19 Oktober 2007

Takfir Mu'ayyan Dalam Syirik Akbar Dan Masalah Dhahirah....Oleh Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman

Dalil-dalil atas takfir mu’ayyan adalah sangat banyak lagi tak terhitung, kita menyebutkan darinya apa yang sesuai dengan kesempatan:

I. Al Kitab

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Dan dia menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan supaya dia menyesatkan dari jalan-Nya. Katakanlah: Nikmatilah kekafiranmu sebentar sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka.” (Q.S. Az Zumar [39]: 8)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Dan mereka menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya mereka menyesatkan dari jalan-Nya. Katakanlah: Nikmatilah (kekafiran kalian) karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah neraka.” (Q.S. Ibrahim [14]: 30)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
“Katakanlah: wahai orang-orang kafir.” (Q.S. Al Kafirun [109]: 1)
Dalam ayat-ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan kita agar mengkafirkan pelaku syirik.

Sebagian para imam dakwah Tauhid berkata: “Sesungguhnya Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memeranginya.” [Ad Durar As Saniyyah: 9/291]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Dan orang yang tidak mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Al Qur’an maka sesungguhnya dia itu telah menyelisihi apa yang dibawa oleh para rasul, berupa tauhid dan konsekuensinya.” [Syarh Ashli Dienul Islam, Majmu’ah At Tauhid: 30]

Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah berkata: “Kami katakan dalam masalah takfir mu’ayyan, dhahir ayat-ayat dan hadist-hadist serta perkataan jumhur ulama menunjukan atas kafirnya orang yang menyekutukan Allah, dia beribadah kepada yang lain disamping ibadahnya kepada Allah, dan dalil-dalil itu tidak membedakan antara mu’ayyan dengan yang lainnya.
Dia Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa Syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dihendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang besar.” (Q.S. An Nisa [4]: 48)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala :
“...maka bunuhlah orang-orang musyrk itu dimana saja kamu jumpai mereka” (QS. At Taubah [9]: 5) Sedangkan ini mencakup setiap individu dari kaum musyrikin [Ad Durar As Saniyyah: 10/402]

II. As Sunnah

Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah bermaksud memerangi Banu Mushthaliq tatkala dikatakan bahwa mereka menolak membayar zakat, hingga akhirnya Allah mendustakan si pembawa berita. [Ad Durar As Saniyyah: 10/67]

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang merubah diennya maka bunuhlah.”
Syaikh Aba Buthain rahimahullah berkata seraya menjelaskan hadist ini: “Dan ini mencakup mu’ayyan dan yang lainnya.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/403]

Di dalam hadist shahih bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam mengutus seseorang sambil membawa panji kepada laki-laki yang menikahi ibu tirinya, agar ia membunuhnya dan mengambil hartanya. [Ad Durar As Saniyyah: 10/67]

III. IJMA

Para sahabat ijma atas kafirnya Musailamah dan para pengikutnya.
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Di antara ada orang-orang yang mendustakan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mereka kembali kepada peribadatan terhadap berhala, serta mereka mengatakan “Seandainya dia (Rasulullah) adalah nabi tentu tidak mati”. Dan di antara mereka ada yang tetap di atas dua kalimah syahadat namun dia mengakui kenabian Musailamah dengan dugaan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menyertakannya dalam kenabian, karena Musailamah mengangkat saksi-saksi palsu yang bersaksi akan kenabian dia (Musailamah) terus dibenarkan oleh banyak orang, namun demikian para ulama ijma bahwa mereka itu murtaddin meskipun mereka jahil akan hal itu, dan siapa yang meragukan kemurtaddan mereka maka dia kafir. [Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah: 23 dalam Majmu’ah At Tauhid]

Para shahabat ijma untuk membunuh jama’ah masjid Kuffah, juga atas kekafiran dan kemurtaddan mereka tatkala mereka menyatakan ungkapan akan pengakuan kenabian Musailamah, namun para sahabat berselisih pendapat apakah diterima taubat mereka tatkala mereka taubat atau tidak. Dan masalah ini ada dalam shahih Al Bukhari dan Syarh-nya dalam Al Kifalah. [Ad Durar As Saniyyah: 10/68]

Para sahabat ijma atas kafirnya orang yang mengkultuskan Ali, mereka adalah Ghulatur Rafidlah. [Ad Durar As Saniyyah: 10/68]

Ijma para ulama akan kafirnya para penguasa dan kroni-kroni Bani Ubaid.
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Seandainya kita menuturkan orang-orang yang mengaku Islam yang telah dikafirkan oleh para ulama dan mereka fatwakan kemurtaddan dan keharusan membunuhnya tentulah pembahasannya panjang, namun di antara kisah yang paling akhir adalah kisah Bani Ubaid para penguasa Mesir dan jajarannya sedangkan mereka itu mengaku tergolong Ahlul Bait, mereka shalat Jum’at dan jama’ah, serta telah mengangkat para qadli dan mufti. Dan para ulama ijma atas kekafiran mereka, meskipun mereka (rakyatnya) dipaksa dan benci kepada mereka (para penguasa).” [Tarikh Nejd: 346]

Imam Ishaq Ibnu Rahwiyah rahimahullah berkata: “Para ulama ijma bahwa orang yang menolak sesuatu yang telah Allah turunkan mereka itu kafir meskipun mengakui semua apa yang Allah turunkan.” [At Tamhid: 4/226]
Ungkapan beliau ini ditafsirkan oleh Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab di dalam kitabnya Al Mukaffirat Al Waqi’ah: 19, beliau berkata: “Dan makna ucapan Ishaq adalah seseorang menolak sesuatu yang telah Allah turunkan dalam Kitab-Nya atau lewat lisan para Rasul-Nya berupa faraidl (hal-hal yang fardlu), yang wajib, yang sunnah atau yang mustahab setelah mengetahui bahwa Allah menurunkannya dalam Kitab-Nya atau melarangnya, kemudian dia menolaknya setelah itu, maka dia kafir murtad meskipun dia mengakui seluruh apa yang telah Allah turunkan berupa syariat kecuali apa yang ditolak dan dia ingkari karena bertentangan dengan keinginannya dan adatnya atau adat daerahnya. Dan ini adalah makna perkataan para ulama: “siapa yang mengingkari hukum furu’ yang sudah di ijmakan maka dia kafir meskipun tergolong orang yang paling ahli ibadah dan paling zuhud.”

Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad ditanya tentang orang yang tidak mengkafirkan para pelaku Syirik, beliau berkata: “Bila dia masih ragu akan kekafiran mereka atau tidak tahu akan kekafiran mereka, maka dijelaskan kepadanya dalil-dalil dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam yang menunjukan kekafiran mereka. Kemudian bila ragu setelah itu atau bimbang, maka sesungguhnya dia adalah kafir dengan ijma kaum muslimin bahwa orang yang ragu akan kekafiran orang kafir adalah kafir.” [Kitab Autsaqu’ural Iman dalam Majmu’ah At Tauhid: 96]

Sudah dijelaskan kepada kalian dalil-dalil dari Al Qur’an, As Sunnah serta ijma akan kekafiran negara ini dan para penguasanya, namun kalian masih mengatakan ini adalah Negara Islam dan mereka penguasa muslim, maka kalian adalah orang–orang kafir. (tamb)

Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah berkata: “Masalah yang ditunjukan oleh Al Kitab, As Sunnah dan ijma ulama adalah bahwa dosa seperti syirik dengan cara beribadah kepada yang lain bersama Allah adalah kekafiran. Siapa orangnya melakukan sesuatu dari macam ini dan jenisnya, maka orang ini tidak diragukan lagi kakafirannya dan tidak apa-apa bila engkau mengetahui benar bahwa perbuatan ini muncul dari seseorang, engkau mengatakan si fulan telah kafir dengan perbuatan ini. Dan ini dibuktikan bahwa para fuqaha dalam bab hukum orang murtad menyebutkan banyak hal yang bisa membuat seorang muslim menjadi murtad lagi kafir, dan mereka memulai bab ini dengan ucapan mereka: Siapa yang menyekutukan Allah maka dia telah kafir dan hukumnya dia itu disuruh bertaubat, bila dia taubat, dan bila tidak maka dibunuh, sedang istitabah (menyuruh taubat) itu hanyalah terjadi pada orang mu’ayyan.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/416-417]

Dan berkata juga: “Dan perkataan ulama tentang takfir mu’ayyan adalah banyak sekali, sedangkan macam Syirik yang terbesar ini adalah ibadah kepada selain Allah, dan itu adalah kekafiran dengan ijma kaum muslimin, dan tidak ada larangan dari mengkafirkan orang yang memiliki sifat itu, karena orang yang berzina dikatakan si fulan berzina, dan orang yang memakan riba dikatakan si fulan pemakan riba, wallahu A’lam.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/417]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata setelah menukil perkataan Ibnu Taimiyyah: “Perhatikanlah ucapan orang yang menisbatkan kepadanya bahwa beliau tidak mengkafirkan orang mu’ayyan bila orang itu terang-terangan menghina dien para nabi dan bergabung dengan para pelaku syirik dan dia mengklaim bahwa mereka itu ada di atas kebenaran, memerintahkan agar bergabung dengan mereka dan dia mengingkari orang yang tidak mencela Tauhid dan tidak masuk bergabung bersama kaum musyrikin karena dia masih mengaku Islam.
Lihat bagaimana beliau (Ibnu Taimiyyah) mengkafirkan orang mu’ayyan meskipun dia ahli ibadah dengan sebab menghalalkan ganja, meskipun dia mengklaim kehalalan bagi orang-orang khusus yang bisa membantu mereka mengalahkan orang-orang kafir, dan beliau berdalil dengan ijma para sahabat atas pengkafiran Qudamah dan sahabatnya bila mereka tidak taubat, sedangkan ucapan beliau ini tentang orang mu’ayyan dan perkataan para sahabat juga tentang orang mu’ayyan, maka apa gerangan dengan masalah kita ini yang mana penghalalan ganja ini tidak sebanding dengan satu bagian darinya. [Mufid Al Mustafid: 81, Aqidatul Muwahhidin]

Abu ‘Abdillah Abdurrahan Ibnu ‘Abdil Hamid rahimahullah berkata: “Sesungguh-nya tawwaqquf dari takfir mu’ayyan secara muthlaq dan hanya mengatakan bahwa jenis (nau’) orang yang melakukan hal ini adalah kafir, tapi orang mu’ayyan bila melakukannya maka kita tidak bisa mengkafirkannya, pernyataan ini tidak lain adalah sia-sia yang tidak ada maknanya, dan pengguguran akan hukum-hukum syariat, serta ibadah yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan ijma para sahabat, tabi’in dan ulama umat ini.” [Al Jawa Al Mufid: 384]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah Berkata dalam Syarh Ashli Dienul Islam tentang salah satu orang yang menyalahi Tauhid: “Macam orang ini tidak mendatangkan makna yang ditunjukan oleh Laa ilaaha illallaah berupa penafian syirik dan apa yang dituntutnya berupa orang yang melakukannya setelah ada bayan secara ijma.” Kemudian beliau berkata: “Dan orang yang tidak mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Al Qur’an maka dia telah menyelisihi apa yang dibawa oleh para rasul, berupa Tauhid dan apa yang dituntutnya.” [Syarh Ashli Dienul Islam, Majmu’ah At Tauhid]

IV. Pernyataan-Pernyataan Para Imam

Al Imam Al Barbahari rahimahullah berkata: “Dan seorang dari ahli kiblat tidak boleh dikeluarkan dari Islam sampai dia menolak satu ayat dari Kitabullah, atau sesuatu dari atsar-atsar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau menyembelih untuk selain Allah atau shalat untuk selain Allah. Dan bila dia melakukan sesuatu dari hal itu maka telah wajib atas dirimu untuk mengeluarkan dia dari Islam. Dan bila tidak melakukan sesuatu dari hal itu maka dia muslim mukmin secara nama bukan secara hakikat”. [Syarhus Sunnah: poin 49]

Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata tentang orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya kalian mengkafirkan kaum muslimin’ (padahal orang itu beribadah kepada selain Allah): “Sesungguhnya orang yang berbicara ini tidak mengetahui Islam dan Tauhid, dan yang nampak adalah tidak sahnya keIslaman orang yang berbicara ini, karena dia tidak mengingkari hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang musyrik pada masa sekarang dan tidak menganggapnya sesuatu (yang mesti diingkari). Sungguh dia itu bukan muslim.” [Majmu’ah Ar Rasail Juz I bagian 3 hal 655 dan Ad Durar As Saniyyah: 10/416]

Oleh sebab itu apa faidahnya mempelajari bab murtad, pembatal-pembatal keIslaman serta konsekuensi-konsekuensi yang mesti diberlakukan terhadap orang yang jatuh ke dalam pembatalan-pembatalan ini bila mereka tidak menerapkannya kepada seorangpun dalam kekafiran yang nampak…? Sungguh ini adalah kesesatan yang buta dan kejahilan yang amat besar.
Kami tidaklah mengada-ada, tetapi pernyataan Al Imam Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Alu Asy Syaikh tentang orang yang tidak mau mengkafirkan mu’ayyan: “Dan saya kira mereka itu tidak mengkafirkan kecuali orang yang langsung dengan nash Al Qur’an dinyatakan kekafirannya, seperti Fir’aun , sedangkan nash-nash (yang ada) tidak menta’yin setiap orang. Dia itu belajar bab hukum orang murtad namun tidak dia terapkan kepada seorangpun. Ini adalah kesesatan yang buta dan kejahilan yang paling besar”. [Aqidatul Muwahhidin, nukilan dari Majmu Al Fatawa: 1/84]

Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Al Mukaffirat Al Waqi’ah: 47: “Dan amatilah perkataan Ibnu Taimiyyah tentang orang-orang yang mana inti perkataan mereka adalah syirik akbar dan kekafiran yang tidak mungkin Allah ampuni kecuali dengan taubat darinya, dan bahwa itu memestikan terjadinya kemurtadaan dari dien ini dan kekafiran terhadap Rabbul ‘Alamin. Bagaimana beliau tegas-tegasan mengkafirkan dan memvonis murtad dari dien orang yang melakukan hal ini bila telah tegak hujjah dari Al Kitab dan As Sunnah kemudian dia tetap bersikeras di atas perlakuan itu. Ini adalah hal yang tidak mungkin ditentang oleh orang yang mengetahui dienul Islam.”

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah mencap kafir para pelaku syirik dalam ayat-ayat yang sangat banyak, maka (kalau begitu) haruslah (kita) mengkafirkan mereka juga. Ini adalah tuntutan Laa ilaaha illallaah yang merupakan kalimat ikhlas, sehingga maknanya tidak tegak kecuali dengan mengkafirkan orang yang menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadah kepada-Nya, sebagaimana dalam hadist: “Siapa yang mengucapka Laa ilaaha illallaah dan dia kufur kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya atas Allah Ta’ala.”
Sabdanya: “…dan dia kufur kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah…” Adalah penguat bagi penafian (Laa ilaaha), sehingga orang tidak terjaga darah dan hartanya kecuali dengan hal itu, kemudian bila dia ragu atau bimbang maka darah dan hartanya tidak terjaga. Hal-hal ini adalah termasuk kesempurnaan Tauhid. [Syarh Ashli Dienul Islam, Majmu’ah At Tauhid: 29]
Mengkafirkan pelaku syirik adalah termasuk tuntutan Laa ilaaha illallaah, apakah ini khusus bagi ulama saja…? Atau atas setiap insan yang ingin selamat…?
Dan beliau berkata juga: “Ini berdasarkan apa yang telah engkau ketahui bahwa Tauhid itu menuntut penafian syirik, berlepas diri darinya, memusuhi para pelakunya, dan mengkafirkan mereka saat hujjah telah tegak atas mereka.” [Majmu’ah At Tauhid: 31 risalah yang sama]

Dua putra Syaikh Muhammad yaitu Syaikh Husen dan Syaikh Abdullah berkata: “Orang yang mengatakan saya tidak memusuhi para pelaku syirik atau dia memusuhi mereka namun tidak mengkafirkannya, atau orang yang mengatakan saya tidak mengomentari negatif orang yang sudah mengucapkan Laa ilaaha illallaah meskipun mereka melakukan kemusyrikan dan kekafiran dan memusuhi dien Allah, atau orang yang mengatakan saya tidak akan mengganggu kubah-kubah (kuburan yang dikeramatkan), maka orang ini adalah bukan orang muslim, justeru dia tergolong orang-orang yang Allah firmankan tentang mereka:
“Dan mereka mengatakan: ‘kami beriman kepada sebagian dan kami kafir kepada sebagain’, dan mereka menginginkan menjadikan jalan (tengah) di antara itu. Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya.” (Q.S. An Nisa [4]: 150-151)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
“Engkau tidak akan mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya…”(Q.S. Al Mujadilah [58]: 22)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
“Hai orang-orang yang beriman jangan kalian jadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai auliya yang mana kalian menjalin kasih sayang terhadap mereka…” (Q.S. Al Mumtahanah [60]: 1) [Ad Durar As Saniyyah: 10/139-140]

Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang orang yang mengatakan: ‘Bahwa peribadatan kepada kubah (kuburan) dan memohon kepada mayit bersama Allah adalah bukan Syirik dan bahwa para pelakunya bukan kaum musyrikin’: “Maka nampaklah status dia dan kekafiran dan pembangkangannya.” [Ad Durar As Saniyyah: 8/127-128 dan lihat Hukmu Muwalati Ahlil Isyrak dalam Majmu’ah At Tauhid: 128]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas ahli Tauhid untuk menjauhi mereka (para pelaku syirik), mengkafirkan mereka dan berlepas diri dari mereka… Kemudian beliau berdalil dengan ayat:
“Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah…” (Q.S. Maryam [19]: 48)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
“Maka tatkala dia meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah…” (Q.S. Maryam [19]: 49)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
“Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah…” (Q.S. Al Mumtahanah [60]: 4)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
“Dan (ingatlah) tatkala kalian tinggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah…” (Q.S. Al Kahfi [18]: 16)
Kemudian beliau berkata: “Tidak tegak bagi ahli Tauhid, Tauhid mereka kecuali dengan meninggalkan para pelaku syirik, memusuhi mereka dan mengkafirkan mereka.” [Ad Durar As Saniyyah: 11/434]

Syaikh Abdurrahman juga berkata: “Seandainya (si hamba) mengetahui makna Laa ilaaha illallaah tentu dia mengetahui bahwa orang ragu atau bimbang tentang kekafiran orang yang menyekutukan yang lain bersama Allah sesungguhnya dia itu tidak kafir kepada thaghut”.
Apakah kufur kepada thaghut hak ulama saja…? Atau wajib atas setiap orang termasuk kalian, bahkan bukan sekedar wajib tapi Tauhid…?

Syaikh Muhammad Ibnu Abdullathif rahimahullah berkata setelah mengkafirkan orang yang beribadah kepada selain Allah: “Dan siapa yang meragukan kekafirannya setelah tegak hujjah atasnya maka dia kafir.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/439-440]

Al Imam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Dan makna kufur kepada thaghut adalah engkau berlepas diri dari setiap yang dikultuskan selain Allah, baik berupa jin, manusia, atau yang lainnya dan bersaksi atas kekafiran dan kesesatannya serta engkau membencinya meskipun itu adalah ayahmu atau saudaramu. Dan adapun orang yang mengatakan: ‘Saya tidak beribadah kecuali kepada Allah namun saya tidak akan mengomentari para Syaikh (yang dikultuskan) dan kubah-kubah yang ada di atas kuburan dan yang serupa dengan hal itu’, maka orang ini dusta dalam pengucapan Laa ilaaha illallaah, dia tidak beriman kepada Allah dan tidak kufur kepada thaghut.” [Ad Durar As Saniyyah: 2/121]
Dan beliau berkata juga: “Dan engkau wahai orang yang telah Allah beri karunia dengan Islam dan mengetahui bahwa tidak ada ilah (yang haq) kecuali Allah, jangan kamu kira bahwa engkau bila telah mengucapkan (“Ini memang adalah Al Haq dan saya meninggalkan selainnya, namun saya tidak akan mengomentari para pelaku Syirik dan tidak akan mengatakan sesuatupun tentang mereka…”) Jangan kamu kira bahwa hal itu membuat kamu mendapat predikat Islam dengannya, justeru wajib membenci mereka, membenci orang yang mencintai mereka, mencela mereka dan memusuhinya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim dan rasul-rasul yang lain:
“Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian, serta tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja…” (Q.S. Al Mumtahanah [60]: 4)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
“Siapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang pada Al urwah Al wutsqa.” (Q.S. Al Baqarah [2]: 256)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
“Dan sungguh kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (mereka menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut’…” (Q.S. An Nahl [16]: 36)
Seandainya seseorang mengatakan: “Saya mengikuti Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan beliau itu di atas Al Haq, tapi saya tidak akan komentari negatif latta dan ‘uzza serta saya tidak akan komentari Abu Jahl dan yang serupa dengannya tidak ada urusan saya dengan mereka.” Tentu tidak sah keIslamannya. [Ad Durar As Saniyyah: 2/109]

Al ‘Allamah Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Alu Syaikh rahimahullah berkata: “Bila dia mengatakan (“Saya katakan selain mereka adalah kafir dan saya tidak mengatakan mereka itu orang-orang kafir…”), Maka ini adalah vonis dari dia akan keIslaman mereka (para pelaku syirik), karena tidak ada perantara antara kufur dan Islam, bila mereka bukan kafir berarti mereka muslimun, dan saatnya siapa yang menamakan kufur sebagai Islam atau menamakan orang-orang kafir sebagai orang-orang muslim, maka dia kafir, jadi dia adalah orang kafir. [Autsaqu ‘ural Iman, Majmu At Tauhid: … ]

Dua putra Syaikh Muhammad, yaitu Syaikh Husen dan Syaikh Abdullah ditanya: “Apa pendapat anda orang yang masuk dien ini (Tauhid) dan ia mencintainya, namun dia tidak memusuhi para pelaku Syirik atau dia memusuhi mereka namun tidak mengkafirkannya atau dia mengatakan: Saya muslim namun (tidak bisa) mengkafirkan orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah meskipun mereka tidak mengetahui maknanya…? Dan orang yang masuk dien ini namun dia mengatakan: Saya tidak akan mengganggu kubah-kubah itu dan saya tahu bahwa itu tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudlarat tapi saya tidak akan mengganggunya…?
Mereka menjawab: “Sesungguhnya orang itu tidak menjadi muslim kecuali bila dia mengetahui Tauhid, menyakininya, mengamalkan tuntutannya, membenarkan Rasulullah dalam apa yang beliau kabarkan, dan mentaatinya dalam apa yang beliau larang, beriman kepadanya dan kepada apa yang beliau bawa. Siapa orangnya yang mengatakan saya tidak memusuhi para pelaku Syirik atau dia memusuhinya namun tidak mengkafirkannya, atau mengatakan saya tidak akan mengomentari negatif orang-orang yang sudah mengucapkan Laa ilaaha illallaah meskipun mereka itu melakukan kekafiran dan kemusyrikan serta memusuhi dien Allah, atau orang yang mengatakan saya tidak akan mengomentari kubah-kubah itu, maka orang seperti ini bukan muslim, namun dia tergolong orang-orang yang Allah Subhanahu Wa Ta'ala firmankan:
“Dan mereka mengatakan: ‘kami beriman kepada sebagian dan kami kafir kepada sebagian.’ dan mereka menginginkan menjadikan jalan (tengah) di antara itu. Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya, dan Kami siapkan adzab yang menghinakan bagi orang-orang kafir.” (Q.S. An Nisa [4]: 150-151)
Dan Allah SWT telah mewajibkan memusuhi orang-orang pelaku syirik, meninggalkan mereka dan mengkafirkannya….” [Ad Durar As Saniyyah: 10/139]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam menukil perkataan Ibnu Taimiyyah: (Ibadah kepada selain Allah adalah lebih kafir daripada meminta tolong kepada selain Allah. Bila orang menyembelih untuk selain Allah dalam rangka taqarrub kepadanya, tentulah haram meskipun membaca bismillah di dalamnya sebagaimana yang dilakukan oleh segolongan dari kaum munafiqin umat ini, dan meskipun mereka itu murtaddin yang sembelihannya sama sekali tidak halal, namun pada sembelihannya terkumpul dua larangan. Dan inilah yang biasa dilakukan di kota Mekkah dan yang lainnya, berupa sembelihan buat jin (tumbal) –selesai perkataan Syaikh–)

Syaikh Muhammad berkata: “Dan dialah yang mana musuh-musuh dien ini menisbatkan kepada beliau bahwa beliau tidak mengkafirkan mu’ayyan. Coba lihatlah semoga Allah memberimu petunjuk pengkafiran beliau terhadap orang yang menyembelih untuk selain Allah dari kalangan umat ini, serta penegasan beliau bahwa orang munafiq menjadi murtad. Ini adalah pada orang mu’ayyan karena tidak terbayang sembelihan menjadi haram kecuali sembelihan mu’ayyan.” [Al Mufid Al Mustafid: 52]
Kemudian berkata seraya mengomentari perkataan Ibnu Taimiyyah: “Maka lihatlah –semoga Allah merahmatimu– kepada sang imam ini yang mana orang yang Allah sesatkan hatinya menisbatkan kepada beliau tidak mengkafirkan mu’ayyan. Bagaimana beliau menyebutkan tentang orang seperti Al Fakhru Ar Razi yang mana dia adalah tergolong tokoh besar kalangan Syafi’iyyah, dan seperti Abu Mi’syar yang mana dia adalah tergolong penulis besar yang masyhur dan yang lainnya, bahwa mereka itu murtad dari Islam. Al Fakhru ini adalah yang Syaikh sebutkan dalam Ar Raddu ‘Alal Mutakallimin tatkala beliau menyebutkan kitab tulisannya yang beliau sebutkan disini, beliau berkata: (‘Dan ini adalah riddah sharihah (kemurtaddan yang jelas) dengan kesepakatan kaum muslimin’)” [Mufid Al Mustafid: 54]

Syaikh Muhammad berkata juga setelah menuturkan perkataan Ibnu Taimiyyah tentang orang-orang yang divonis oleh Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu dengan riddah (murtad): perhatikanlah ungkapan beliau rahimahullah dalam takfir mu’ayyan dan kesaksian atasnya masuk neraka bila telah dibunuh, serta istri dan anak-anaknya dijadikan tawanan (budak) karena (mereka) menolak membayar zakat. Padahal beliau inilah yang mana musuh-musuh dien menisbatkan kepadanya bahwa beliau tidak takfir mu’ayyan. [Mufid Al Mustafid: 64]
Beliau berkata juga: Ibnu Qayyim berkata dalam kitab Iqhatsatul Luhafan tentang pengingkaran akan pengangungan kuburan: (“Masalahnya telah menghantarkan kaum musyrikin sampai-sampai sebagian orang-orang yang ekstrim di antara mereka mengarang dalam hal itu satu kitab yang dinamakan (Manasik Al Masyahid) dan tidak diragukan bahwa ini adalah keluar dari dien Islam dan masuk dalam dien para penyembah berhala”): “Orang yang disebutkan Ibnu Qayyim ini adalah tergolong laki-laki yang tergolong banyak mengarang yang terkenal dengan julukan Ibnul Mufid. Sungguh saya telah melihat isi kitab itu dengan mata kepala saya sendiri, maka bagaimana orang mengingkari takfir mu’ayyan.” [Mufid Al Mustafid: 66]

Beliau berkata juga: “Abul Abbas rahimahullah berkata: (Ibnul Khudlairiy memberitahu saya dari ayahnya dari Syaikh Al Khudlairiy imam madzhab Hanafi di zamannya, beliau berkata: Para fuqaha Bukhara pernah mengatakan tentang Ibnu Sina: “dia adalah orang kafir yang cerdik”). Ini imam madzhab Hanafi pada zamannya menghikayatkan dari semua fuqaha Bukhara bahwa Ibnu Sina adalah kafir, sedangkan ia adalah orang mu’ayyan yang banyak menulis yang pura-pura menampakan Islam.” [Al Mufid: 66]

Beliau berkata: Ibnu Hajar berkata saat menjelaskan hadist Ibnu Abbas “Bila engkau meminta, mintalah kepada Allah” dalam Syarh Arba’in, yang maknanya: Sesungguhnya orang yang menyeru selain Allah maka dia kafir, dan dalam hal ini beliau menulis satu kitab khusus yang diberi nama Al I’lam Bi Qawathi’il Islam, di dalamnya beliau menyebutkan banyak ucapan dan perbuatan yang masing-masing darinya bisa mengeluarkan dari Islam dan dengannya orang mu’ayyan dikafirkan yang pada umumnya tidak menyamai seper seratus apa yang menjadi tema bahasan kita. [Al Mufid: 67]

Syaikh Muhammad berkata dalam rangka membantah orang yang enggan mengkafirkan secara mu’ayyan orang yang menyekutukan Allah: “Apakah pernah ada seorang saja dari semenjak zaman sahabat hingga zaman Manshur –Al Bahuty– bahwa mereka (pelaku syirik) itu dikafirkan nau’nya saja tidak mu’ayyan ?.” [lihat risalah beliau kepada Ahmad Ibnu ‘Abdil Karim Al Ahsaaiy dalam Tarikh Nejd: 346, juga Ad Durar As Saniyyah: 10/69]

Membedakan nau’ dengan mu’ayyan dalam syirik akbar tak lain adalah bid’ah, oleh karena itu Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah tatkala menuturkan orang-orang yang mengklaim sebagai pengikut Syaikh Muhammad padahal mereka itu jauh dari manhajnya: “Dan setelah diteliti mereka itu tidak mengkafirkan pelaku syirik kecuali secara umum saja dan untuk menerapkannya di antara mereka, mereka sangat enggan, kemudian merebaklah bid’ah dan syubhat mereka itu sampai akhirnya laris dikalangan ikhwan-ikhwan khusus. Itu wallahu a’lam disebabkan (mereka) meninggalkan kitab-kitab induk dan tidak memperhatikannya serta tidak takut dari kesesatan”. [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan: 149, dalam Aqidatul Muwahhidin]

Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang kami isyaratkan tadi telah saya tanya tentang masalah ini, maka dia berkata: Kami mengatakan kepada para pengagung kubah (kuburan) yang mereka ibadati dan orang yang di dalamnya: “Perbuatan kamu adalah syirik tapi dia bukan musyrik.” Coba lihatlah dan pujilah Rabbmu dan mintalah ‘afiyah, sesungguhnya jawaban ini adalah termasuk jawaban (Dawud Ibnu Jirjis) Al Iraqiy yang telah dibantah oleh Syaikh Abdullathif. Dan orang yang mengatakan hal itu kepadaku menuturkan bahwa ia pernah ditanya oleh sebagain penuntut ilmu tentang hal itu dan landasannya, maka ia mengatakan: (Kafirkan nau’ dan tidak menta’yin seseorang kecuali setelah diberi penjelasan)” [Hukmu Takfri Al Mu’ayyan: 160]

Beliau berkata juga: “Dan masalah kita ini –yaitu, ibadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya serta bara’ dari peribadatan selain-Nya dan bahwa orang yang beribadah kepada yang lain disamping ibadah kepada Allah maka sungguh dia telah menyekutukan-Nya dengan syirik akbar yang mengeluarkan dari Islam–, adalah pokok dari segala pokok dan dengannya para rasul diutus, kitab-kitab diturunkan, dan hujjah telah tegak atas manusia dengan Rasul dan Al Qur’an. Dan begitulah engkau dapatkan jawaban dari para imam dien ini dalam pokok ajaran itu saat mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah, sesungguhya dia itu disuruh taubat, bila dia taubat, bila tidak maka dia dibunuh, mereka tidak menyebutkan ta’rif (pemberian penjelasan terlebih dahulu) dalam masalah-maslah pokok, mereka hanya menyebutkan ta’rif dalam masalah-masalah khafiyyah (yang samar) yang terkadang samar atas sebagian kaum muslimin dalilnya, seperti masalah-masalah yang diyakini oleh sebagian ahlul bid’ah seperti Qodariyah dan Murji’ah atau dalam masalah-masalah yang samar seperti Sharf dan ‘Athf (pelet). Dan bagaimana ‘Ubaddul Qubur itu diberi penjelasan sedangkan mereka itu bukan kaum muslimin dan mereka tidak masuk dalam nama Islam, apakah ada amalan tersisa bersama syirik…!!?” [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan: 150-151]

Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: “Kami katakan dalam takfir mu’ayyan: dhahir ayat-ayat, hadits-hadits serta perkataan jumhur ulama menunjukkan kafirnya orang yang menyekutukan Allah, dimana ia ibadah kepada yang lain disamping kepada Allah, dan dalil-dalil itu tidak membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya” dan firman-Nya: “Maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kalian dapatkan mereka”, sedangkan dalil ini umum bagi setiap individu dari kalangan para pelaku syirik. Dan semua para ulama dalam kitab-kitab fiqh menyebutkan hukum orang murtad, sedangkan kemurtadan dan kekafiran yang paling mereka sebutkan pertama adalah syirik, mereka mengatakan: “Sesungguhnya siapa yang berbuat syirik maka dia kafir”, dan mereka tidak mengecualikan orang jahil, dan “Siapa yang mengklaim Allah itu punya istri atau anak maka dia kafir”, dan mereka tidak kecualikan orang jahil, “Siapa yang menuduh ‘Aisyah berzina maka dia telah kafir”, Dan siapa yang memperolok-olok Allah atau para rasul-Nya, atau kitab-kitab-Nya, maka telah kafir dengan ijma berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala: “Jangan kalian cari-cari alasan sungguh kalian telah kafir setelah iman kalian”. Dan mereka menyebutkan banyak hal yang diijmakan kekafiran pelakunya dan mereka tidak membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya, kemudian mereka mengatakan: “Siapa yang murtad dari Islam maka dia dibunuh setelah disuruh taubat (istitabah)”, mereka telah menghukumi kemurtaddannya sebelum hukuman akan istitabah. Jadi istitabah adalah setelah vonis kemurtadan, sedangkan istitabah hanyalah pada orang mu’ayyan. Dan dalam bab ini mereka menyebutkan hukum orang yang mengingkari wajibnya salah satu dari ibadah yang lima, atau menghalalkan susuatu dari hal-hal yang diharamkan, seperti khamr, babi dan yang lainnya, atau meragukannya, maka dia kafir bila orang seperti dia tidak jahil akannya, dan mereka tidak mengatakan hal itu dalam syirik akbar dan yang lainnya yang mana sebagiannya telah kami sebutkan, bahkan mereka memutlakan kekafirannya dan tidak mengecualikannya dengan sebab kejahilan, dan mereka juga tidak membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya, serta sebagaimana yang telah kami sebutkan istitabah hanya terjadi pada orang mu’ayyan. Apakah boleh bagi orang muslim meragukan kekafiran orang yang mangatakan bahwa Allah memiliki istri atau anak atau berkata Jibril salah dalam menyampaikan risalah atau orang yang mengingkari hari kebangkitan setelah kematian atau mengingkari salah seorang Nabi…? Dan apakah orang muslim membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya dalam hal itu dan yang lainnya, sedangkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengatakan: “Siapa yang mengganti diennya, maka bunuhlah dia”.
Dan ini mencakup mu’ayyan dan yang lainnya, sedangkan penggantian dien yang paling dahsyat adalah menyekutukan Allah dan ibadah kepada yang lainnya. [Ad Durar As Saniyyah: 10/401]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Inti dien Islam dan kaidahnya ada dua:
Pertama:
Perintah ibadah hanya kepada Allah tidak ada sekutu baginya
Dorongan yang kuat akan hal itu
Melakukan loyalitas di dalamnya
Mengkafirkan orang yang meninggalkannya
Kedua:
Penghati-hatian dalam syirik dalam ibadah kepada Allah
Kecaman yang keras akan hal itu
Melakukan permusuhan di dalamnya
Dan mengakfirkan pelakunya. [Majmu’ah At Tauhid: 28]

Kemudian beliau berkata tentang orang yang menyalahi inti dienul Islam itu: “Dan di antara mereka –yaitu yang paling bahaya– adalah orang yang mengamalkan tauhid namun tidak mengetahui kedudukannya, dia tidak membenci orang yang meninggalkannya dan tidak mengkafirkan mareka. [Majmu’ah At Tauhid: 29]

Pensyarah, Abdurrahman Ibnu Hasan berkata: Ucapan beliau rahimahullah “yaitu yang paling berbahaya” karena dia tidak mengetahui kedudukan apa yang diamalkan dan tidak mendatangkan apa yang meluruskan tauhidnya berupa syarat-syarat yang berat yang mesti dipenuhi, ini berdasarkan apa yang telah kamu ketahui bahwa Tauhid itu menuntut penafian syirik, bara darinya, memusuhi para pelakunya serta mengkafirkan mereka saat hujjah tegak atas mereka. [Majmu’ah At Tauhid: 31]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, bara darinya dan mengkafirkan pelakunya.” [Majmu’ah At Tauhid: 29]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata seraya mengakui dan menganggap bagus apa yang dilakukan oleh orang Arab Badui yang awam: “Dan sungguh indah sekali apa yang dikatakan seorang Arab badui tatkala ia datang kepada kami dan telah mendengar sesuatu dari Islam (Tauhid) ini, ia berkata: “saya bersaksi bahwa kami adalah orang-orang kafir –yaitu dia dan seluruh orang-orang badui– dan saya bersaksi bahwa Muthawwi (ustadz) yang mengatakan bahwa kami adalah orang-orang Islam, dia adalah kafir.” [Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah: 23 dalam Majmu’ah At Tauhid]
Ketahuilah bahwa pernyataan yang mengharuskan penegakan hujjah sebelum mengkafirkan pelaku syirik adalah hanyalah syubhat yang tak berdalil sama sekali.
Para ulama yang tergabung dalam Al Lajnah Ad Daimah dengan pimpinan Syaikh Ibnu Baz berkata: Dan dengan ini diketahuilah bahwa tidak boleh bagi thaifah muwahhidin yang menyakini kekafiran ‘Ubbadul Qubur mengkafirkan saudara-saudara mereka yang muwahhid yang tawaqquf dalam kekafiran mereka sampai tegak atas mereka (yang tawaqquf) hujjah, karena sikap tawaqquf mereka dari mengkafirkannya memiliki syubhat, yaitu keyakinan keharusan mestinya penegakan hujjah atas orang-orang quburiyyun ini sebelum mengkafirkan mereka, berbeda halnya dengan yang tidak ada syubhat akan kekafirannya seperti orang-orang Yahudi, Nashrani, komunis, dan yang serupa dengannya. Mereka itu tidak ada syubhat akan kekafirannya dan juga kekafiran orang yang tidak mengkafirkannya. [2/100 juga Fatawa Al Aimmah An Najdiyyah: 3/74]

Coba lihat Al Lajnah mengganggap hal itu hanya syubhat dan bukan dalil…!! Kalau sekedar tawaqquf, ya bisa saja kita maklumi, tapi mereka bukan tawaqquf namun membela-belanya seraya memusuhi para muwahhidin.
Sebelum akhir, saya memberikan hadiah bagi orang-orang yang kalah dihadapan para thaghut dan para pelaku syirik, yang mana mereka itu membedakan antara nau’ dan mu’ayyan dalam syirik akbar dan yang menuduh para muwahhidin yang mengkafirkan para thaghut dan para pelaku syirik dengan tuduhan-tuduhan yang keji dan nama-nama yang menjijikan.
Saya hadiahkan:
Perkataan Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah dalam risalahnya kepada Ahmad Ibnu ‘Abdil Karim Al Ahsaaiy, si musuh Tauhid yang membedakan nau’ dan mu’ayyan dalam syirik akbar dengan berlandaskan pada pemahaman yang salah akan perkataan Ibnu Taimiyyah: Dan kamu –wal ‘iyadzu billah– jatuh terpuruk setingkat demi setingkat, pertama kalinya (kamu jatuh) dalam keraguan, negeri syirik, loyalitas, shalat dibelakang mereka, serta bara kamu dari kaum muslimin karena mudahanah (basa-basi) terhadap mereka. [Ad Durar As Saniyyah: 10/64]

Dan beliau mengatakan kepadanya: “Apakah ada seseorang semenjak zaman sahabat hingga zaman Manshur yang mengatakan bahwa mereka itu dikafirkan nau’nya saja tidak mu’ayyannya…?” [Ad Durar As Saniyyah: 10/69]

Dan beliau berkata seraya mengingkari orang yang mengingkari pengkafiran orang yang sudah mengucapkan Laa ilaaha illallaah bila melakukan syirik akbar atau kekafiran: “Dan tidak pernah mendengar seorangpun dari kalangan terdahulu dan orang-orang kemudian bahwa ada seorang yang mengingkari sesuatu dari hal itu atau mempermasalahkannya karena alasan mereka masih mengaku Islam, atau karena alasan pengucapan Laa ilaaha illallaah, atau karena penampakan sesuatu dari rukun-rukun Islam, kecuali apa yang kami dengar dari orang-orang terlaknat itu pada masa sekarang padahal mereka mengakui bahwa ini syirik, namun orang yang melakukannya atau memperindahnya atau ia bersama para pelakunya (bergabung) atau mencela Tauhid atau memerangi para muwahhid karena alasan Tauhidnya atau membenci mereka karenanya, bahwa dia itu tidak kafir karena mengucapkan Laa ilaaha illallaah atau karena dia melaksanakan rukun-rukun Islam yang lima…!! Pernyataan ini sama sekali tidak pernah didengar kecuali dari orang-orang kafir yang jahil lagi dzalim itu.” [Tarikh Nejd: 381, Mufid Al Mustafid]

Sebagian orang-orang jahil masa sekarang mengatakan: “Buat apa mengkafirkan pelaku syirik, tidak ada urusan saya dengan mereka, bukan kewajiban kita, ini hak ulama…!” Kemudian mereka setelah itu mengingkari orang yang mengkafirkan pelaku syirik itu seraya mengatakan: “Awas jauhi orang sesat ini, dia mengkafir-kafirkan kaum muslimin…!!!” Subhanallah, apakah ‘Ubbadul Qubur itu muslim…???

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata: “Siapa yang kamu maksud dengan kaum muslimin yang kamu bela-bela agar tidak dikafirkan, bila mereka itu adalah Jahmiyyah dan ‘Ubbadul Qubur, maka sungguh mereka itu bukan orang-orang Islam yang wajib kamu bela-bela, justeru mereka itu adalah musuh-musuh Allah, Rasul-rasul-Nya, syariat-Nya, dan dien-Nya. [Kasyfu Asy Syubhatain: 64 ]

Beliau berkata juga: “Dan ‘Ubbadul Qubur, mereka itu menurut Ahlus Sunnah dinamakan Al Ghaliyah (yang ekstrim) karena keserupaannya dengan orang-orang Nashrani dalam hal ghuluw pada para Nabi, para wali dan shalihin. Barangsiapa yang mengkafirkan mereka, menampakan permusuhan terhadap mereka dan kebencian terhadapnya, menghati-hatikan orang agar tidak duduk-duduk dengan mereka serta berupaya keras untuk menjauhkan (orang-orang) darinya, maka sungguh dia telah mengikuti jalan kaum mukminin, menapaki tuntunan para imam mujtahidin dan menyelisihi apa yang dijadikan pegangan oleh Khawarij dan Rafidlah, berupa mengkafirkan kaum muslimin. Maka siapa yang menjadikan pengkafiran mereka itu seperti mengkafirkan kaum muslimin, maka sungguh dia tergolong orang-orang yang membuat pengkaburan, dan orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah, serta mencari jalan orang-orang yang bengkok. Kita berlindung kepada Allah dari dosa-dosa yang menutupi dan hati-hati yang terpuruk.” [Kasyfu Asy Syubhatain: 103]

Dan berkata juga: “Dan begitu juga ‘Ubbadul Qubur, sesungguhnya mereka itu bukanlah tergolong ahlul ahwa wal bida’, tapi mereka dinamakan oleh salaf sebagai Al Ghulah karena penyerupaan mereka terhadap orang-orang Nashrani dalam sikap ghuluw terhadap para Nabi dan orang-orang saleh.” [Kasyfu Asy Syubhatain: 40]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Dan adapun ‘Ubbadul Qubur, mereka itu menurut salaf dan ahli ilmu dinamakan Al Ghaliyah karena perbuatan mereka menyerupai ghuluwnya orang-orang Nashrani terhadap para nabi, orang-orang saleh, dan para ahli ibadah.” [Minhaj At Ta’sis: 101]

Dan beliau berkata juga: “Bila orang-orang jahil ‘Ubbadul Qubur berkata: Mana orang yang beribadah kepada selain Allah…?, maka dikatakan kepada mereka: “Kalianlah orangnya dan yang sebangsa dengan kalian…!” [Minhaj At Ta’sis: 71]

Dan berkata juga setelah menafsirkan ayat 112 surat Al Baqarah: “Ia adalah bantahan atas ‘Ubbadul Qubur dan Ash Shalihin yang istighosah kepada selain Allah lagi menyeru selain-Nya, karena penyerahan wajah kepada Allah dan ihsan dalam beramal itu tidak ada pada mereka serta mereka tidak mendapatkannya.” [Minhaj At Ta’sis: 70]

Namun demikian sungguh telah sesat Syaikh maz’um Khalid Al Masyaiqih pengumpul kitab Al Qaul Al Mufid tatkala saya menanyakan kepadanya tentang ‘Ubbadul Qubur yang jahil, maka dia rela dengan ucapan orang yang mengatakan bahwa ‘Ubbadul Qubur yang jahil adalah muwahhidin. Hadaahullaah…
Ketahuilah bahwa orang yang mengingkari orang yang mengkafirkan pelaku syirik atau membela-belanya, haruslah dihajr.

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Bila kalian telah tahu akan hal itu, maka thaghut-thaghut yang dikultuskan orang-orang dari kalangan para penduduk Al Kharaj dan yang lainnya, mereka itu terkenal dikalangan khusus dan umum dengan sikap tersebut dan bahwa mereka itu memposisikan diri untuk itu dan memerintahkan orang-orang untuk (mengkultuskannya), semuanya adalah kuffar murtaddin dari Islam, siapa yang membela-bela mereka atau mengingkari orang yang mengkafirkan mereka dan dia mengklaim bahwa perbuatan mereka ini meskipun bathil namun tidak mengeluarkan mereka kepada kekafiran, maka status menimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq yang tulisan dan kesaksiaannya tidak boleh diterima serta tidak boleh shalat bermakmum padanya, bahkan dienul Islam tidak sah kecuali dengan bara’ dari mereka dan mengkafirkannya”. [Ad Durar As Saniyyah: 10/52-53]

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman dan Syaikh Abdullah Ibnu Syaikh Abdullathif tatkala ditanya tentang orang yang tawaqquf dari mengkafirkan quburiyyun, mereka menjawab: “Tidak sah status keimanan orang yang tidak mengkafirkan Jahmiyyah dan Quburiyyun atau ragu dalam mengkafirkan mereka. Dan masalah ini adalah tergolong masalah-masalah yang paling jelas dilkalangan para penuntut ilmu dan ahlul atsar”. [Ad Durar As Saniyyah: 10/437]

Siapa orangnya yang menuduh kaum muwahhidin yang mengkafirkan para thaghut, kaum Quburiyyun, para pengusung undang-undang buatan serta para pembuat hukum dinegeri ini sebagai Khawarij, sungguh dia itu telah mencela semua para rasul dan tidak paham akan dien ini.

Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar tergolong bab ini (aqidah khawarij), maka sungguh dia telah mencela para Rasul dan ulama umat ini, dia tidak bisa membedakan antara dien para Rasul dengan madzhab Khawarij dan sungguh dia telah mencampakkan nash-nash Al Qur’an dan mengikuti selain jalan kaum mukmin. [Mishbah Adh Dhalam: 72]

Dan biasanya para pemegang fikrah Inhizahmiyyah yang loyal kepada pemerintah-pemerintah murtad yang mengklaim bahwa mereka itu adalah orang-orang yang paling salafiy, mereka itu menjadikan para muwahhid sebagai musuh sedangkan para thaghut dan kaum musyrikin sebagai sahabat, mereka persilahkan orang-orang kafir itu untuk hadir dalam acara-acara mereka.

Syaikh Muhammad rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang keberatan dengan masalah takfir, bila engkau amati mereka ternyata para muwahhid adalah musuh-musuh mereka yang mereka benci dan dongkol dengannya, sedangkan orang-orang musyrik dan munafiq adalah sahabat mereka yang mana mereka merasa dekat dengannya. Tapi ini telah terjadi pada orang-orang yang ada didekat kami di Dar’iyyah dan Uyainah yang (akhirnya) murtad dan benci akan dien (ini). [Ad Durar As Saniyyah: 10/91]

Bila mereka jahil atau ragu akan kafirnya ‘Ubbadul Qubur dan ‘Ubbadul Dustur, maka dijelaskan kepada mereka dalil-dalil akan kekafirannya, bila masih ragu atau bimbang setelah itu maka mereka kafir.

Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik itu, beliau menjawab: “Bila dia ragu akan kekafiran mereka atau tidak tahu akan kekafirannya maka dijelaskan dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya yang menunjukan kekafiran mereka, kemudian bila dia ragu setelah itu atau bimbang maka sesungguhnya dia adalah kafir dengan ijma para ulama bahwa orang yang ragu akan kekafiran orang kafir adalah kafir. [Autsaqu ‘Ural Iman: 96 dalam Majmu’ah At Tauhid]
Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membela-bela kaum Quburiyyun dan Dusturiyyun, keadaannya tidak lepas dari tiga keadaan, silahkan kalian pilih salah satunya bagi diri kalian.
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata dalam rincian tiga keadaaan tentang orang-orang yang membela Jahmiyyah, Ibadliyyah dan kaum murtaddin dari kalangan ‘Ubbadul Qubur:

1) Bisa jadi mereka telah kalian dakwahi dengan hikmah dan mauidhah hasanah (pengajaran yang baik) serta kalian mendebat mereka dengan dalil-dalil yang bisa diakui dan diterima oleh setiap orang, terus mereka itu menerima apa yang kalian ajak kepadanya berupa petunjuk dan dien yang haq, dan mereka rujuk dari kesesatannya serta taubat, kembali dan komitmen dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bila keadaannya seperti ini maka berarti orang yang memusuhi mereka dan yang protes kepada kalian dan kepada mereka adalah salah, dzalim lagi aniaya.

2)Dan bisa jadi mereka tidak menerima ajakan kalian berupa petunjuk, dienul haq dan jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan justeru mereka ngotot, membangkang, keras kepala, dan melawan Allah layaknya unta yang melawan pemiliknya, maka berarti hujjah telah tegak atas mereka. Bila demikian maka tak ada larangan dari mengkafirkan mereka, menampakan permusuhan kepada mereka, bara’ darinya, memusuhinya, mentahdzirnya, menjauhinya dan memutus hubungan dengan mereka karena hujjah telah sampai dan tegak atas mereka.
3)Dan bisa jadi mereka tidak mendakwahinya dan tidak menasehatinya, maka berarti kalian tergolong pendukung dan kroni-kroni mereka serta para pembela-bela mereka sebelum mendakwahi mereka kepada dienullah dengan hikmah, mau’idhah hasanah dan penegakan hujjah atas mereka.
Inilah kalian yang membela-bela mereka di dunia ini, maka siapa yang bisa membela-bela mereka dari (adzab) Allah di hari kiamat, atau siapa orangnya yang bisa melindungi mereka…?

Kalian jadikan diri kalian sebagai tameng mereka dimana kalian menulis tulisan untuk membantah orang yang memusuhi mereka, berusaha mengalahkan mereka, membenci mereka dan menyebarkan keburukan, kebusukan serta kesesatan mereka.

Apakah kalian tidak takut suatu hari yang mana kalian di hari itu dikembalikan kepada Allah…??! [Kasyfu Asy Syubhatain: 55-56]

Syaikh Abdullah Ibnu ‘Abdillathif rahimahullah berkata tatkala ditanya tentang Turki Utsmaniy: “Orang yang tidak tahu kafirnya negara ini dan tidak bisa membedakan antara mereka dengan para pemberontak dari kalangan kaum muslimin, maka dia tidak mengetahui makna Laa ilaaha illallaah. Kemudian bila disamping itu dia menyakini bahwa (pemerintah) negara itu adalah muslimun, maka ia lebih dahsyat dan lebih bahaya, dan ini adalah keraguan akan kekafiran orang yang kafir kepada Allah dan menyekutukan-Nya, sedangkan orang yang mendatangkan mereka dan membantunya untuk menyerang kaum muslimin dengan macam bantuan apa saja maka ini adalah kemurtaddan yang jelas. [Ad Durar As Saniyyah: 10/429]

Sebagian imam-imam dakwah ini berkata: “Di antara sikap yang mengharuskan pelakunya dikafirkan adalah tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka. Sesungguhnya hal itu termasuk penggugur dan pembatal keIslaman. Maka siapa yang memiliki sifat ini berarti dia telah kafir, halal darah dan hartanya, serta wajib diperangi sampai mau mengkafirkan para pelaku syirik. Dan dalil atas hal itu adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan ia kafir kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya.” Beliau menggantungkan keterjagaan harta dan darah atas dua hal. Hal pertama, pengucapan Laa ilaaha illallaah. Dan kedua, kufur kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah.

Tidak terjaga darah dan harta seorang hamba sehingga dia mendatangkan dua hal ini. Pertama: Ucapannya Laa Ilaaha Illallaah, dan yang dimaksud adalah maknanya bukan sekedar lafadhnya, sedangkan maknanya adalah mentauhidkan Allah dengan semua macam ibadah. Hal Kedua: Kufur kepada segala yang diibadati selain Allah, sedangkan yang dimaksud adalah mengkafirkan para pelaku Syirik dan bara’ dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati bersama Allah

Maka siapa yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik dari kalangan negara Turki dan ‘Ubbadul Qubur seperti penduduk Makkah dan yang lainnya yang beribadah kepada orang-orang shaleh, dia berpaling dari Tauhidullah kepada syirik dan dia merubah Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan bid’ah, maka dia kafir seperti mereka meskipun membenci ajaran mereka, tidak menyukai mereka dan mencintai Islam dan kaum muslimin, karena orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik adalah tidak membenarkan Al Qur’an, sebab Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhinya dan memeranginya. [Ad Durar As Saniyyah: 9/291]