak membedakan antara apa yang diperintahkan dengan apa yang dilarang darinya, tidak membedakan antara apa yang benar bersumber dari mereka dari apa yang dusta atas nama mereka, mereka tidak memahami hakikat maksud mereka itu, dan mereka tidak berusaha untuk mentaatinya, bahkan mereka itu jahil akan apa yang dibawa oleh para Rasul dan justru mengagung-agungkan tujuan-tujuan mereka.

Saya berkata: Apa yang dituturkan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah itu sama seperti keadaan dua macam orang tadi.

Masih ada masalah ungkapan yang pernah dilontarkan oleh syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu beliau pernah tidak melakukan takfir mu’ayyan secara langsung, karena suatu sebab yang beliau rahimahullaah sebutkan mengharuskan beliau untuk tawaqquf dari mengkafirkannya sebelum penegakkan hujjah atasnya.

Beliau (Syaikh Ibnu Taimiyyah) rahimahullaah berkata:

Kita mengetahui dengan pasti bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyari’atkan bagi seorang pun untuk menyeru orang yang sudah meninggal dunia, baik itu para Nabi, orang-orang shalih atau yang lainnya, sebagimana beliau tidak pernah mensyari’atkan kepada umatnya untuk sujud terhadap orang yang sudah mati atau sujud menghadapnya dan yang lainnya. Bahkan kita secara pasti mengetahui bahwa beliau telah melarang syirik yang telah diharamkan oleh Allah dan rasulNya, namun karena meratanya kajahilan[8] dan jarangnya pengetahuan akan peinggalan risalah pada banyak orang-orang muta’akhkhirin, maka tidak mungkin mengkafirkannya dengan hal itu sehingga dijelaskan apa yang dibawa oleh Rasulullah dari apa yang menyalahinya.

Saya berkata: Beliau rahimahullaah menyebutkan sebab alasan yang memaksa beliau untuk tidak mengkafirkan secara ta’yin secara khusus kecuali setelah ada penjelasan dan terus ngotot, (penyebab beliau tawaqquf itu) adalah karena beliau itu telah menjad ummatan wahidatan (satu umat dalam satu sosok orang), dan karena di antara para ulama’ ada orang yang mengkafirkannya karena beliau melarang mereka dari berbuat syirik, sehingga beliau tidak mungkin memperlakukan mereka kecuali dengan apa yang telah beliau lontarkan itu, sebagaimana yang telah pernah dialami oleh syaikh kami syaikh Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullaah di awal-awal dakwahnya, sesungguhnya beliau bila mendengar orang-orang menyeru Zaid ibnu Al Khaththab, beliau (syaikh) berkata: “Allah itu lebih baik dari Zaid”, ini untuk membiasakan mereka dalam menafikan syirik dengan kata-kata yang lembut, untuk tujuan dakwah dan supaya tidak membuat orang lari. Allah ‘Azza wa Jalla lebih Mengetahui.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Maksudnya kalimat yang ada di dalam ayat tadi. Pent.
[2] Apa pun alasannya tanpa kecuali orang jahil, muqallid, muta’awwil, atau mujtahid. Pent.
[3] Tidak ada perbedaan antara dia itu jahil atau tahu, Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz berkata setelah mejelaskan status orang yang menyeru dan istighatsah dengan orang yang sudah mati padahal mereka itu jahil, beliau rahimahullaah menjelaskan bahwa dia itu musyrik kafir dan setelah itu beliau berkata: ‘Dan tidak usah dihiraukan akan status mereka itu orang-orang jahil, bahkan wajib diperlakukan layaknya orang-orang kafir hingga taubat kepada Allah dari hal itu”. (Tuhfatul Ikhwan no:6). Pent.
[4] Al Imam Al Barbahariy berkata dalam Syarhus Sunnahnya:
”Doa tidak dikeluarkan seorang pun dari Ahlul Kiblah dari Islam sehingga ia menolak satu ayat dari Kitabullah, atau menolak sebagaian dari atsar-atsar Rasulullah, atau shalat kepada selain Allah, atau menyembelih untuk selain Allah, dan bila mereka melakukan satu dari hal itu maka telah wajib atas kamu untuk mengeluarkannya dari lingkungan Islam”
Lihatlah seorang arab badui yang selama ini bersama kaumnya mengucapkan dua kalimah syahadah, namun perbuatan mereka itu bertentangan dengan tauhid, terus ada muthawai (ustadz kalau di kita) yang tetap menamakan mereka sebagai orang Islam. Dia (orang badui) itu setelah mengetahui dakwah syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab dan konsekuensinya dia langsung mempraktekannya, Syaikh Muhammad menuturkan tentang dia dalam Syarah Sittati Mawadli Minas Sirah di akhir sekali:
”Sungguh indah sekali apa yang diucapkan oleh orang arab badui tatkala dia telah tiba kepada kami dan mendengar sedikit tentang Islam (maksudnya yang diajarkan oleh Syaikh yang berbeda dengan yang mereka pegang selama ini, pent), dia langsung berkata: ’saya bersaksi bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang kafir—yaitu dia dan seluruh orang-orang badui—dan saya bersaksi bahwa muthawwi’ yang menamakan kami umat Islam, sesungguhnya dia kafir juga!’”. Pent.
[5] Maksudnya macam-macam orang yang akan disebutkan. Pent.
[6] Ini untuk takfir, Karena takfir terjadi setelah ada risalah dan dakwah, dan orang yang berada di suatu masa dan negeri yang di mana dakwah tauhid tidak ada dan kebodohan merajalela terus mereka itu melakukan kemusyrikan, maka mereka itu tidak dikafirkan terlebih dahulu sebelum diingatkan, ada pun nama musyrik maka itu sudah menempel pada mereka, karena status musyrik itu tidak ada hubungannya dengan risalah atau bulughul hujjah, berbeda dengan status kafir. Ada kalau orang melakukan syirik pada saat dakwah tauhid tegak, dunia terbuka, informasi mudah, dan kemungkinan mencari ada, maka orang yang menyekutukan Allah ’azza wa jalla itu divonis musyrik kafir murtad sekalipun dia jahil, karena dia berpaling dan tidak mau belajar. Silahkan lihat Al Mutammimah Li Kalaami Dakwah fi Mas’alatil Jahli Fisy Syirkil Akbar, Ali Al Khudlar dan Hukmi Takfiril Mu’ayyan wal Frqu Baina Qiyamil Hujjah wa Fahmil Hujjah, Imam Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab. Pent.
[7] Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibni Hasan Ibni Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullaah berkata: “Dan hujjah itu sudah tegak atas manusia dengan Rasul dan Al Qur’an.” (Hukmu Takfiril Mu’ayyan dan Aqidatul Muwahhidin: 150). Dan beliau berkata lagi: ”Dan perhatikanlah ungkapan syaikh (Muhammad ibnu Abdil Wahhab) rahimahullah bahwa setiap orang yang telah sampai Al Qur’an kepadanya maka hujjah itu sudah tegak atasnya meskipun dia tidak paham akan hal itu.” (156). Pent.
[8] Yang beliau tawaqquf itu adalah vonis kafir, karena zaman itu beliau hukumi dengan zaman fathrah, beliau berkata dalam Al fatawaa: “Bila ilmu melemah, dan kemampuan (untuk mencarinya) juga melemah, maka masa itu menjadi masa fatrah”. Dan para Imam dakwah Najdiyyah telah ijma’ bahwa masa munculnya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab adalah zaman fatrah, dan bahwa zaman munculnya syaikh Ibnu Taimiyyah adalah zaman fatrah dan meratanya kejahilan. Lihat Al Haqaa-iq Ali Al Khudlar: 15, sehingga tidak dikafirkan terlebih dahulu sehingga diberi penjelasan, namun ini berbeda dengan musyrik, nama ini menempel dengan langsugn saat orang menyekutukan Allah tanpa ada hubungannya dengan hujjah risaliyyah, Syaikhul Islam berkata: ”Nama musyrik adalah telah tetap sebelum ada risalah, karena orang ini menyekutukan Tuhannya dan menetapkan tandingan bagiNya.” Al Fatawa: 20/38. Pent.