19 Oktober 2007

Hakikat Tegak Dan Sampainya Hujjah Dalam Masail Dhahirah....oleh Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman

Orang yang telah sampai kepadanya Al-Qur’an Al Adhim maka hujjah dan peringatan telah tegak atasnya, terutama dalam bab dien yang paling jelas yang karenanya semua rasul diutus.
Adapun bila yang dimaksud dengan hujjah dan tegaknya itu adalah bahwa setiap orang didatangi ketempatnya terus hujjah ditegakan atasnya, maka ini adalah apa yang Allah SWT ingkari dalam firman-Nya tentang para pelaku Syirik:“Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?, Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari daripada singa. Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka. (Q.S. Al Muddatstsir [74]: 49-52)
Dan sudah maklum dari sirah (perjalanan) Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bahwa sikap beliau dalam mendakwahi kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan, beliau mengirim surat kepada tokoh-tokohnya saja tanpa rakyatnya. Dan beliau tidak mensyaratkan atau menyuruh para utusannya serta para gubenurnya untuk mendatangi individu-individu orang dalam rangka menegakkan hujjah atas mereka, terutama bagi orang-orang kafir harbiy. Dan sedangkan keadaan setelah tersebarnya Islam dan tersiarnya dibelahan bumi ini menurut para ulama tidaklah seperti diawal dakwah dan permulaan Islam atau bersama orang yang baru masuk Islam.

I. Dalil-Dalil dari Al-Qur’an
Masalah tegaknya hujjah dalam masalah masail dhahirah (masalah-masalah yang nampak) adalah al-ilmu (mengetahui) atau al balagh (sampai) atau adanya dakwah yang berjalan atau tinggal ditempat ilmu, atau adanya peluang (tamakkun). [lihat Al Haqaiq karya Syaikh Ali Al Khudlair]
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah…” (Q.S. At Taubah [9]: 6)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur’an)” (QS. Al Bayyinah [98]: 1-2)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Dan Allah mengkhitabi semua jin dan manusia dengan Al Qur’an sebagaimana firman-Nya: “Supaya dengannya aku memberikan peringatan kepada kalian dan (kepada) orang-orang yang sampai Al Qur’an kepadanya.” Maka setiap yang telah sampai kepadanya (Al Qur’an) baik manusia atau jin berarti telah diberi peringatan oleh Rasul dengannya.” [Majmu Al Fatawa: 16/148-149]
Dan beliau rahimahullah berkata dalam penjelasan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
“Jangan kalian dengar akan Al Qur’an ini dan buat gaduh di dalam (majelis)nya.” (Q.S. Fushshilat [41]: 26)
Beliau berkata: “Hujjah itu sudah tegak dengan adanya rasul yang menyampaikan dan adanya kesempatan (tamakkun) mereka untuk mendengar dan mentadabburi, bukan dengan mendengarnya itu, karena di antara orang-orang kafir ada orang yang menghindar dari mendengar Al Qur’an dan memilih yang lainnya.” [Majmu Al Fatawa: 16/166]

II. IJMA
Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab berkata: “Telah terjalin ijma, bahwa orang yang telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, terus tidak beriman, maka dia itu kafir dan tidak diterima darinya alasan ijtihad karena nampaknya dalil-dalil risalah dan bukti-bukti kenabian.” (Ad Durar A Saniyyah: 10/237)

Syaikh Hamd Ibnu Nashir Alu Ma’mar rahimahullah berkata: “Para ulama telah ijma, bahwa orang yang telah sampai kepada-Nya dakwah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam maka sesungguhnya hujjah telah ditegakkan atasnya.” [Ar Raddu ‘Alal Qubuuriyyiin: 115]

III. Pernyataan-Pernyataan Para Imam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata: “Hujjah Allah dengan rasul-rasul-Nya telah tegak dengan adanya kesempatan (tamakkun) untuk mengetahui, sehingga bukan termasuk syarat (tegaknya) hujjah Allah tahunya orang-orang yang didakwahi akan hujjah tersebut, dan oleh sebab ini keberpalingan orang-orang kafir dari mendengarkan dan mentadabburi Al-Qur’an bukanlah penghalang dari tegaknya hujjah Allah ta’ala atas mereka, serta begitu juga keberpalingan mereka dari mendengarkan apa yang dinukil dari para nabi dan dari membaca atsar-atsar yang diriwayatkan dari mereka tidaklah menghalangi hujjah, karena kesempatan sudah ada.” [Kitab Ar Radd ‘Alal Manthiqiyyin: 99]
Beliau juga berkata: “Bukan termasuk syarat penyampaian risalah ini adalah sampainya hal itu kepada setiap mukallaf di dunia ini, namun yang menjadi syarat adalah orang-orang mukallaf itu memiliki kesempatan untuk menyampaikan hal itu kepada diri mereka, kemudian bila mereka teledor dan tidak berupaya untuk sampainya hal itu kepada mereka padahal sarana-sarana yang mesti ditempuh itu ada, maka keteledoran (tafrith) itu dari mereka, bukan darinya (yang menyampaikannya).” [Ikhtishar Ali Al Khudlair dari Al Fatawa: 28/125, silakan lihat Al Haqaiq]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang orang-orang yang taqlid kepada guru-gurunya dalam Masaa-il Mukaffirah: “Orang yang memiliki kesempatan dan yang berpaling itu mufarrith (teledor) lagi meninggalkan kewajibannya yang sama sekali tidak ada udzur dihadapan Allah.” [Thariq Al Hijratain: 544]
Beliau berkata juga: “Sesungguhnya adzab didapatkan karena dua hal: Pertama, Keberpalingan dari hujjah dan tidak menginginkannya serta terhadap sebab-sebab yang menghantarkan kepadanya. Dan kedua, membangkang akan hujjah setelah tegaknya dan meninggalkan keinginan akan tuntutannya. Yang pertama kufur i’radl (karena berpaling) dan yang kedua kufur inad (pembangkangan).” [Tahriq Al Hijratain: 546]

Syaikh Muhhamad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam risalahnya kepada Isa Ibnu Qasim dan Ahmad Ibnu Suwailim: “Dan sesungguhnya kalian masih ragu tentang thaghut-thaghut itu dan para pengikutnya apakah hujjah itu sudah tegak atau belum atas mereka ? Ini adalah tergolong keanehan yang paling mengherankan, bagaimana kalian ragu akan hal ini sedangkan sudah saya jelaskan berkali-kali kepada kalian… Sesungguhnya orang yang belum tegak hujjah atasnya adalah orang yang baru masuk Islam dan orang yang hidup dipedalaman yang sangat jauh atau hal itu dalam masalah khafiyyah (yang masih samar) seperti sharf dan ‘athaf (pelet) maka (dalam hal seperti ini) pelakunya tidak dikafirkan sehingga diberitahu (terlebih dahulu). Dan adapun ushuluddien yang telah Allah jelaskan dan Dia pastikan dalam kitab-Nya maka sesungguhnya hujjah Allah adalah Al-Qur’an. Siapa yang sampai kepadanya Al-Qur’an berarti hujjah itu sudah tegak, akan tetapi inti kekeliruan adalah kalian tidak membedakan tegak hujjah dengan paham hujjah, karena sesungguhnya mayoritas orang kafir dan munafik, mereka itu tidak paham hujjah Allah padahal hujjah itu sudah tegak atas mereka, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Q.S. Al Furqan [25]: 44) Tegak dan sampainya hujjah adalah lain, dan paham hujjah adalah hal lain pula. Dan Allah telah mengkafirkan mereka dengan sebab sampainya hujjah kepada mereka meskipun mereka tidak memahaminya.” [Tarikh Nejd: 410]

Syaikh Hamd Ibnu Nashir Alu Ma’mar rahimahullah berkata: “Setiap orang yang telah sampai Al-Qur’an kepadanya maka dia itu tidak diudzur, karena inti yang besar yang mana ia adalah pokok dien Islam telah Allah jelaskan dalam kitab-Nya, Dia menerangkannya dan menegakan hujjah dengannya atas hamba-hamba-Nya, dan yang dimaksud tegak hujjah itu bukanlah si orang itu memahami dengan pemahaman yang jelas seperti dipahaminya oleh orang yang telah Allah beri hidayah dan taufiq serta yang tunduk kepada perintah-Nya, karena sesungguhnya orang-orang kafir itu telah tegak hujjah atas mereka padahal Allah mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan pada hati mereka penghalang (yang menghalangi) dari memahami firman-Nya.” [Ar Raddu ‘Alal Quburiyyin: 116-117]
Dan beliau rahimahullah berkata juga: “Sesungguhnya sampainya hujjah adalah lain dan paham akan hujjah adalah lain pula.” [Ar Raddu Alal Quburiyyin: 117]

Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata: “Sesungguhnya hujjah telah tegak dengan Al Qur’an atas setiap orang yang Al Qur’an telah sampai kepadanya dan dia mendengarnya meskipun dia tidak memahaminya.” [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan: 154]

Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata setelah menyebutkan ayat-ayat yang mencela taqlid: “Para ulama dengan ayat ini dan lainnya berdalil bahwa tidak boleh taqlid dalam mengenal Allah dan risalah. Dan hujjah Allah tegak atas manusia dengan diutusnya para rasul kepada mereka meskipun mereka tidak memahami hujjah Allah dan penjelasan-penjelasan-Nya.” [Al Intishar: 17]
Dan beliau berkata lagi: “Orang yang telah sampai kepadanya risalah Muhammad shalallallahu ’alaihi wasallam dan telah sampai Al Qur’an kepadanya maka hujjah telah tegak atasnya, sehingga tidak ada udzur dalam hal tidak beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, maka tidak udzur baginya setelah itu dengan sebab kejahilan.” [Al Kufru Al Ladzu Yu’dzaru Shahibuhu Bil Jahil: 11]
Beliau rahimahullah berkata lagi: “Tidak ada udzur (alasan) bagi seorangpun dalam kejahilan akan hal-hal ini dan yang serupa dengannya setelah diutusnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dan sampainya hujjah-hujjah Allah dan penjelasan-penjelasan-Nya meskipun orang yang telah sampai hujjah kepadanya itu tidak memahaminya, karena hujjah Allah itu tegak atas hamba-hamba-Nya dengan sampainya hujjah itu bukan dengan paham akannya. Sampainya hujjah adalah satu hal sedangkan paham akannya adalah hal lain pula, oleh sebab ini Allah tidak mengudzur orang-orang kafir dengan ketidakpahaman mereka setelah hujjah dan penjelasan-penjelasan–Nya itu sampai kepadanya.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/359-360]

Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman berkata seraya mengingkari Al Mulhid musuh tauhid Usman Ibnu Manshur yang mengklaim bahwa hujjah itu tidak tegak atas orang jahil sehingga nampak jelas baginya dan dia mengetahui bahwa apa yang dikatakan kepadanya itu adalah benar, Syaikh berkata: “Ulama mana dan ahli Fiqh mana yang mensyaratkan dalam tegaknya hujjah dan penjelasan itu tahunya orang yang diajak bicara akan kebenaran ini…??! (kemudian beliau menuturkan ayat-ayat ….) terus berkata: dari ayat-ayat semacam ini yang menunjukan kebutaan mereka (orang-orang kafir) dan ketidaktahuan mereka akan kebenaran adalah banyak sekali. Dan tidak ada seorangpun yang mengatakan pendapat seperti ini sebelum orang bodoh ini (Usman, maksudnya), dan justeru yang disyaratkan itu adalah paham akan syarat apa yang diinginkan oleh si pembicara dan (paham) akan maksud dari ucapan itu, bukan (tahu) bahwa itu kebenaran, ini adalah bagian kedua. Dan hal inilah yang diambil kesimpulannya dari nash Al Kitab, As Sunnah dan perkataan para ulama, bukan apa yang dikatakan oleh orang yang ngawur lagi membuat pengkaburan ini.” [Mishbah Adh Dhalam: 122-123]

Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata: “Dan bila telah sampai kepada orang Nashrani apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, dan dia tidak tunduk kepadanya karena dugaan dia bahwa beliau adalah Rasul buat orang Arab saja, maka dia kafir meskipun kebenaran dalam hal itu belum jelas baginya. Dan begitu juga setiap orang yang telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang dengannya dia bisa mengetahui apa yang diinginkan dan yang dimaksud, terus dia menolak akan hal itu karena syubhat atau yang lainnya, maka dia itu kafir meskipun masalahnya masih samar bagi dia. Dan hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.” [Mishbah Adh Dhalam: 326]

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata tentang orang yang baligh lagi berakal yang paham akan ucapan: “Orang yang telah sampai risalah Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan juga Al Qur’an telah sampai kepadanya, maka sungguh hujjah telah tegak atasnya.” [Kasyfu Asy Syubhatain: 368]

Syaikh Shalih Al Fauzan berkata tatkala ditanya tentang orang muslim yang melakukan perbuatan syirik akbar: “Siapa yang telah sampai kepadanya Al Qur’an yang seandainya dia ada keinginan untuk memahaminya tentu dia bisa, namun dia berpaling dari memahaminya kemudian tidak mengamalkannya dan tidak menerimanya, maka sesungguhnya hujjah itu telah tegak atasnya dan dia tidak diudzur karena kejahilannya, karena hujjah telah sampai kepadanya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Katakan: “Apa yang paling besar kesaksiannnya ?”, Katakan: “Allah adalah saksi antara aku dengan kalian, dan telah diwahyukan kepadaku Al Qur’an ini supaya dengannya aku memberi peringatan kepada kalian dan orang yang sampai Al Qur’an kepadanya.” (Q.S. Al An’am [6]: 19).
Sama saja baik dia hidup bersama kaum muslimin atau hidup bersama non muslim. Setiap orang yang telah sampai kepadanya Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih yang seandainya dia mau memahami dia bisa paham, kemudian dia tidak mengamalkan apa yang sampai kepadanya, maka sesungguhnya dia itu bukan muslim dan tidak diudzur karena kejahilan. [Masaa-il Al Iman yang dikumpulkan oleh Abdurrahman Al Harfiy: 30-31]
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin mengatakan setelah menuturkan udzur karena kejahilan: “Namun wajib diketahui bahwa di antara orang-orang jahil ada orang yang memiliki semacam sikap ‘inad (pembangkangan), yaitu dituturkan kebenaran kepadanya, namun dia tidak mencarinya dan tidak mengikutinya, dan justeru betah di atas ajaran yang diajarkan oleh guru-gurunya dan orang-orang yang diagungkan serta yang diikutinya. Orang seperti ini pada hakikatnya tidaklah diudzur karena telah sampai kepadanya dari hujjah ini yang minimal dia memiliki syubhat yang perlu dicari agar kebenaran jelas atasnya.” [Al Majmu Ats Tsamin: 3/5]. Dan berkata juga setelah itu: “Namun perlu diketahui sesungguhnya kita sekarang ini berada dizaman yang hampir tidak ada tempat dibumi ini melainkan sudah sampai dakwah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam kesana dengan jalan sarana-sarana pemberitaan yang beraneka ragam dan berbaurnya manusia satu sama lain. Dan umumnya kekafiran yang adalah karena ‘inad (pembangkang).” [Al Majmu Ats Tsamin: 3/6]